Menuju konten utama
Wanry Lumbanraja:

"Masih Banyak yang Perlu Diperjuangkan Malim"

Ketua Pemuda (Naposo) Parmalim dari kubu Raja Poltak Naipospos enggan menyebut konflik di kalangan Malim sebagai perpecahan.

Wanry Lumbanraja. tirto.id/Sabit

tirto.id - Suku Batak bukanlah hal asing di telinga orang Indonesia. Menurut sensus etnik terakhir tahun 2010, yang di era Orde Baru menjadi "tabu politik"—karena dipandang negara "dapat mengancam keutuhan bangsa"—suku bangsa Batak adalah terbesar ketiga di Indonesia (3,6 persen atau 8,5 juta jiwa).

Sejumlah stereotip melekat pada suku ini, dan jadi gambaran umum yang biasa dirayakan oleh televisi dan media massa lain. Misalnya, hal remeh soal profesi umum mereka, dan cara bicara yang terkesan blakblakan. Meski begitu, tak banyak orang tahu bahwa suku ini adalah salah satu suku asli (indigenous) dengan sistem kehidupan yang kompleks, terutama dalam bidang sosial, hukum, dan spiritualitas.

Salah satunya adalah agama lokal suku Batak, yakni Ugamo Malim alias agama Malim, dan pemeluknya disebut Parmalim.

Indonesia hanya mengakui enam agama "resmi"—Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu—sehingga Malim, dan banyak agama lokal lain, terpinggirkan. Malim termasuk agama asli dari negeri ini, bukan agama impor. Lantaran kurang akomodatifnya hukum administrasi negara Indonesia terhadap agama, termasuk bagi orang nonagama, di masa lalu—dari era kolonial hingga era Orde Baru—pemeluk agama lokal dipaksa untuk mengikuti agama "resmi" tersebut.

Prasangka kerap menjadi makanan sehari-hari bagi pemeluk agama lokal, termasuk terhadap penganut Malim. Orang sering menstigma Parmalim sebagai sipele begu alias si penyembah setan. Di masa lalu mereka tak bisa menuliskan agama mereka di KTP. Kini, dengan UU soal administrasi kependudukan yang lebih akomodatif, Parmalim boleh mengosongkan kolom agama di KTP.

Para pemuda Malim, biasa disebut Naposo, mulai mempromosikan Malim untuk masuk ke dalam kurikulum sekolah. Tujuannya agar anak-anak Parmalim tak harus lagi memilih salah satu agama "resmi". Kini, anak-anak di sejumlah daerah, seperti Tobasa (Toba Samosir) di Sumatera Utara dan Riau, sudah tak perlu lagi mengikuti kelas agama lain untuk bisa lulus.

Namun, ketika Malim kian diterima secara luas dan mulai lepas dari beragam stigma, tantangan baru secara internal pun muncul. Setelah kepergian raja terakhir mereka, Raja Marnangkok Naipospos, komunitas Parmalim terbagi dua. Kelompok pertama dipimpin Monang Naipospos, adik kandung almarhum Raja Marnangkok, sementara kelompok kedua dipimpin Poltak Naipospos, anak keempat almarhum Raja Marnangkok. Masing-masing kubu mengklaim sebagai penerus sah pemimpin tertinggi—atau Ihutan—Malim.

Perpecahan ini menyibak tantangan bagi komunitas Parmalim dan para pemuda Malim untuk menjaga keimanan dan adat budayanya. Wanry Lumbanraja, Ketua Naposo Parmalim di bawah pimpinan Raja Poltak Naipospos, menjawab pertanyaan Tirto tentang tantangan ini.

Di sela-sela hari puncak perayaan Sipaha Lima, Wanry bercerita tentang nasib agama yang ia peluk.

Dalam Persahadatan—ritual pertama yang dilakukan di hari pertama Sipaha Lima—Raja Poltak sempat memberikan ceramah. Ada pesan khusus yang disampaikannya?

Mulai dari refleksi, pesan, dan semua yang harus kita lakukan. Kebanyakan tentang kondisi kita (Parmalim) sekarang. Dia lebih menyampaikan untuk menyemangati. (Menguatkan) hati kita seperti apa seharusnya, sebelum bertindak.

Menyemangati karena konflik?

Iya. Dipesankan (oleh Ihutan) walaupun tahun ini konflik, ya, tapi kita jangan lupakan ibadah. Intinya, kita jangan sampai melupakan aturan. Misalnya, salah satu ini, kan (Sipaha Lima). Ini, kan, salah satu bagian dari ajaran. Ya harus dilaksanakan. Artinya, kita tidak punya alasan untuk tidak melakukannya.

Ini, kan, pertama kali Sipaha Lima diadakan di Medan. Biasanya di Laguboti, Tobasa. Selain tempat, ada perbedaan khusus?

Kalau secara muatan sebenarnya enggak ada. Cuma pelaksanaannya saja yang berbeda sedikit, misalnya, makan, ya. Yang sebelumnya itu makannya bareng, makan besar bersama, gitu. Cuma yang ini, pertimbangannya karena yang kali ini muda-mudinya sedikit, jadi (mereka) difokuskan untuk mempersiapkan pelean (sesembahan) tadi. Jadi, untuk pasoran, pasoran itu maksudnya makan orang biasa—makan orang banyak, itu kita percayakan pada katering. Yang sebelumnya masak sendiri.

(Hari itu para Parmalim duduk bebas saat makan, tidak secara bersamaan seperti yang sudah-sudah)

Bukankah tempat kali ini lebih luas dari yang ada di Laguboti?

Halamannya saja sebenarnya yang lebih luas. Tapi balai lebih luas di sana.

Persiapan persembahannya sama? Janur, hewan yang disembelih, kualitasnya sama dengan yang sebelumnya?

Sama. Semua sama. Tapi yang kali ini agak lebih berhati-hati. Saya melihat orang-orang yang bertugas di sini lebih hati-hati. Dan semangat kali, malah. Artinya, kita enggak mau gagal. Mudah-mudahan, semoga dengan semangat yang kuat, jadi indikator yang baik buat kita semua. Prinsip kehati-hatian dan semangat itu sangat terasa di kali ini.

Jumlah naposo sendiri berkurang, ya?

Lebih berkurang. Dulu jumlahnya mencapai ribuan. Sekarang yang datang ke sini cuma sekitar 180-an.

Sebagai ketua naposo, apa tanggapan Anda soal perpecahan ini?

Sebenarnya waktu kejadian, sedih memang. Sedih. Karena apa? Karena awalnya Parmalim itu kecil, walaupun kecil secara jumlah, tapi tetap sama sebenarnya. Kita dulu harus meyakinkan orang-orang (mayoritas) bahwa kita bukan sesat, bahwa kita bukan tertinggal dari peradaban manusia. Kita sama-sama memperjuangkan agar Parmalim itu mendapatkan pendidikan yang setara, agar diskriminasi itu tidak ada. Sekarang itu hampir tercapai. Tinggal beberapa langkah lagi untuk bisa mencapai ke situ. Tapi sekarang malah pecah. Itu mungkin satu hal yang bikin sedih.

Namun sekarang, kita tidak mau berpikiran bahwa ini sebatas cobaan. Saya coba bilang ke teman-teman, justru ini anugerah juga. Artinya kita dapat kesempatan terlahir kembali. Dan kita punya suatu benih unggul yang harus ditumbuhkan. Di satu sisi, ini cobaan. Tapi, di sisi lain, ini anugerah. Saya berharap teman-teman naposo enggak usah (sedih) berlarut-larut.

Kita enggak punya waktu untuk berlarut-larut dalam masalah yang enggak potensial. Kita enggak punya waktu terlarut pada problem yang tidak baik. Kita harus menyatu dan berlari kencang, mengejar ketertinggalan. Kita enggak punya waktu untuk memikirkan permasalahan. Itu secepat mungkin kita tinggalkan. Kalau perlu itu dianggap humuslah. Humus di antara benih. Jangan lambat pergerakannya. Kita enggak ada waktu, masih ada yang perlu dibenahi.

Kalau konflik ini disebut sebagai perpecahan Malim?

Kalau dibilang perpecahan ini sebenarnya enggak. Karena dulu-dulu kami sebenarnya sudah tahu bakal terjadi begini. Tapi yang kami tidak tahu detail perpecahan itu bentuknya seperti apa. Sudah dikasih tahu sejak lama: akan ada nanti terjadi seperti ini, seperti ini, seperti ini. Yang ada kita cuma sedih saja, ternyata benar (nubuat itu). Ya itu jadi modal bagi kita bahwa memang dalam hal ber-Tuhan atau berspiritual ini memang enggak selamanya seperti skenario manusia. Dan kita harus siap. Kita tidak memandang ini sebagai perpecahan. Hanya perbedaan pandangan saja.

Maksud Anda, Malim tetap satu?

Enggak bisa dibilang satu. Malim ini, kan, pandangan. Agama Malim ini, kan, pandangan. Ya beda pandangan ya beda. Saya tidak bilang sama. Kalau kita bilang sama itu terlalu memaksa. Kalau kita bilang pisah juga terlalu memaksa. Kita lebih tidak mengomentari masalah ini secara emosional.

Artinya, kita punya tanggung jawab. Tanggung jawab kita sebagai Malim ini adalah menyembah sang pencipta—itu kewajiban. Kodrat. Cuma itu. Makanya saya bilang, (konflik) ini bukan jadi alasan kita untuk tidak melakukan ibadah (Sipaha Lima) itu.

Menurut Anda, apakah akan ada solusi dari konflik ini?

Enggak ada. Artinya, seperti yang saya bilang, ini bukan hal yang produktif untuk dipikirkan. Jadi, kita sangat senang kalau akan menyatu. (Tetapi) ini, kan, permasalahan lebih rumit. Saya punya tanggung jawab kepada naposo dan pimpinan dalam hal pembangunan, pengembangan sumber daya manusianya. Bukan dalam hal mempersatukan hal-hal yang berbeda, kan.

Dari konflik ini, adakah hal paling berdampak pada Malim secara keseluruhan—baik dari kelompok mana pun?

Yang paling berdampak sebenarnya hubungan sosial. Karena ada yang dalam satu keluarga jadi berpisah. Ada yang tidak cakapan malah. Yang itu sangat kita sayangkan sebenarnya.

Kalau dari orang luar?

Kalau dari orang luar sih sejauh ini menurut saya tidak ada intervensi, ya. Jadi tidak ada pengaruh dari luar. Justru yang saya lihat, saya sangat senang dengan tanggapan dari orang-orang luar Parmalim. Mereka tidak melihat (konflik) ini sebagai sesuatu permasalahan yang harus digembar-gemborkan. Di satu sisi, mereka percaya ini masalah internal Parmalim. Di sisi lain, secara historis, secara akademis, ini masalah yang lumrah. Jadi dari luar, tidak ada tekanan yang terlalu gimanalah.

Di kalangan pemuda sendiri, ada agenda khusus yang masih diperjuangkan?

Oh, masih banyak lagi. Kita harus mempertahankan identitas Batak. Naposo juga harus mempertahankan identitas Parmalim. Naposo harus mengejar perkembangan teknologi, informasi, seni, ilmu pengetahuan. Itu wajib. Kita juga belum tuntas berinklusi dengan masyarakat. Inklusi itu masih semu. Kita masih belum tahu apakah masyarakat itu benar-benar menerima Malim.

Diskriminasi masih tinggi?

Tinggi di kalangan yang masih belum tahu.

Jumlah mereka yang tidak tahu soal Malim ini banyak?

Masih banyak. Masih banyak. Kalau orang yang sudah tahu biasanya tidak mau men-judge. Dari situ kita percaya kalau memberi penjelasan adalah masih jalan terbaik. Setelah kita jelaskan, dan mau berdiskusi, biasanya akan menerima.

Salah satu perkembangan yang bagus dari negara untuk penganut agama lokal adalah kurikulum untuk penganut "kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa". Di Tobasa sendiri, apa sudah ada sekolah yang mengakomodasi murid dari Malim?

Sebenarnya sudah di banyak tempat. Peraturan Menteri Pendidikan tahun 2016 sudah mengakomodir itu. Dan sekarang kewajiban ini bukan tanggung jawab Parmalim lagi. Ini sudah tanggung jawab institusi pendidikan dan Malim. Jadi bareng nih tanggung jawabnya. Kalau orang pendidikan enggak mau mengakomodir, mereka mendapat sanksi dari menteri pendidikan. Kalau kita (Malim) tidak berlaku cepat, ya kita tidak bisa melaksanakan itu. Jadi ini tanggung jawab bersama.

Kalau SKS Agama di kampus?

Di Universitas Padjadjaran (Bandung) kemarin, sudah meminta menyediakan dosen dari sini (Parmalim). Sebenarnya itu yang belum kita penuhi. Kalau misalnya ada yang bisa mengajar, kita akan sampaikan. Dengar-dengar di Universitas Negeri Medan juga sudah diminta, cuma kita belum tahu kriteria jadi dosen di situ.

Baca juga artikel terkait AGAMA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Indepth
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam