tirto.id - Berkunjung ke Istanbul, Turki, mungkin bukanlah pilihan utama bagi orang saat merencanakan liburan Natal dan tahun baru. Namun sesungguhnya kota ini memiliki segudang tempat menarik dan indah untuk dikunjungi, meski sebagian besar masyarakatnya tidak merayakan hari raya Natal.
Di tempat ini, selain dapat menikmati Hamam atau pemandian ala Turki yang khas di kota ini serta berbagai acara Natal yang diselenggarakan oleh para ekspatriat, Anda dapat menyaksikan sendiri sebuah bangunan yang telah ditempa gelombang zaman selama ribuan tahun dan merupakan salah satu bangunan paling penting di dunia: Hagia Sophia.
Pada bangunan ini, Anda bisa melihat bentuk kemegahan yang berhasil bertahan untuk terus berdiri melewati peralihan rezim keagamaan yang berbeda. Ia juga menjadi salah satu komponen dari situs warisan dunia UNESCO yang disebut dengan Area Bersejarah Istanbul. Bangunan yang kini telah dialihfungsikan menjadi museum itu adalah saksi bisu sejarah berlangsungnya transisi rezim yang menguasai Konstantinopel (saat ini Instanbul), mulai dari pagan, Katolik Ortodoks, hingga kekaisaran Islam.
Ketika memasuki bangunannya, maka sebuah pemandangan yang mampu menggetarkan hati dapat disaksikan. Tidak hanya karena kompleksitas struktur bangunannya dan keindahan ornamennya, namun juga simbol-simbol yang terdapat di dalamnya. Salah satunya adalah mosaik apse Perawan Maria yang sedang menggendong bayi Yesus diapit oleh kaligrafi Allah dan Muhammad.
Ayasofya, nama Turki dari Hagia Sophia, sepanjang sejarahnya sendiri telah mengalami pembangunan sebanyak tiga kali. Menurut keterangan Pemerintah Turki, bangunan itu dinamai Megale Ekklesia atau Gereja Besar ketika pertama kali didirikan.
Menurut ensiklopedia Britannica, bangunan ini pertama kali dibangun oleh Kaisar Konstantinus I pada 325 Masehi, di atas pondasi atau tempat kuil pagan. Gereja ini menjadi tempat para penguasa dimahkotai dan menjadi katedral paling besar yang beroperasi sepanjang periode kekaisaran Bizantium.
Pada saat itu, bentuknya menyerupai basilika: menjulang ke atas dan memiliki atap kayu. Sayang, gereja ini terbakar habis ketika kerusuhan terjadi pada tahun 404 M yang diakibatkan oleh perseteruan istri Kaisar Arkadios yang bernama Eudoksia dengan Uskup Agung Konstantinopel Ioannes Chrysostomos yang diasingkan.
Kaisar Theodosios II pada tahun 415 kemudian membangun ulang sebuah gereja basilika di tempat yang sama, dengan lima nave dan pintu masuk yang cukup monumental, juga dengan atap kayu.
Pada 532 M, terjadi kerusuhan Nika menyerang Konstantinopel. Kerusuhan itu terjadi pada tahun kelima Justinian I menduduki jabatan kaisar. Kerusuhan inilah yang kemudian menyebabkan gereja kedua itu mengalami kehancuran, tepatnya pada 13 Januari tahun yang sama.
"Orang-orang benci pajak tinggi yang Justinian kenakan dan mereka ingin dia turun dari jabatannya," kata sejarawan dari University of London Caroline Goodson dalam sebuah film dokumenter National Geographic, seperti dikutip Livescience.
Singkat cerita, Justinian berhasil meredam kerusuhan yang diinisiasi oleh kelompok aristokrat beserta para pedagang tersebut. Ia kemudian memerintahkan Isidoros (Milet) dan Anthemios (Tralles), keduanya merupakan arsitek terkenal pada saat itu, untuk mendirikan ulang gereja itu.
Struktur bangunan ketiga inilah yang kemudian bertahan hingga saat ini, dan pada abad ke-15 mulai disebut dengan Hagia Sophia, yang berarti “Kebijaksanaan Suci.”
Menurut keterangan sejarawan Prokopios, pembangunan gereja ketiga ini dimulai pada 23 Februari 532 dan berhasil dirampungkan dalam tempo sekira enam tahun saja. Gereja ini kemudian dibuka untuk kebaktian melalui sebuah upacara pada tanggal 27 Desember 537. Pembangunan itu termasuk cepat mengingat kemegahan bangunan dan teknologi yang digunakan pada saat itu.
Di bawah kubah gereja itu, ada 40 jendela.
"Sinar matahari memancar dari jendela yang mengitari kubah tingginya, menyinari interior dan mosaik emas [di dalamnya], tampak melembutkan soliditas dinding-dindingnya dan menciptakan suasana misteri tak terlukiskan," tulis peneliti Victoria Hammond dalam sebuah bab dalam buku Visions of Heaven: The Dome in European Architecture,” seperti dikutip Livescience.
Kaisar Justinian memerintahkan semua provinsi di bawah pemerintahannya untuk mengirim bahan bangunan terbaik yang akan digunakan untuk membangun Hagia Sophia. Kolom dan marmer yang digunakan diambil dari kota-kota kuno di dan sekitar Anatolia dan Suriah seperti Aspendus Ephessus, Baalbeek, dan Tarsa. Marmer putih berasal dari Pulau Marmara, sementara marmer merah muda diambil dari Afyon, dan yang kuning berasal dari Afrika Utara.
“Tuhanku, terima kasih telah memberikan aku kesempatan untuk menciptakan tempat ibadah yang luar biasa,” menurut beberapa sumber sejarah, kalimat itulah dikatakan Justinian saat memasuki ruangan bangunan. “Sulaiman, aku berhasil mengalahkanmu.”
Justinian merujuk pada kuil Sulaiman di Yerusalem.
Babak baru Hagia Sophia dimulai pada 1453 ketika era Kekaisaran Bizantium berakhir karena ditaklukkan oleh Sultan Mehmed II dari Kekaisaran Ottoman. Di bawah kepemimpinan Mehmed, Hagia Sophia dialihfungsikan dari gereja menjadi masjid.
Saat itu, menurut catatan peneliti Elisabeth Piltz dalam serial buku British Archaeological Reports tahun 2005, Hagia Sophia dalam kondisi yang sangat buruk. Meski demikian, bangunan itu memberikan impresi mendalam pada Sultan Mehmed.
"Kubah luar biasa, mampu bersaing dengan sembilan surga! Melalui karya ini, seorang master telah menampilkan keseluruhan ilmu arsitektur," tulis sejarawan Ottoman Tursun Beg pada abad ke-15, seperti diterjemahkan dari buku Piltz.
Bangunan Hagia Sophia kemudian diperkuat strukturnya dan dilindungi dengan baik pada masa Ottoman. Pada abad ke-16 dan ke-17, sejumlah bagian ditambahkan, di antaranya empat menara di luar bangunan yang digunakan untuk melakukan panggilan salat, sebuah tempat lilin besar, mihrab, dan mimbar (mimbar).
Selain itu, Piltz menuliskan bahwa setelah penaklukan Ottoman, mosaik-mosaik yang ada di Hagia Sophia disembunyikan di bawah cat kuning, kecuali mosaik Theotokos (Perawan Maria dengan Bayi Yesus). Selain itu, lempengan cakram dengan kaligrafi Islam diletakkan di pilar mengapit apse dan pintu masuk nave.
Gaya arsitektur Hagia Sophia ini, khususnya pada kubahnya, mempengaruhi arsitektur Ottoman generasi selanjutnya, terutama dalam pengembangan masjid biru yang dibangun di Istanbul pada abad ke-17.
Selama periode kepemimpinan Sultan Abdülmecid antara tahun 1847 dan 1849, renovasi ekstensif dilakukan Fossati bersaudara dari Swiss. Dalam renovasi itu, Hunkar Mahfili (kompartemen terpisah di mana sultan berdoa) yang terletak di bagian utara dihilangkan dan dipindahkan ke sisi sebelah kiri mihrab.
Pada 1934, pemerintah Turki di bawah presiden pertamanya Kemal Atatürk, yang terkenal dengan sekularisasinya, menjadikan Hagia Sophia sebagai museum.
Dewan Kementerian Turki menyatakan, "karena signifikansi sejarahnya, konversi masjid [Hagia Sophia], sebuah monumen seni arsitektur yang unik yang terletak di Istanbul, menjadi museum akan menyenangkan seluruh dunia Timur dan konversi ke museum akan membuat umat manusia memperoleh sebuah institusi pengetahuan yang baru."
Penelitian, perbaikan, dan pekerjaan restorasi Hagia Sophia terus berlanjut hingga hari ini. Bangunan ini menjadi inspirasi bagi banyak diskusi, buku, dan bahkan film, seperti Inferno yang diangkat dari novel terkenal Dan Brown berjudul sama.
Keindahannya membuktikan karya arsitektur mampu menembus batas-batas agama.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Maulida Sri Handayani