tirto.id - Maryam binti Imran adalah salah satu perempuan yang namanya diabadikan dalam kitab suci Al-Qur’an, tepatnya dalam surah ke-16, Surah Maryam.
Ia lahir dari keluarga Imran, yang dalam Surah Ali Imran ayat 33 disebut sebagai salah satu keluarga terpilih setelah keluarga Adam, Nuh, dan Ibrahim.
Keluarga Imran menjalani masa penantian panjang sebelum akhirnya mendapatkan keturunan.
Setelah sekian lama menunggu, istri Imran mengandung dan membuat nazar, sebuah janji yang mengikat, bahwa anak dalam kandungannya akan senantiasa mengabdi di Baitul Maqdis, Palestina.
Baitul Maqdis, nama lain dari Kota Lama Yerusalem, adalah pusat ibadah penting bagi umat Islam, Kristiani, dan Yahudi. Di sanalah terletak situs-situs bersejarah seperti kompleks Masjid Al-Aqsa, Gereja Makam Kudus, dan Dinding Ratapan.
Kelahiran Maryam menjadi perhatian masyarakat setempat karena orang tuanya sudah berusia lanjut.
Setelah ayahnya meninggal dunia, dan karena Maryam dianggap sebagai anak yang istimewa, pemuka Yahudi dan ahli Taurat saling berebut agar dapat menjadi wali yang bertanggung jawab atas pengasuhan Maryam.
Untuk menentukan kaafil atau penanggung jawab Maryam, dilakukan sebuah cara yang dianggap adil pada saat itu, yaitu melemparkan pena yang ujungnya terbuat dari besi, ke Sungai Yordania.
Pena yang tidak tenggelam menandakan pemiliknya akan menjadi wali Maryam.
Dari beberapa pena yang dilempar, hanya pena milik Nabi Zakaria AS yang tidak tenggelam, sehingga ia yang akhirnya menjadi pengasuh dan pendidik Maryam.
Nabi Zakaria juga masih kerabat dekat keluarga Imran.
Sebagai wali, Nabi Zakaria mengupayakan Maryam tetap bisa beribadah di Masjid Al-Aqsa sesuai dengan nazar ibunya.
Ia mengusulkan kepada ulama-ulama Bani Israil untuk menyediakan ruang khusus atau mihrab di Masjid Al-Aqsa, bagian timur dari jami’ Qibli, sebagai tempat ibadah yang aman.
Langkah ini bertujuan untuk menjaga Maryam, mengingat pada masa itu terdapat batasan yang membedakan fasilitas bagi laki-laki dan perempuan.
Di dalam ruang tersebut, Maryam menjalani hari-harinya dengan beribadah.
Maryam dikenal sebagai sosok yang tekun dalam menjalankan ibadahnya.
Dalam Al-Qur’an, ketekunannya disebut dengan istilah kaanat minal qaanitiin, yang berarti hamba yang taat beribadah. Penyebutan ini termaktub dalam Surah At-Tahrim ayat 12.
Di kemudian hari, Maryam juga mendapatkan julukan al-batuul dari sahabat-sahabat Nabi dan ulama setelahnya.
Julukan al-batuul merujuk kepada perempuan yang menjalani kehidupannya dengan penuh keteguhan dalam menjalankan keyakinannya.
Nabi Zakaria sering mengunjungi mihrab tempat Maryam beribadah untuk membawakan kebutuhannya.
Setiap kali datang, Nabi Zakaria selalu mendapati makanan dan buah-buahan di dekat Maryam.
Ketika Nabi Zakaria bertanya dari mana makanan itu berasal, Maryam menjawab bahwa semuanya datang dari Allah.
Dalam hadits riwayat Anas bin Malik, Rasulullah Muhammad SAW juga menyebut Maryam sebagai satu dari empat perempuan mulia sepanjang masa, bersama Khadijah, Fatimah, dan Asiyah (Riwayat Tirmidzi no. 3878).
Dari kisah Maryam, terdapat pelajaran bahwa ujian terbesar kita acap kali berkaitan dengan keyakinan yang dipegang teguh.
Maryam menghadapi ujian ketika, seperti dijabarkan di dalam Al-Qur’an, malaikat Jibril hadir dalam wujud seorang laki-laki di mihrabnya di Masjid Al-Aqsa.
Dalam responsnya, Maryam menunjukkan keteguhan sikap dengan berkata, “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih darimu (untuk berbuat jahat kepadaku) jika kamu seorang yang bertakwa.” (Surah Maryam: 18)
Jibril kemudian memberikan sebuah kabar yang sekaligus menjadi ujian bagi Maryam, “Wahai Maryam, sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang (kelahiran anak yang diciptakan) dengan kalimat dari-Nya, namanya Isa Almasih putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat serta termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).” (Surah Ali Imran: 45)
Tidak lama setelah itu, Maryam mulai merasakan tanda-tanda kehamilan.
Kekhawatiran muncul karena Maryam memahami betul bagaimana reaksi masyarakat terhadap dirinya, dan bagaimana hal ini dapat berdampak pada keluarga serta walinya, Nabi Zakaria.
Maka dari itu, Maryam meninggalkan Baitul Maqdis menuju ke arah timur. Para ahli tafsir menyepakati kota yang ditujunya adalah Bait Al Lahiim atau Bethlehem.
Di sana, ia menjalani proses kehamilan hingga masa persalinan.
Dalam tafsir Fi Dzilaal Al-Qur’an, Sayyid Qutb mencatat bahwa Al-Qur’an tidak merinci bagaimana proses kehamilan Maryam berlangsung, baik dari segi tahapan maupun waktunya.
Saat menjelang persalinan, Maryam merasakan nyeri hebat dan bersandar di bawah pohon kurma.
Dalam kondisi tersebut, ia diperintahkan untuk menggoyangkan pangkal pohon agar buah kurma yang ranum jatuh dan dapat dikonsumsi.
Tafsir As-Sa'di atas Surah Maryam ayat 26 menyebut bahwa perintah ini mencerminkan keyakinan penuh Maryam kepada Allah.
Secara logika manusia, menggoyangkan pohon kurma yang besar dalam kondisi kepayahan karena melahirkan tentu sulit dilakukan. Namun, kejadian ini menegaskan aspek keyakinan dan keteguhan hati Maryam.
Setelah merasa cukup kuat, Maryam kemudian kembali ke Baitul Maqdis dengan bayinya.
Seperti yang ia khawatirkan, masyarakat mempertanyakan dan mencemoohnya atas kelahiran anak tersebut.
Di tengah keriuhan tersebut, bayi yang baru lahir itu berbicara, “Sesungguhnya aku adalah hamba Allah, dilahirkan oleh seorang Ibu yang suci tanpa perantaraan laki-laki karena aku adalah anugerah Allah.”
Pernyataan tersebut mengejutkan banyak orang dan mengubah pandangan mereka terhadap Maryam serta anaknya, yang dikenal sebagai Isa bin Maryam dan kelak kita teladani sebagai Nabi Isa AS.
Maryam membesarkan Nabi Isa dengan keteguhan dan kasih sayang.
Ia mendidiknya agar tumbuh menjadi pribadi yang santun, patuh, dan menghormati ibunya, sebagaimana tergambar dalam Surah Maryam ayat 30-35.
Nabi Isa dibesarkan di tengah kondisi masyarakat Bani Israil yang merasakan tekanan besar di bawah kepemimpinan Raja Herodes, sekutu dekat Kekaisaran Romawi.
Pada masa itu, dikisahkan bahwa masyarakat Bani Israil terbagi menjadi dua kelompok: sebagian tetap berpegang teguh pada ajaran mereka, sementara sebagian lainnya menolak dan bahkan menentang para nabi.
Menurut sejumlah riwayat, beberapa peristiwa tragis terjadi, termasuk adanya perintah dari Herodes untuk menangkap dan membunuh Nabi Zakaria serta putranya, Nabi Yahya.
Seiring itu, Nabi Isa gigih berjuang menyampaikan ajaran-ajarannya kepada masyarakat Bani Israil.
Keteguhan dalam menjalankan misi tersebut tidak terlepas dari pendidikan yang diberikan oleh sang ibunda, Maryam.
Sedari kecil, Nabi Isa dididik dengan nilai-nilai moral dan spiritual yang kuat, yang membentuknya menjadi sosok yang berprinsip dan teguh dalam menghadapi tantangan.
Maryam juga mengajarkan putranya untuk berserah diri pada Tuhan dalam segala keadaan. Inilah yang lantas tecermin dalam perjalanan hidup Nabi Isa AS yang dipenuhi dengan berbagai ujian dan perjuangan luar biasa.
Penulis: Yuli Altri R
Editor: Sekar Kinasih & Ahmad Haetami