tirto.id - Manusia pertama di dunia bukanlah Adam dan Hawa. Tapi bernama Si Raja Ihat Manisia dan istrinya Si Boru Ihat Manisia. Tak seperti Adam dan Hawa, yang tempatnya turun pertama kali di Bumi masih diperdebatkan, Raja Ihat dan Boru—tanpa ragu—dikisahkan lahir di Pusuk Buhit, sebuah gunung kecil yang terletak di sebelah barat Pulau Samosir.
Pada pulau vulkanik di tengah Danau Toba, Sumatera Utara, Raja Ihat dan Boru kemudian membangun perkampungan pertama di kaki gunung Pusuk Buhit. Ia diberi nama Sianjurmula-mula. Perkawinan keduanya menghasilkan tiga anak: Raja Miokmiok, Patundal Nibegu, dan Aji Lapaslapas.
Kecuali Raja Miokmiok, dua anak Raja Ihat dan Boru tak diketahui apakah mempunyai keturunan atau tidak. Raja Miokmiok kemudian punya anak bernama Eng Banua, yang punya tiga anak bernama Raja Aceh, Raja Bonangbonang, dan Raja Jau.
Dalam salah satu kisah, Aceh diceritakan sebagai nenek moyang semua suku Aceh, sementara kisah lain meyakini kalau Aceh dan Jau tidak diketahui rimbanya. Sementara Raja Bonangbonang punya anak tunggal bernama Guru Tantan Debata, yang kemudian memiliki putra tunggal bernama Siraja Batak.
Dalam kajian sejarah, Siraja Batak dianggap sebagai nenek moyang orang Batak. Ia dikenal sebagai permulaan catatan tarombo (silsilah), yang dalam budaya Batak kemudian membentuk marga-marga.
Bagi kebanyakan orang Batak masa kini, kisah di atas mitos belaka. Raja Ihat hingga Tatea Bulan—salah seorang dari dua anak Siraja Batak—dianggap sebagai nama-nama fiktif yang memulai keturunan bangsa Batak. Tapi, tidak demikian bagi penganut Ugamo Malim alias agama Malim. Raja Ihat tak hanya dianggap manusia pertama bangsa Batak, ia juga diyakini manusia pertama yang diturunkan di dunia ini.
Malim adalah agama asli dari Tanah Batak. Sebagaimana Adam dan Hawa diyakini sebagai manusia pertama dalam Islam ataupun Kristen, kisah Raja Ihat dan Boru serta keturunan-keturunannya adalah bagian dari ajaran dan keyakinan yang dianut Malim.
Para pengikut agama ini disebut parugamo Malim atau biasa disingkat Parmalim. Jumlah mereka memang sangat kecil. Ibrahim Gultom dalam Agama Malim di Batak (2010) menyebut angkanya cuma berkisar 5 ribu orang atau 1.127 kepala keluarga. Nama Malim atau Parmalim masih jarang didengar, bahkan oleh orang-orang yang tinggal di Sumatera Utara, tempat asal agama ini berkembang.
Belum lagi ia hanya diakui negara sebagai "aliran kepercayaan", ketimbang agama sebagaimana Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Bagi Malim, Tanah Batak adalah tanah suci. Kawasan ini melingkupi daerah sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir, yang menyimpan nilai magis dan ajarannya. Pusat administrasi mereka juga didirikan di sana, tepatnya di Huta Tinggi, Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, sekitar 7 hingga 8 jam dari Medan dengan perjalanan darat.
Ibrahim Gultom pernah dua tahun tinggal di sana guna menyelesaikan disertasi tentang agama Malim. Saat Gultom memulai penelitiannya, hanya ada dua kajian terdahulu yang mengupas tentang Malim, yakni tesis yang ditulis oleh Sihombing (1994) dan Siregar (1996). Keduanya tidak mengulik Malim dengan pendekatan antropologi, melainkan teologi dan sosiologi politik. Kajian Gultom menjadi adalah studi akademis paling komprehensif tentang agama ini.
Raja Marnangkok Naipospos, pemimpin pusat agama Malim (1981–2016), mengakui hal itu. Dalam satu pertemuan kami pada Mei 2015, ia menyarankan saya untuk mengobrol dengan Gultom bila ingin mengetahui Malim secara komprehensif.
“Dia itu orang (pendatang) yang paling bagus dan paling mengerti tentang Malim. Dia di sini betul-betul belajar tentang Malim,” kata Raja Marnangkok.
