tirto.id - Sisingamangaraja XII harus menghadapi Belanda pada awal 1878. Sikap kerasnya yang enggan menerima kehadiran misionaris Eropa melahirkan konsekuensi dengan risiko tinggi. Kaum penginjil yang merasa diancam oleh Raja Negeri Toba itu kemudian melaporkannya kepada pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah pun langsung merespons. Tak hanya markas Sisingamangaraja XII yang ditargetkan, melainkan seluruh Tanah Toba.
Awal Februari 1878, Belanda menyiapkan pasukan untuk bergabung dengan para tokoh misionaris di pedalaman Sumatera Utara. Mereka rupanya merancang strategi untuk menyerang Sisingamangaraja XII. Yang disasar ternyata sudah siap. Penguasa Toba itu mengumumkan maklumat perang. Maka pecahlah pertempuran perdana pada 18 Februari 1878 (Pirmian Tua Dalan Sihombing, Pendeta Mangaradja Hezekiel Manullang, 2008:24).
Jika Sisingamangaraja XII menolak, bahkan mengusir, penginjil yang datang ke Toba, lantas apa agama yang dianutnya?
Semula Menganut Ajaran Lokal
Sebelum agama Islam dan Kristen masuk serta berkembang di Tanah Batak, kebanyakan rakyat di sana menganut ajaran leluhur (animisme), semacam Ugamo Batak, atau kepercayaan lokal orang-orang Batak. Ajaran ini memiliki banyak ragam dan tersebar di pelbagai tempat, terutama di wilayah pedalaman Batak (Tridah Bangun, Penelitian dan Pencatatan Adat Istiadat Karo, 1990:78). Juga memiliki banyak sebutan, kadang disebut Parbegu, atau nama yang lain.
Selain ajaran Parbegu yang menjadi agama mayoritas orang Batak pada zaman itu, masih ada pula agama lain yakni Malim dan pengikutnya disebut Parmalim. Kepercayaan yang terakhir ini, bagi beberapa kalangan, merupakan kombinasi atau perpaduan dari agama Islam dan Kristen dan nilai-nilai kepercayaan lokal. Ada juga yang menganggap Malim sepenuhnya berasal dari ragam kepercayaan lama orang Batak Toba yang dikanonisasi sebagai respons terhadap konteks sosial dan politik.
Bonar W. Sidjabat, penulis sejumlah buku tentang Batak dan Sisingamangaraja, termasuk dalam buku Ahu Sisingamangaraja, menyebut Sisingamangaraja XII adalah penganut ajaran Malim. Buku Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Utara karya S.P Napitupulu & Hilderia Sitanggang (1997) juga menuliskan Sisingamangaraja XII adalah Parmalim.
Baca laporan khusus Tirto tentang agama Parmalim: Malim, Agama Lokal Suku Batak dari Huta Tinggi
Kendati demikian, Parmalim percaya bahwa semua keturunan Sisingamangaraja akan menjadi raja di seluruh dunia. Mereka juga percaya sang raja tidak pernah mati (Napitupulu & Sitanggang, 1997:27). Sisingamangaraja sendiri merupakan gelar kehormatan yang disandang oleh raja-raja di Negeri Toba.
Bagi sebagian orang Toba, Malim lebih dari sekadar agama, melainkan menjadi gerakan sosial dan politik yang menganggap Sisingamangaraja XII sebagai pemimpin suci dan bertujuan untuk melestarikan pola kehidupan pra-kolonial (Suzel Ana Reily & Jonathan M. Dueck, The Oxford Handbook of Music and World Christianities, 2016:47). Kepercayaan semacam ini membuatnya berwatak messianik, pola yang—dalam pelbagai bentuknya—kerap mencuat dalam gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda pada abad 19 hingga awal abad 20.
- Baca juga: Misionaris Kristen Dibunuh di Tana Toraja
Maka tidak mengherankan jika Sisingamangaraja XII disokong penuh masyarakat Toba. Parmalim menjadi salah satu faktor kunci kegigihan Sisingamangaraja XII dan rakyatnya dalam melawan Belanda sampai titik darah penghabisan, meskipun ke depannya nanti agama Kristen yang justru lebih dominan.
Sisingamangaraja XII Masuk Islam?
Mereka yang percaya Sisingamangaraja XII sang Raja Batak adalah seorang muslim, atau kemudian menjadi mualaf, juga cukup banyak. Ada sejumlah indikator untuk meyakini teori tersebut, salah satunya Negeri Toba yang dipimpin Sisingamangaraja XII pernah menjadi wilayah taklukan Kesultanan Paguruyung, kerajaan Islam di Minangkabau (Sumatera Barat).
Bahkan bukan sekadar wilayah taklukan. Menurut Thomas Stamford Raffles, orang Inggris yang pernah menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1811-1816, Sisingamangaraja masih keturunan Minangkabau atau Pagaruyung. Dalam Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles (2003), Raffles memperoleh informasi tersebut justru dari para pemimpin Batak sendiri.
Pagaruyung semula adalah kerajaan Hindu yang berkaitan dengan eksistensi Majapahit pada abad 14. Setelah Majapahit runtuh, Pagaruyung beralih menjadi kerajaan Islam sejak awal abad 16 dengan kehadiran kaum musafir muslim dan guru agama dari Aceh atau Malaka. Raja pertama Minangkabau yang memeluk Islam diketahui bergelar Sultan Alif (Dt. Batuah & Madjoindo, Tambo Minangkabau dan Adatnya, 1959).
Pengaruh Pagaruyung, yang menjelma menjadi pemerintahan Islam, menjadi salah satu alasan untuk meyakini Negeri Toba taklukannya, yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII, pun menganut agama yang sama.
Ada pula yang meyakini keislaman Sisingamangaraja XII diperoleh dari Aceh. Dada Meuraxa (1973:524) dalam Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara (1973) menyebut Raja Negeri Toba sebelumnya, yakni Sisingamangaraja XI (ayahanda Sisingamangaraja XII), pernah menetap di tanah rencong dan mendapatkan didikan militer dari Kesultanan Aceh Darussalam.
Kabar Sisingamangaraja XII seorang muslim lantaran pengaruh Aceh sempat diembuskan justru oleh penginjil Kristen. Mereka yakin Sisingamangaraja XII memeluk Islam karena Negeri Toba menjalin kerjasama erat dengan Kesultanan Aceh Darussalam untuk menghadapi Belanda sekaligus membendung masuknya ajaran Islam ke Tanah Batak.
Raffles juga pernah menyinggung kemungkinan ini meski tidak secara gamblang. Ia menyebut jika kekuatan Islam antara Minangkabau dan Aceh bersatu, maka akan menjadi ancaman sangat serius bagi kekuasaannya (Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, 1994:73). Minangkabau yang dimaksud adalah Kesultanan Pagaruyung yang bertautan dengan Negeri Toba.
Perdebatan tentang apakah Sisingamangaraja XII beragama Islam atau bukan masih berlangsung bahkan hingga wilayah Batak dikuasai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan justru di kalangan orang kolonial sendiri. Dalam surat kepada Departement van Oorlog (Departemen Pertahanan) tertanggal 19 Juli 1907, atau sebulan setelah Sisingamangaraja XII gugur di medan laga, dilaporkan:
“Bahwa sudah pasti S.S.M. (Sisingamangaraja XII) yang tua dengan putra-putranya telah beralih memeluk agama Islam, walaupun keislaman mereka tidak seberapa meresap dalam sanubarinya.” (Walter Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja, 1983:340)
Dalam laporan lain, Sisingamangaraja XII diyakini telah memeluk agama Islam tapi bukan seorang muslim yang fanatik. Sisingamangaraja XII juga tidak memaksakan kepada rakyatnya untuk beralih ke agama Islam meski ia berkuasa sebagai raja.
Pertanyaan yang Terus Mengemuka
Sisingamangaraja XII gugur dalam pertempuran melawan Belanda pada 17 Juni 1907, tepatnya hari ini, 112 tahun yang lalu. Ia kemudian ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI pada 19 November 1961. Hingga ia meninggal dunia, anggapan Sang Raja Negeri Toba pernah memeluk agama Islam masih sering diperbincangkan, bahkan sampai kini.
