tirto.id - Apa yang terbayangkan di benak saat kata selaput dara muncul? Barangkali orang akan menjawabnya sebagai keperawanan, dan selebihnya bisa bermacam-macam. Dini, 25 tahun, adalah salah satu perempuan yang tak banyak paham soal “tanda” keperawanan pada saat ia remaja dulu.
“Awalnya, saya pikir selaput dara itu bagian tubuh yang penting dijaga. Kalau robek atau kenapa-kenapa, saya dulu khawatir hal ini akan memengaruhi tubuh saya secara keseluruhan,” kata Dini.
Seiring dengan bertambahnya pengetahuan Dini, dari obrolan ringan dengan teman-teman maupun referensi bacaan, pandangannya bergeser. Ia yang semula menganggap perempuan harus menjaga keutuhan selaput dara—bagaimanapun caranya—perlahan meyakini bahwa glorifikasi yang dibuat masyarakat untuk selaput dara begitu berlebihan.
Sebagian dokter masih tidak yakin dengan fungsi selaput dara sebenarnya. Mereka berpikir, selaput dara tidak punya fungsi khusus atau signifikan dalam tubuh perempuan. Ironisnya, saat dunia medis saja masih memperdebatkan soal fungsi selaput dara, mitos-mitos seputar hal ini sudah dibangun dari generasi ke generasi, diteruskan hingga kini dalam macam-macam kebudayaan.
Selaput dara begitu diagungkan karena dilekatkan dengan konsep keperawanan. Namun, apakah keperawanan itu sendiri merupakan gagasan yang objektif?
Banyak peneliti sosial-humaniora yang menyatakan bahwa keperawanan merupakan konstruksi dalam budaya patriarkis. Kesucian dan keberhargaan perempuan dinilai dari keperawanannya. Padahal, perspektif mengenai batasan perawan atau tidak sangat beragam.
Ada yang bilang, patokan perempuan perawan adalah keutuhan selaput dara. Bila membran tipis ini robek atau saat berhubungan seks pertama kali dia tidak berdarah, artinya dia sudah pernah bersetubuh dengan seseorang alias tak suci lagi. Ini adalah kesalahan kaprah yang jamak diamini masyarakat.
Selaput dara bisa robek karena macam-macam aktivitas: berolahraga, menggunakan tampon, atau kecelakaan. Seksolog pun telah menemukan beberapa kasus di mana perempuan lahir tanpa selaput dara. Jika keadaannya demikian, masih adilkah bila selaput dara dijadikan tolok ukur keperawanan?
Kadang kala, robeknya selaput dara tidak disadari oleh si empunya. Jangan pikir setiap kali selaput dara robek, perempuan pasti mengalami sakit atau tanda lain yang menonjol di samping bercak darah. Bayangkan bila si perempuan sedang menstruasi, lalu berolahraga dengan gerakan ekstrem. Bercak darah akibat selaput dara yang robek bisa jadi membaur dengan darah menstruasinya.
Baca juga: Sejak Kapan Perempuan Milenial Kehilangan Keperawanan?
Hal lain yang salah dipahami banyak orang ialah bentuk dan ketebalan selaput dara tidak berubah seiring waktu. Kenyataannya, saat perempuan beranjak remaja dan dewasa, selaput dara dapat menipis dan celahnya membesar, tak serupa dengan yang dimilikinya semasa bayi.
Mitos berikutnya yang dihubungkan dengan keperawanan ialah pengalaman seks pertama kali akan membuat perempuan sakit karena selaput daranya robek. Sebenarnya, tak melulu perempuan merasa sakit ketika pertama kali berhubungan seks. Kunci menghindari rasa tidak nyaman atau sakit saat bercinta ialah lubrikasi pada vagina perempuan. Bila ia tidak menerima rangsangan yang cukup atau merasa sangat tegang, vagina akan cenderung kering dan gesekan dari genitalia sang pasangan yang mampu membikin nyeri.
Mitos lain, adalah soal selaput dara robek pada pengalaman pertama bercinta, faktanya tidak semua selaput dara rusak dan menyebabkan perempuan berdarah saat mengalami penetrasi. Ketebalan selaput dara tiap perempuan berbeda, ada yang begitu fleksibel, ada pula yang gampang robek.
Ada pula yang menganggap vagina terasa lebih sempit saat mengalami penetrasi karena selaput dara seorang perempuan belum robek. Meski hal ini tak sepenuhnya salah, ada faktor lain yang juga memengaruhi vagina terasa lebih sempit. Ketika bercinta, otot pelvis perempuan berkontraksi, inilah yang dianggap melakukan penetrasi terhadap vagina perawan lebih membawa kenikmatan. Padahal, bukan perawan atau tidaknya yang jadi perkara, tetapi bisa karena faktor keberadaan kontraksi otot pelvis ini.
Kontraksi otot pelvis bisa pula diakibatkan kecemasan atau ketegangan perempuan. Semakin perempuan tegang, maka kian mengencang otot pelvisnya. Ada laki-laki yang justru menikmati hal ini, sementara di sisi perempuan, bukan tidak mungkin dia tengah menahan nyeri karena masih cemas atau tidak siap dengan penetrasi.
Pertanyaan lain yang sering timbul seputar keperawanan dan selaput dara ialah apakah perempuan masih dibilang perawan bila pernah masturbasi? Pertanyaan ini justru dapat mengundang cabangan pertanyaan lain. Masturbasi yang seperti apa? Meraba klitoris hingga orgasme tanpa sedikit pun merusak selaput dara, apakah masih perawan? Ada juga perempuan yang bisa mencapai klimaks hanya dengan distimulasi di payudara atau titik-titik erotis lainnya yang berbeda-beda tiap individu. Atau, bila hubungan badan dengan pasangan terjadi tanpa penetrasi, bisa atau tidak bisakah ia tetap disebut perawan?
Baca juga: Mengutuk dan Merayakan Masturbasi
Batasan keperawanan masih mengundang pro dan kontra, tetapi berbagai pemegang kuasa malah menggunakan glorifikasi keperawanan dan selaput dara untuk mendiskriminasi perempuan. Ambil contoh kasus Dinas Pendidikan Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, pada 2013 yang memberikan dukungan terhadap rencana orang tua yang bermaksud untuk melakukan tes keperawanan bagi anaknya.
Wacana semacam itu hanya sebagai gambaran bahwa seksualitas perempuan, adalah hal yang tabu, terepresi, dianggap negatif. Adakah yang memperkarakan keperjakaan para siswa? Nihil. Tes keperawanan menjadi wujud paling kentara perlakuan tak adil terhadap perempuan. Perempuan baik adalah perempuan yang masih perawan sampai menikah.
Bagaimana dengan laki-laki? Berapa kali pun pernah masturbasi atau berhubungan seks dengan perempuan mana pun, nyaris tak terkena sanksi sosial apa pun. Bagaimana pula mengecek keperjakaannya? Keberadaan selaput dara dalam tubuh perempuan di satu titik membawa problem tidak terhindarkan alih-alih kenyamanan, utamanya di negara-negara dengan budaya konservatif.
Walaupun wacana tes keperawanan sudah berulang kali mendapat reaksi negatif dari pembela hak perempuan, isu ini tak sudah-sudah diangkat di Indonesia. Pada 2017, hal ini disarankan oleh seorang hakim pula, Binsar Gultom. Khalayak pun mengkritiknya dengan tuduhan tak sensitif, bias gender, dan sebagainya. Bila seorang penegak hukum saja masih bersikap seksis macam itu, maka tak layakkah perempuan meragukan penjaminan hak-haknya kelak?
Baca juga: Tanggapan Hakim Binsar Soal Kritik Atas Usul Tes Keperawanan
Patriarki adalah sistem budaya, bukan perkara perbuatan individu saja. Pahitnya, sistem budaya macam ini memberi makna-makna terhadap sesuatu yang berimbas pada pelabelan, sikap diskriminatif, sampai eksklusi sosial terhadap perempuan.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Suhendra