Bagi Parmalim, Raja Marnangkok dikenal sebagai ihutan alias pemimpin tertinggi dalam agama Malim. Ihutan artinya "yang ikuti atau ikutan." Dalam silsilahnya, Raja Marnangkok adalah Ihutan ketiga, setelah ayahnya, Raja Ungkap Naipospos, dan kakeknya, Raja Mulia Naipospos.
Generasi Ihutan tergolong sedikit tapi bukan berarti Malim adalah ajaran yang baru. Bangsa Batak sendiri, dalam kajian antropologi, diperkirakan sudah ada sejak 1.500 hingga 2.000 tahun lalu. Bahkan menurut Parlindungan(1964), bangsa Batak pertama di Tanah Batak sudah ada sejak 3.000 tahun Sebelum Masehi. Sementara Malim memang baru dideklarasikan sebagai sebuah agama oleh Raja Nasiakbagi dan penerusnya, Raja Mulia Naipospos, pada masa awal kemerdekaan Indonesia.
Sebelumnya, ajaran-ajaran Malim yang belum dilembagakan sudah ada sejak bangsa Batak hadir. Menurut Gultom, penyampaian ajaran agama Malim semula lebih kerap dilakukan secara lisan, dalam bentuk turi-turian (dongeng). Hampir tak ada peninggalan tulisan—semacam kitab suci—yang mengemas cerita asal mula munculnya Malim.
Baru pada masa hidup Siraja Batak, diketahui ada dua surat yang diberikannya kepada kedua anaknya dalam aksara Batak. Surat pertama bernama agong dan diserahkan kepada Guru Tatea Bulan. Isinya tentang ilmu hadatuon (ketabiban), keperwiraan, kependekaran, dan kesaktian.
Sementara surat kedua yang diberikan kepada Raja Isumbaon, disebut surat tombaga holing, isinya mengenai ajaran-ajaran kerajaan, hukum peradilan, persawahan, perniagaan, dan kesenian. Surat lain yang belakangan muncul adalah pustaha habonoron yang konon ditulis langsung oleh Sisingamangaraja XII, salah satu orang suci (nabi) dalam ajaran Malim.
Bagi Parmalim, yang dijadikan sumber hukum adalah tona (pesan), poda (sabda), patik (peraturan), dan uhum (hukum).
Lahirnya Malim sebagai Agama
Syahdan, kabar kematian Sisingamangaraja tersebar ke seantero Tanah Batak dan sekitarnya. Itu terjadi pada 1907. Saat itu belum ada agama bernama Malim. Masyarakat Batak saat itu masih meyakini iman mereka kepada Debata Mulajadi Nabolon, nama Tuhan mereka, dan Sisingamaraja XII sebagai salah satu orang suci. Tapi belum ada yang menamai keyakinan itu.
Kabar kematian ini disebarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda dengan menyatakan Sisingamagaraja XII, sang pemimpin pemberontak, ditembak dalam persembunyian. Kabar itu sontak membuat ciut nyali raja-raja kecil di Tanah Batak. Mereka sudah banyak terkena politik pecah belah Belanda sehingga loyalitasnya terhadap Sisingamangaraja XII dan Tanah Batak sendiri sudah tergerus.
Namun, ada satu orang yang tetap setia pada imannya dan Sisingamangaraja XII. Namanya Lanja Naipospos, kelak berkat kebaikan hatinya, ia berganti nama jadi Raja Mulia Naipospos. Sebelum dikabarkan mati, Sisingamangaraja XII pernah berpesan kepada Lanja untuk terus menyebarkan kepercayaan orang Batak pada Debata Mulajadi Nabolon.
“Alai pos roham, ro ma ama na tau haposan ni roham. Alai dang pola ajaranghu ho di si. Ai tibu hian do ho diajari tondinghi,” tulis Sisingamangaraja XII di ujung suratnya pada Lanja. Artinya, “Percayalah engkau, akan datang seorang ‘bapak’ kepercayaan dan kesayanganmu. Saya agaknya tidak perlu mengajarimu lagi mengenai hal ini. Sudah sejak dulu engkau diajarai rohku (tondi-ku).”
Waktu itu ia mengganti namanya sebagai Raja Tubu agar tak terlacak oleh otoritas pemerintah kolonial Belanda. Di saat yang sama, gerakan misionaris yang dipimpin Nommensen—pekabar Injil berkebangsaan Jerman yang kelak mendirikan Huria Kristen Protestan Batak—menguat di Tanah Batak. Penginjilan menanggalkan kepercayaan lokal.
Namun, bagi Parmalim, Sisingamangaraja XII adalah utusan Debata (Malim Debata), yang kedudukannya serupa nabi. Ia juga dikenal punya mukjizat: bisa muncul di pelbagai tempat yang diinginkannya dan dapat mengubah wujudnya jadi siapa saja.
Hingga muncullah Raja Nasiakbagi, penerus Sisingamangaraja XII yang dimaksudkannya dalam surat tersebut. Ia dikenal sebagai Malim Debata yang kali pertama mencetuskan agar Malim dilembagakan sebagai agama. “Malim ma hamu (malimlah kalian)” diingat sebagai kalimat bersejarah Nasiakbagi kepada murid-muridnya—tonggak awal lahirnya agama Malim.
Ia kemudian menganjurkan didirikannya suatu tempat peribadatan yang disebut Bale Pasogit Patonggoan di kampung Raja Mulia, yaitu di Huta Tinggi, Laguboti.
Di tempat itu pula saya terakhir kali bertemu Raja Marnangkok dan melihatnya memimpin mararisabtu, ibadah mingguan Parmalim yang diadakan setiap hari Sabtu, sebagaimana umat Kristen ke gereja pada hari Minggu dan salat Jumat bagi umat muslim.
Waktu itu Raja Marnangkok sudah diserang penyakit komplikasi, di antaranya diabetes dan asam urat. Jalannya memang pendek-pendek. Di hari peribadatan, dari rumahnya, ia melangkah keluar dengan dandanan lengkap, masih menunjukkan karisma tanpa cela, dan berdiri tepat di pelataran Bale Pasogit.
Ibadah itu dimulai tepat pukul 11. Persis seperti janji Raja Marnangkok, “Orang Malim tidak pernah telat.”
Sekumpulan orang berbondong-bondong memasuki sebuah balai persegi, tempat bersejarah yang disebut Bale Pasogit, yang puncak atapnya terdapat tiga hiasan berbentuk ayam jago. Mereka masuk berbaris sesuai jenis kelamin, pria dari sebelah kiri dan perempuan dari sebelah kanan.
Para pria dari kalangan orang dewasa mengenakan pakaian rapi, kemeja, jas, celana keper, ulos, dan tali-tali—semacam serban putih yang dililit di kepala. Sementara para wanita memakai kebaya, sarung, dan ulos. Di jalan menanjak, tempat gerbang kecil terpacak di depan balai, semua orang harus melepaskan alas kaki. Ini bagian dari keyakinan Malim.
Di dalam ibadah itu, semua perkataan dalam bahasa Batak. Di pertengahan, ada remaja laki-laki yang berdiri membacakan patik atau aturan-aturan yang jadi pedoman Parmalim dalam menjalankan kehidupan.
Seluruh penduduk beragama Malim di sekitaran Balige bahkan Parapat—sekitar 60 km dari Balige—akan datang ke Huta Tinggi untuk menunaikan ibadah ini. Balai tempat ibadah ini adalah satu-satunya di kawasan Toba Samosir.
Sayang, sejak Mei tahun ini, Bale Pasogit resmi ditutup polisi resort Toba Samosir. Ihwalnya, setelah Raja Marnangkok meninggal pada September 2016, Parmalim terpecah jadi dua kubu.
Ada dua orang yang mengaku sebagai penerus tahta. Kelompok pertama dipimpin Monang Naipospos, adik kandung almarhum Raja Marnangkok. Sementara kelompok kedua dipimpin Poltak Naipospos, anak keempat almarhum Raja Marnangkok. Masing-masing membawa pengikut yang meyakini mereka sebagai Ihutan.
Tak hanya selisih paham tentang klaim sebagai Ihutan, Parmalim juga berselisih paham soal Bale Pasogit. Sejak tempat itu ditutup, beberapa pengikut Monang Naipospos yang saya jumpai berkata tak boleh merayakan ritual agama Malim di tempat lain. Sementara pengikut Poltak Naipospos memilih memindahkan perayaan itu ke balai lain. Misalnya acara Sipaha Lima, 5–7 Juli kemarin, yang diadakan di Bale Persantian, Medan Denai.
Menurut Poltak Simanjuntak, humas Parmalim dari kelompok Raja Poltak Naipospos, kegiatan itu tetap diadakan "bagian dari ajaran Malim yang tak bisa dielakkan." Keputusan menyelenggarakan Sipaha Lima di luar Huta Tinggi untuk kali pertama, katanya, diharapkan menjadi yang terakhir karena mereka tengah membangun Bale Pasogit baru di daerah dekat Laguboti.
“Semoga tahun depan sudah tidak di sini lagi. Karena menurut keyakinan Malim, acara ini harusnya diadakan di Tanah Batak. Medan ini kan bukan (Tanah) Batak. Ini Tanah Deli,” katanya.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam