Menuju konten utama
Mozaik

Lasem: Pelabuhan Majapahit yang Terlupakan

Saat pusat pemerintahan sejumlah kerajaan berkumpul di Jawa Timur, Lasem tampil sebagai pembeda di tengah peradaban Jawa Tengah yang masuk "era kegelapan".

Lasem: Pelabuhan Majapahit yang Terlupakan
Header Mozaik Lasem, Pelabuhan Majapahit Yang Terlupakan. tirto.id/Fuad

tirto.id - Artikel sebelumnya

Bagian 1: Sailendra dan Prasasti Melayu Kuno di Tanah Jawa

Bagian 2: Ekspansi Kerajaan Mataram Kuno ke Timur di Era Dyah Balitung

Bagian 3: Bencana Ekonomi Membuat Kerajaan Mataram Kuno Berpindah ke Timur

Setelah perpindahan pusat kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno ke wilayah timur pada abad ke-10, utamanya di tepian Sungai Brantas, wilayah Jawa Tengah dianggap masuk ke "masa kegelapan".

Para sejarawan kuno kerap menaruh perhatian yang lebih ke daerah Jawa Timur, dan seakan-akan menganggap tidak ada sesuatu yang cukup monumental terjadi di bekas pusat pemerintahan pertama Mataram Kuno.

Dalam beberapa aspek, hal ini memang bukan sesuatu yang begitu mengejutkan. Pasalnya, di Jawa Timur terjadi revolusi kebudayaan besar-besaran yang mengubah dan menambah khazanah tata perilaku masyarakat Jawa Kuno.

Di zaman Airlangga, misalnya, seperti disinggung oleh Ninie Soesanti dalam "Airlangga: His Relations to Kings in South and South-East Asia" (2013), orang Jawa yang di periode Jawa Tengah dikenal sangat agraris, akhirnya mulai dekat dengan peradaban sungai dan bahari.

Airlangga membangun fasilitas-fasilitas penunjang seperti saluran irigasi di sekitar DAS Brantas, juga merintis pembangunan Pelabuhan Kambang Putih di Tuban dan Hujung Galuh di sekitar Surabaya. Di era itu, para pedagang asing yang datang dari samudra diatur sedemikian rupa sebagai objek pajak warga kilalan.

Berikutnya, akibat tekanan geopolitik dunia pada abad ke-13, Kerajaan Singhasari yang juga berdiri di Jawa Timur sebagai suksesi Kerajaan Kadiri, telah mengubah masyarakat Jawa Kuno yang lebih ambisius—utamanya dalam menyatukan negeri-negeri di luar wilayah kebudayaan mereka.

Walau tidak berhasil disempurnakan oleh kerajaan tersebut, Majapahit berhasil merealisasikan cita-cita politik leluhurnya di era Singhasari. Seperti ditulis oleh M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuna (2010), menjelang akhir abad ke-14, Majapahit sukses menundukkan pelabuhan-pelabuhan kerajaan terkemuka yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Nusantara.

Hiruk kerajaan di Jawa Timur antara abad ke-10 sampai dengan abad ke-15 nyatanya tidak benar-benar menyurutkan tanda-tanda kehidupan di Jawa Tengah. Beberapa sumber sejarah Majapahit—yang notabene ditulis di Jawa Timur, misalnya Nagarakrtagama dalam edisi Th. Pigeaud (1960) yang dianggap sumber paling "babon", menyebut keberadaan peradaban-peradaban besar di Jawa Tengah yang semasa dengan Majapahit.

Walaupun kedudukannya mungkin tidak setara dengan Majapahit, dalam arti bahwa statusnya sebagai negara bawahan negeri Wilwatikta, tetapi perannya tidak kalah memukau. Sebut saja satu di antaranya negeri Lasem yang tersohor.

Lasem

Lasem. FOTO/wikipeida

Perahu Punjulharjo: Lasem sebelum Majapahit

Jauh sebelum Majapahit berdiri, sebenarnya Lasem telah menempati posisi yang spesial di mata para arkeolog dan sejarawan. Bagaimana tidak, salah satu tinggalan perahu tertua di Tanah Jawa ditemukan tidak jauh dari pusat Lasem sekarang.

Situs tempat ditemukannya perahu itu dikenal sebagai Situs Punjulharjo, di Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang. Perahu itu sebagaimana disebut dalam laporan penelitian Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta bertajuk Penelitian Perahu Kuna, Punjulharjo Rembang, Jawa Tengah (2009), yang ditulis oleh Novida Abbas dan P.Y. Manguin, ditemukan oleh warga sekitar pada Juli tahun 2008.

Setelah proses ekskavasi, diketahui bahwa perahu tersebut berukuran panjang 15 meter dan lebar hampir 5 meter, dengan proses penggarapan pembuatan khas Austronesia, yakni dengan teknik pasak kayu yang diikat tali ijuk (tambuku terikat). Menurut hasil penanggalan karbon yang dilakukan pada sampel kayu perahu itu, yang dilakukan oleh Beta Analytic Radiocarbon Laboratory di Miami, Amerika Serikat, kapal itu berasal dari sekitar abad ke-7 sampai abad ke-8 M.

Periodisasi yang terakhir disebut sekilas mengingatkan kita dengan beberapa catatan kronik Tionghoa mengenai kerajaan-kerajaan kuno pra-Sailendra di Jawa Tengah. Kerajaan itu adalah apa yang dilafalkan orang Tionghoa sebagai Ho-Ling. Kerajaan yang tersohor karena dipimpin oleh Ratu Sima itu sudah lama dicurigai para peneliti memang pernah berkedudukan di daerah Lasem atau Rembang pada umumnya.

Seperti digambarkan W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa (2018) yang mana ia mengutip kronik Dinasti Tang, diceritakan bahwa Ho-Ling merupakan negeri di pesisir utara Jawa yang ramai disinggahi para pedagang asing. Walau dari gambaran ini, sukar dipastikan bagian pesisir utara Jawa mana yang dimaksud sebagai pusat kekuasaan Ho-Ling, Lasem dengan temuan Punjulharjo-nya mungkin bisa menjadi kandidat yang kuat.

Di Lasem ada satu dataran tinggi yang dikenal sebagai Gunung Lasem, yang dalam beberapa penelitian diklaim identik dengan Gunung Lang pi ya yang juga disebut dalam kronik Dinasti Tang. Keterangan mengenai gunung di kronik Dinasti Tang berbunyi sebagai berikut:

"...raja senang sekali pergi ke Gunung Lasem (Lang pi ya) untuk menikmati pemandangan laut. Mungkin saja sebenarnya bukan pemandangan laut yang ia nikmati, tetapi kesibukan di pelabuhan itu yang diperhatikan, untuk memastikan semua dalam kendalinya..."

Sejarah galangan kapal Dasun

Kegiatan industri galangan kapal di pelabuhan Dasun, Lasem, Rembang pada tahun 1922. (Europeanen bij scheepswerf Dasoen bij Rembang 1922)

Tanah Para Bhatari

Di masa Majapahit, Lasem juga menaruh banyak perhatian para sejarawan lantaran fenomena politisnya yang khas. Menurut berbagai sumber sejarah Majapahit, kedudukan Bhre (Bhatara i; jabatan sejenis raja bawahan zaman Majapahit) di Lasem nyatanya terus-terusan dipegang oleh para perempuan dari zaman ke zaman.

Dikutip dari Nagarakrtagama, Bhre perempuan pertama yang memimpin Lasem adalah adik Hayam Wuruk—Maharaja Majapahit, yakni Rājasaduhitendudewī. Ia memimpin Lasem bersama suaminya yang juga merupakan seorang Bhre dari daerah Matahun (mungkin sekitar Bojonegoro sekarang).

Seperti disebut Titi Surti Nastiti dalam Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuna (Abad VIII-XV Masehi) (2009), posisi itu kemudian diduduki oleh putri Hayam Wuruk, Kusumawarddhani atau bergelar Bhre Lasěm Sang Ayu (Bhre Lasem yang cantik), dan seterusnya anak Wirabhumi (cucu Hayam Wuruk), Nagarawarddhani yang bergelar Bhre Lasěm Sang Alěmu (Bhre Lasem yang gemuk).

Setelah ketiga bhre perempuan ini, catatan soal penguasa Lasem berikutnya tidak pernah disinggung sama sekali, baik di Pararaton maupun naskah-naskah lain yang menceritakan kehidupan Majapahit pasca Hayam Wuruk.

Terlepas dari para penguasa perempuan itu, reputasi Lasem sebagai pelabuhan paling berumur panjang di Jawa Tengah rupanya sulit digantikan. Menurut Sugeng Riyanto dkk. dalam Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara: Sebuah Kajian Arkeologis (2020), kala menjadi kerajaan vasal dari Kerajaan Majapahit, Lasem memiliki dua pelabuhan, yaitu Bandar Regol dan Kairingan, yang digunakan sebagai tempat tambatan kapal.

Selain itu, Lasem memiliki dua galangan kapal, yaitu di Dasun dan Bancar. Pada tahun 1832 setidaknya tercatat bahwa galangan-galangan kapal di Lasem menghasilkan 15 kapal berik, 15 sekunar, 8 pencalang, 2 paduakang, 232 perahu mayang, 41 perahu complang, 102 dukut, 353 sentek, 346 jukung, dan 13 bessi jeropian.

Baca juga artikel terkait KERAJAAN MAJAPAHIT atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - News
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi