tirto.id - Narasi sejarah kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia perlu diakui memang masih terkesan berfokus hanya di Jawa. Sering kali ini dipengaruhi oleh ketersediaan sumber data yang memang secara faktual lebih banyak ditemui di pulau dengan penduduk terpadat di Indonesia itu.
G. Sambodo dkk. dalam tulisannya Peran Komunitas dalam penanganan Temuan Baru Prasasti: Studi Kasus Komunitas Kandang Kebo (2019), misalnya, mencatat bahwa Jawa merupakan daerah dengan kuantitas temuan prasasti—sebagai acuan utama rekonstruksi sejarah klasik Indonesia—terbanyak.
Terhitung jumlah prasasti yang ditemukan di Jawa sebesar 386 prasasti. Itu pun masih jumlah yang telah diinventarisasi, belum termasuk prasasti yang in situ. Kuantitas temuan prasasti pun konsekuen dengan jumlah candi yang ditemukan. Sebagaimana diketahui bahwa di Jawa Tengah dan Timur hampir setiap kabupaten memiliki candi-nya sendiri.
Pembicaraan soal penarasian sejarah kebudayaan Hindu-Buddha yang terkesan Jawa-sentris ini, sebenarnya tidaklah menandakan bahwa tinggalan Hindu-Buddha sama sekali tidak ditemukan di pulau lain. Sumatra merupakan salah satu pulau yang bisa dikatakan “kaya” dengan tinggalan-tinggalan era Hindu-Buddha yang unik. Satu di antaranya di Tanah Batak.
Mungkin, di benak kita eksistensi jejak Hindu-Buddha di Tanah Batak ini sedikit sukar dipercaya, sehubungan dengan masyarakat Batak masa kini. Sebab, sebagian besar orang Batak masa sekarang ialah penganut ajaran Kristiani atau Islam. Sementara sebagian kecilnya memeluk agama asli mereka, yaitu ugamo malim.
Padahal, Edi Sedyawati dkk. dalam Candi Indonesia: Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa (2014) misalnya menyebut bahwa ada sekitar 10 percandian yang ditemukan di wilayah Sumatra Utara.
Temuan ini belum termasuk berbagai macam prasasti yang ditemukan bersamaan dengan candi-candi itu. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, peradaban Hindu-Buddha di Tanah Batak berlangsung dari abad ke-9 hingga 15 Masehi.
Batak, Baghas, Para Debata
Temuan prasasti di Tanah Batak sebenarnya merupakan embrio dari kemunculan aksara Batak atau yang dalam bahasa lokal dikenal sebagai Surat Batak. Uli Kozok pada karya monumentalnya Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak (2009) mendedah dengan rinci asal usul aksara Batak.
Kozok menyebut kalau aksara Batak untuk kali pertama bisa terlacak dari banyaknya manuskrip-manuskrip— dalam bahasa Batak dikenal sebagai pustaha— yang ditulis oleh para datu di kalangan orang Batak pada awal abad ke-19. Apabila ditelusuri aksara Batak yang terdiri dari ina ni surat dan anak ni surat muncul kali pertama di daerah etnis Mandailing-Angkola.
Aksara Batak kemudian menyebar ke daerah Toba dan Karo. Pengaplikasian aksara Batak sendiri bisa dibilang cukup unik, karena pustaha biasanya terbuat dari laklak (kulit kayu). Pustaha umumnya berisi ilmu pengetahuan soal pengobatan, tata cara nujum, mistisisme Batak dan sebagian kecil berisi mitos genesis orang Batak.
Selain itu, Kozok juga menemukan beberapa unsur bahasa yang unik dalam naskah-naskah Batak yang dijumpainya. Menurutnya, ada beberapa unsur bahasa di dalam pustaha yang merupakan bentuk peminjaman diksi Sanskerta dalam bahasa Batak Kuno.
Aspek bahasa itu di antaranya, portibi (dari kata “Pertiwi”, nama dewi ibu), debata (dari kata “Dewata”), mangameru (dari kata “Mahameru”, gunung suci dalam konsep Hindu), dan bahkan kata pustaha sendiri yang berasal dari kata “Pustaka” yang artinya adalah buku.
Penyerapan bahasa Sanskerta dalam bahasa Batak ini mungkin sekali berhubungan dengan kerangka kronologis eksistensi kebudayaan Hindu-Buddha di Tanah Batak. Apa buktinya?
Secara tertulis aksara Batak kemungkinan besar merupakan hasil turunan dari Aksara Sumatra Kuno (Pasca-Pallawa) yang bisa dijumpai pada sumber prasasti. Indikasi ini muncul pada Prasasti Sitopayan I yang ditemukan di Desa Sitopayan, Sumatra Utara.
Menurut C. Nasoichah dalam Prasasti Sitopayan I dan II: Tinjauan Aspek Ekstrinsik dan Intrinsik (2012), Prasasti Sitopayan I dan II merupakan contoh kasus prasasti yang ditulis dengan anasir aksara dan bahasa Batak paling awal yang diketahui.
Anasir kebudayaan Batak misalnya muncul pada penggunaan aksara Batak "wa", "pa" dan 'i" pada prasasti ini, di mana aksara yang lain didominasi dengan aksara Jawa Kuno. Di Prasasti Sitopayan I bahkan dijumpai kata "bakas" yang mungkin sekali berarti "rumah", sesuai dengan kata "baghas' dalam bahasa Batak saat ini yang merujuk pada arti yang sama.
Tentu dalam hal ini, kasus Prasasti Sitopayan mengindikasikan adanya interaksi kebudayaan. Aksara tersebut menjadi salah satu unsur budaya Hindu-Buddha yang masih dipertahankan oleh masyarakat tradisi megalitik Batak setelah kejatuhan peradaban Hindu-Buddha di Sumatra.
Biaro-Biaro Batak
Tanah Batak juga merupakan lokasi penemuan banyak bangunan suci Hindu-Buddha yang oleh masyarakat lokal dikenal sebagai “biaro”. Sentra penemuan biaro di Sumatra Utara ada di daerah Kawasan Percandian Padang Lawas, yang terletak di antara dua kabupaten yaitu Padang Lawas dan Padang Lawas Utara.
Percandian Padang Lawas boleh jadi disejajarkan dengan Percandian Muaro Jambi, Hal ini mengingat cakupan area situsnya yang meliputi tujuh kecamatan dan terdiri atas 26 situs. Komponen percandian di areal ini pun cukup rumit. Pasalnya, banyak temuan struktur yang masih belum direkonstruksi.
Menurut Sukawati Susetyo pada tesisnya yang berjudul Kepurbakalaan Padang Lawas, Sumatera Utara: Tinjauan Gaya Seni Bangun, Seni Arca dan latar keagamaan (2010), Padang Lawas secara arsitektural— sebagaimana ditemukan pada Biaro Bahal dan Si Pamutung— merupakan pertemuan antara kesenian Śailendra, Singhasari-Majapahit dan bahkan Chola, India Selatan.
Temuan arca-arca dan prasasti-prasasti mantra singkat di sana mencerminkan kuatnya nafas ajaran Buddha Vajrayana.
Susetyo menyebut bahwa apabila ditelusuri dari data-data tertulis di sana, kemungkinan biaro-biaro di Padang Lawas mulai dibangun pada abad ke-11 dan terus berkembang sampai dengan abad ke-14 M. Akan tetapi, pertanyaan soal masyarakat pendukung kepurbakalaan ini masih gamang sampai sekarang.
Susetyo sendiri menduga bahwa Padang Lawas mungkin sekali berkaitan dengan eksistensi Kerajaan Panai yang bercokol di Pantai Barat Sumatra Utara. Kerajaan ini oleh Lisda Meyanti pada artikelnya Prasasti Paṇai: Kajian Ulang Tentang Lokasi Kerajaan Paṇai (2019) dikatakan keberadaannya bertumpu pada temuan Prasasti Panai.
Kerajaan ini ditengarai berdiri di daerah aliran Sungai Burumun yang merupakan bentang lahan lokasi Kepurbakalaan Padang Lawas. Eksistensi kerajaan ini juga didukung oleh Prasasti Tañjore (1103 M) yang menyebut pannai sebagai salah satu kota yang tunduk di bawah Sriwijaya. Pasca keruntuhan Sriwijaya, rupanya nama kerajaan ini tetap disebut dalam Nāgarakṛtāgama dari abad ke-14 sebagai Pane.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Dwi Ayuningtyas