Pertanyaan-pertanyaan tentang agama Sisingamangaraja XII memang menjadi topik yang menarik. Namun, harus diakui, masih tersisa banyak pertanyaan tentang sosok terkemuka dari Tanah Batak ini.
Dalam seminarPeringatan 100 Tahun Gugurnya Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII pada 26 Mei 2007, Dr. phil. Ichwan Azhari, MS mengajukan banyak sekali pertanyaan bersifat historis. Dalam makalahnya, pengajar sejarah di Universitas Negeri Medan itu bertanya:
"Mengapakah dia di satu sisi dekat dengan Aceh yang muslim dan panglima-panglima Aceh rela membantu perjuangannya sampai mati di tanah Batak sementara di pihak lain, dia tidak memusuhi bahkan bertemu dan berkorespondensi dengan Nommensen missionaris Kristen Batak yang terkenal itu?"
"Jika kakeknya (Sisingamangaradja X) tewas dibunuh pasukan Islam dari arah Selatan yang ingin melakukan Islamisasi Tapanuli, mengapakah ayahnya (Sisingamangaradja XI) tidak memusuhi Islam (bahkan mengirim Sisingamangaradja XII ke dunia Islam yang lain di Aceh) dan elemen Islam diterima masuk dalam serangkaian ritus-ritus kepercayaan Sisingamangaradja XII?"
Belakangan makin mengemuka anggapan Sisingamangaraja XII bukanlah penganut Malim maupun Islam atau Kristen. Ulo Kozok, misalnya, sarjana dari Jerman yang tekun meneliti teks-teks tradisional Batak, percaya Sisingamangaraja bukanlah Islam, Kristen, maupun Parmalim.
Menurut penulis banyak buku tentang sejarah Batak ini, ketika agama Malim berkembang, Sisingamangaraja XII sudah berada di pengungsian, tepatnya di Dairi, untuk menghindari penangkapan tentara Belanda. Ia menegaskan keyakinannya bahwa Malim terhitung ajaran yang relatif baru, perpaduan pelbagai kepercayaan lama dan baru (Islam-Kristen), sehingga tidak bisa disebut sebagai agama asli orang Batak.
"Jadi agama Sisingamangaraja XII adalah Batak asli yang usianya jauh lebih tua dari agama Malim," kata Kozok.
Pada seminar yang sama—yang dihadiri oleh Ichwan Azhari itu, Kozok juga membahas stempel Sisingamangaraja XII yang menggunakan aksara campuran Batak Mandailing Angkola, Arab Melayu, dan Kawi juga tidak membuktikan bahwa ia telah memeluk agama Islam ataupun Kristen.
Sebagai seorang yang mengklaim penguasa di Tanah Batak, kata Kozok, selayaknya Sisingamangaraja XII memiliki sebuah stempel sebagai lambang kebesarannya dan wajar saja jika ia menggunakan aksara Arab Melayu dalam stempelnya karena saat itu bahasa Melayu sudah menjadi bahasa pengantar di Sumatera.
Ichwan Azhari sendiri, masih dalam makalah yang dirujuk sebelumnya, mengajukan hipotesis lain:
"Sisingamangraja XII adalah tokoh yang terbuka dan mau mengadopsi sistem politik baru dari luar, sepanjang sistem itu dianggap bermanfaat untuk mengatasi kebuntuan sistem politik lama dalam merespons perubahan zaman. ... Dia adalah tokoh pembaharu yang ingin mencairkan kebuntuan eksklusivisme sistem politik Batak yang mengisolir diri ke dalam dan bukan memperbaiki sistem yang bisa digunakan untuk merespons perubahan zaman."
======
Artikel ini pertama kali terbit di Tirto.id pada 4 Agustus 2017, dengan judul "Menerka Agama Sisingamangaraja XII". Naskah mengalami penyuntingan minor untuk diterbitkan ulang pada kanal mozaik Tirto.id.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS