tirto.id - Keturunan Nabi Muhammad SAW hanya lahir melalui anak perempuannya, Fatimah. Seluruh anak-anak Rasulullah yang lain meninggal dan tidak memberi beliau cucu, kecuali anak perempuannya itu.
Kendati merupakan anak kesayangan Nabi Muhammad, Fatimah tidak pernah mengecap kemewahan hidup. Dari keluarganya yang bersahaja, umat Islam belajar dan meneladani sikap wara, tawaduk, serta bersabar dalam keadaan berkekurangan.
Fatimah Az-Zahra binti Muhammad lahir pada tahun ke-5 setelah kenabian atau pada 606 M. Sejak kecil, ia menyaksikan dakwah Islam periode Makkah yang berdarah-darah. Karena tumbuh dalam keadaan sulit, Fatimah menjadi perempuan tegar, kuat, dan penuh kesabaran.
Fatimah adalah anak kesayangan Rasulullah SAW. Hal ini tergambar dalam sabdanya: “Fatimah adalah sebagian daripadaku, barangsiapa ragu terhadapnya, berarti ragu terhadapku, dan siapa yang membohonginya berarti sudah membohongiku,” (H.R. Bukhari).
Karena perangai dan akhlaknya yang mulia, Fatimah memperoleh banyak julukan. Julukannya yang utama adalah Az-Zahra (yang cemerlang), Kaniz (terpelihara), At-Thahirah (perempuan suci), Ummul Aimmah (ibu para imam), Sayyidah (pemuka yang mulia, penghulu), Nisa’ Al-Alamin (perempuan paling utama sejagat) dan banyak lagi julukan lainnya, sebagaimana dikutip dari buku Akidah Akhlak (2020) yang ditulis Sihabul Milahudin.
Kesederhanaan Fatimah Az-Zahra
Setelah beranjak remaja, ketika Fatimah berusia 15 tahun lebih 5 bulan, ia menikah dengan sepupunya Ali bin Abi Thalib yang berusia 21 tahun. Perkawinannya pun dilakukan dengan sederhana. Saat itu, Ali bukanlah pemuda berkecukupan. Untuk membayar mahar Fatimah, Ali harus menjual perisainya untuk biaya pernikahan.
Pernikahan itu diselenggarakan beberapa waktu setelah hijrah dari Makkah ke Madinah pada 622 M. Dari pernikahannya, Fatimah dikaruniawi enam anak, tiga putra yaitu Hassan, Husain, dan Muhassin (meninggal saat kecil), sedangkan putrinya adalah Zaynab, Ummi Kultsum, dan Ruqayyah.
Setelah berumah tangga pun, kehidupan ekonomi Fatimah tidak juga membaik. Bahkan, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Fatimah pernah menggadaikan kerudungnya kepada orang Yahudi untuk memperoleh sejumlah kecil uang.
Karena terbebani dalam hidup kekurangannya, suatu waktu, Fatimah pernah mengeluh pada Ali mengenai kesulitan yang harus mereka jalani.
Ali menyarankan agar Fatimah mendatangi ayahnya untuk meminta bantuan. Barang kali Nabi Muhammad SAW berkenan memberi salah seorang budak yang diperoleh dari rampasan perang sebagai hadiah bagi Ali dan Fatimah.
Fatimah pun mendatangi Nabi Muhammad, namun ia tidak sanggup menyampaikan keluhannya karena hormatnya yang begitu dalam pada ayahnya tersebut.
Ketika Fatimah pulang dengan tangan kosong, Ali memberanikan diri ke rumah Nabi Muhammad bersama istrinya itu. Mendengar keluhan menantu dan putri terkasihnya, Nabi Muhammad pun tidak bisa berbuat banyak kecuali menasihati keduanya agar bersabar.
Sebagai gantinya, Nabi Muhammad SAW mengajarkan doa pada Ali dan Fatimah agar memperoleh kelapangan hidup. “Ini adalah perkataan yang diajarkan Jibril kepadaku. Kalian harus mengulangnya sepuluh kali setelah sembahyang: ‘Mahasuci Tuhan’ [Subhan Allah], lalu ‘Segala puji bagi Allah’ [Alhamd lillah], dan ‘Tuhan Mahabesar’ [Allahu Akbar]. Sebelum tidur, kalian harus mengulangnya sebanyak tiga puluh kali,” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kehidupan yang keras membuat tangan lembut Fatimah menjadi kasar. Dikisahkan juga Fatimah kerap menggendong anak dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain menggiling gandum.
Akhir Hayat Fatimah
Ketika Nabi Muhammad sakit keras menjelang wafatnya, Fatimah tak henti-henti menitikkan air mata. Melihat hal itu, Rasulullah memanggilnya, kemudian berbisik. Saat mendengar kata-kata Rasulullah, tangisan Fatimah kian keras. Kemudian, Rasulullah berbisik lagi dan Fatimah pun tersenyum.
Ketika ditanyakan kepada Fatimah mengenai yang dibisikkan Rasulullah, ia menjawab bahwa Nabi Muhammad menyampaikan bahwa beliau akan segera meninggal. Hal itu membuatnya kian bersedih dan bertambah tangisannya.
Beberapa waktu kemudian, Nabi Muhammad berbisik lagi ke Fatimah bahwa dia adalah keluarga Rasulullah yang pertama menyusul dan menjumpainya di surga nanti, maka Fatimah pun tersenyum.
Enam bulan selepas Nabi Muhammad SAW wafat, Fatimah Az-Zahra sakit keras dan merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Ia berpesan bahwa hanya suaminya, Ali bin Abi Thalib yang boleh menyentuh tubuhnya.
Beberapa waktu kemudian, Fatimah pun meninggal, menyusul ayahnya, dalam usia yang sangat muda, yaitu 27 tahun di Madinah, 3 Ramadan 11 H atau 5 Agustus 532 M.
Ali bin Abi Thalib kemudian memandikan jenazah Fatimah, sesuai dengan wasiat istrinya itu. Bersama Hasan dan Husain, Ali bin Abi Thalib menguburkan jenazah Fatimah di pemakaman Baqi yang berseberangan dengan Masjid Nabawi tempat Nabi Muhammad SAW dikebumikan.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Yulaika Ramadhani