Menuju konten utama
Perempuan Mulia di Al-Qur'an

Keteguhan Iman Asiyah binti Muzahim, Sang Ratu Mesir

Di bawah berbagai tekanan dan penderitaan dari Fir'aun, Asiyah kokoh menjaga imannya.

Keteguhan Iman Asiyah binti Muzahim, Sang Ratu Mesir
Header Diajeng Perempuan di Kitab Suci. tirto.id/Quita

tirto.id - Sejarah telah mencatat bahwa di balik kelembutan yang terpancar dari dalam diri perempuan, terdapat ketangguhan yang luar biasa.

Terkadang, kekuatan tersebut tidak hanya berasal dari dorongan fisik, tetapi juga keteguhan jiwa.

Inilah kisah Asiyah binti Muzahim, salah satu perempuan yang namanya diabadikan di dalam Al-Qur’an.

Menurut hadis riwayat Ahmad, Rasulullah SAW menyebut bahwa Asiyah binti Muzahim termasuk satu dari empat perempuan mulia yang dijamin surga oleh Allah, selain Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, dan Maryam binti Imran.

Di dalam Al-Qur’an, Asiyah disebut imroatu Fir’aun atau Pendamping Fir’aun.

Asiyah tidak diterangkan sebagai istri Fir’aun atau zaujah untuk menunjukkan ketidakmelekatan Asiyah pada Fir'aun yang zalim dan mendaku Tuhan.

Kisah Asiyah dimulai ketika Fir’aun tengah mencari pendamping untuk menggantikan istrinya yang sudah meninggal.

Salah satu utusan Fir’aun, Hamman, mendengar tentang Asiyah. Gadis ini dikenal cantik, cerdik, dan bijaksana.

Sampailah kabar ini ke telinga Fir’aun. Fir’aun kemudian mencoba melamar Asiyah, tetapi tentu saja ditolak oleh keluarga Muzahim.

Mereka tidak bersedia menikahkan Asiyah dengan Fir’aun yang pada saat itu sudah dikenal sebagai penguasa yang bengis dan keji.

Penolakan itu membuat Fir’aun tidak terima. Dibakar api kemarahan, Fir’aun menangkap dan menyiksa keluarga Asiyah.

Tidak tahan atas siksaan yang diterima keluarganya, Asiyah pun memutuskan menerima perintah Fir’aun untuk menjadi pendampingnya dan menduduki posisi sebagai ratu Mesir.

Alih-alih mengiyakan begitu saja, Asiyah dengan cerdas mengajukan syarat kepada Fir’aun untuk memuliakan keluarganya.

Fir’aun menyetujui syarat tersebut, bahkan membangunkan sebuah istana untuk keluarga Asiyah.

Setelah menyetujui pinangan Fir’aun, Asiyah tidak pernah berhenti kehilangan keyakinan bahwa Allah akan selalu menjaganya.

Dalam sebuah riwayat, diceritakan bahwa Allah selalu menjaga kesucian Asiyah.

Keteguhan iman mendorong Asiyah untuk selalu berusaha memberikan masukan yang baik kepada Fir’aun, termasuk ketika Fir’aun memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki di penjuru Mesir.

Perintah tersebut didasari atas ramalan yang dukun-dukun dan ahli bintang kepercayaan Fir’aun bahwa akan ada seorang anak laki-laki dari suku Bani Israil yang mengalahkan dan menghancurkan dirinya–kelak sejarah mencatatnya sebagai Nabi Musa AS.

Bayi Musa selamat dari pembunuhan Fir’aun karena ketika Musa lahir, ibunda Musa mendapat ilham dari Allah untuk menghanyutkan bayi tersebut ke Sungai Nil.

Tidak disangka, bayi Musa hanyut ke sungai yang mengarah ke bagian taman belakang kerajaan Fir’aun sehingga ia kelak ditemukan dan diselamatkan oleh Asiyah.

Melihat bayi merah yang lucu dan menggemaskan itu, Asiyah meminta kepada Fir’aun agar diperbolehkan merawatnya.

Asiyah berkata kepada Fir’aun, "Bayi ini agaknya akan menjadi sumber kebahagiaan kita. Kita biarkan saja ia hidup dan jangan kita bunuh, dengan harapan kelak ia akan dapat kita manfaatkan untuk mengatur urusan kita. Atau, kita angkat saja ia sebagai anak." (Al-Qashash ayat 9)

Penjabaran alasan yang logis dan negosiasi yang kuat dari Asiyah disambut oleh Fir’aun, yang setuju untuk menerima Musa.

Pendek kata, dimulailah misi dari Allah untuk Asiyah agar merawat dan membesarkan Musa di dalam lingkungan kerajaan dengan pendidikan yang terbaik.

Peristiwa ini menegaskan tentang takdir Allah. Ketika Allah berkehendak, maka tidak ada yang bisa menduga betapa rapinya skenario yang sudah disiapkan-Nya untuk menghancurkan kesombongan Fir’aun.

Sekian tahun berlalu, Musa meninggalkan istana Fir’un setelah mendapat risalah kenabian dari Allah.

Musa mulai berdakwah menyebarkan agama Allah dan menentang Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan.

Pertikaian pun tidak bisa terelakkan. Fir’aun menjadi sangat keras dan kejam pada pihak-pihak yang beriman kepada agama Musa.

Meski begitu, di kerajaan Fir’aun juga terdapat orang-orang yang mengimani agama tauhid yang disebarkan oleh Musa, termasuk Asiyah.

Di sinilah Asiyah memiliki peran penting untuk menjaga keselamatan orang-orang terdekatnya yang beriman pada Allah.

Misalnya, ketika mengetahui bahwa Masyitoh, pelayan putri Fir’aun dari istri sebelumnya, telah beriman pada agama Musa, Fir’aun bergegas menyiksa keluarganya secara kejam.

Melihat peristiwa itu, Asiyah tidak tinggal diam. Dia memohon pada Fir’aun untuk berhenti menyiksa keluarga Masyitoh.

Mendengar permohonan Asiyah, Fir’aun pun menyadari bahwa pendampingnya tersebut juga sudah mengimani agama Musa.

Fir’aun kemudian menyiksa Asiyah dengan kekejaman yang luar biasa agar perempuan mulia tersebut mau meninggalkan agamanya.

Di bawah berbagai tekanan dan penderitaan yang dialami di bawah Fir'aun, Asiyah kokoh pada imannya.

Doa Asiyah tatkala mendapat siksaan tersebut diabadikan dalam Al-Qur’an.

Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir'aun, ketika ia berkata, "Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim (Surah At Tahrim: 11).

Dalam doanya, Asiyah meminta pada Allah agar dibangunkan rumah di sisi-Nya di surga.

Di tengah-tengah siksaan itu, Allah memperlihatkan surga pada Asiyah lalu mengambil nyawanya.

Sejarah mencatat bahwa penyiksaan yang dilakukan Fir’aun kepada Asiyah tak lain merupakan jejak kekerasan rumah tangga yang luar biasa kejam.

Di balik itu, Asiyah merupakan teladan perempuan yang teguh mempertahankan imannya pada Tuhan, tidak silau dengan harta, tidak takut akan ancaman dan siksaan.

Baca juga artikel terkait SUPPLEMENT CONTENT atau tulisan lainnya dari Yuli Altri R

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Yuli Altri R
Penulis: Yuli Altri R
Editor: Sekar Kinasih