tirto.id - “Sejarah nusantara adalah sejarah bahari,” demikian penyataan sejarawan A.B. Lapian dalam pidato pengukuhan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia bertajuk Sejarah Nusantara Sejarah Bahari (1992).
Dalam pidato tersebut, beliau juga menyatakan bahwa seluruh wilayah perairan Nusantara merupakan pemersatu, alih-alih pemisah. Kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami ribuan pulau di Nusantara terintegrasi melalui lautan.
Wilayah laut Nusantara tumbuh menjadi satu kesatuan sebagai akibat dari interaksi kultural, sosial, ekonomi, dan politik di antara penduduknya. Entitas Nusantara ini kemudian melebar dan meluas melalui interaksi dengan sistem-sistem lain di kawasan sehingga membentuk jaringan maritim yang lebih global.
Integrasi melalui laut ini dimungkinkan berkat perkembangan keterampilan dan teknologi pelayaran masyarakat Nusantara. Sejak era Prasejarah, masyarakat Nusantara telah mengembangkan teknologi perahu untuk perhubungan antarpulau.
Jika dibandingkan dengan perahu atau kapal Tiongkok yang juga melayari kepulauan di masa yang sama, perahu Nusantara bahkan memiliki beberapa kekhasan tersendiri.
Seturut studi para arkeolog dan sejarawan maritim, perahu-perahu Nusantara yang kecil umumnya merupakan kano yang dibuat dari satu batang pohon. Ia memiliki cadik sebagai penyeimbang. Bentuk perahu bercadik ini masih eksis hingga sekarang.
Untuk kapal-kapal yang lebih besar, teknik dasar pembuatannya adalah dengan menyatukan papan kayu membentuk kulit kapal. Menurut arkeolog maritim Bambang Budi Utomo dalam Awal Perjalanan Sejarah Menuju Negara Kepulauan (2014, hlm. 28-31), pembuat perahu Nusantara zaman dulu tidak memakai paku untuk menyambungkan bahan papan, melainkan dengan menggunakan serat kayu atau ijuk.
Lalu untuk membuat struktur yang kuat, mereka menggunakan teknik yang disebuttambuku terikat (lashed lugged technique). Tambuku adalah fitur tonjolan (lug) berlubang yang dilekatkan di bagian dalam papan.
Dalam proses pembuatan, tambuku di setiap papan diikat satu dengan lainnya. Tambuku lalu diikatkan lagi pada gading-gading (cross frame) yang memberi bentuk pada perahu atau kapal.
Menurut penulis sejarah Philip Bowring, teknik tambuku terikat adalah penyempurnaan penting dalam rancangan perahu tradisional Nusantara sebelum penggunaan pasak kayu menjadi lazim di masa kemudian.
“Meski pasak digunakan di kapal-kapal yang lebih besar, metode tambuku terikat (lashed lugged), yang berasal dari jauh sebelum era kini, terus digunakan di seluruh kepulauan Nusantaria [sebutan untuk kawasan kebudayaan maritim Asia Tenggara],” tulis Bowring dalam bukunya Nusantaria: Sejarah Asia Tenggara Maritim (2022, hlm. 161).
Selain itu, beberapa fitur kapal Nusantara yang khas di antaranya badan (lambung) kapal yang berbentuk seperti huruf V sehingga bagian lunasnya memiliki linggi (kayu melengkung pada haluan dan buritan perahu).
Ciri lain yang bisa diidentifikasi adalah bagianhaluan dan buritan yang lazimnya simetris, kemudi berganda di bagian buritan, juga ketiadaan sekat kedap air di bagian lambung.
Salah satu keturunan dari teknik pembuatan kapal tradisional Nusantara adalah kapal layar pinisi khas Bugis Makassar. Jika pembaca ingin mengetahui rupa perahu tradisional Nusantara dari masa klasik, ada dua situs penting yang bisa ditengok.
Situs Perahu Kuno Punjulharjo
Situs Punjulharjo berada di Rembang, Jawa Tengah. Di masa kuno, Rembang memang dikenal sebagai kota pesisir yang mendukung kegiatan pelayaran dan perdagangan. Ia juga dikenal sebagai tempat pembuatan kapal. Maka tinggalan kapal kuno di Punjulharjo merupakan bukti sahih atas hal itu.
Tinggalan perahu kuno di Punjulharjo diperkirakan berasal dari abad ke-7. Simpulan ini diperoleh dari hasil penelitian intensif yang dilakukan Balai Arkeologi Yogyakarta pada 2010-2011. Para peneliti menggunakan uji radiokarbon dari sisa tali perahu untuk memperkirakan umurnya.
Perahu kuno Punjulharjo berkitar di lautan kala Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan Mataram Kuno di Jawa tengah berkembang. Menilik dimensinya yang mencapai 15 x 5 meter, para arkeolog menduga perahu ini merupakan perahu dagang.
Balai Konservasi Borobudur dalam laporan berjudul Konservasi dan Konsep Pengembangan Perahu Kuno Rembang (2010) mengungkapkan bahwa perahu kuno Punjulharjo berbahan utama kayu ulin dan dibangun dengan teknik tambuku terikat dan papan terikat (sewn plank).
Seturut pemberitaan Liputan6.com, perahu kuno ini ditemukan secara tak sengaja oleh warga pada 2008. Selain perahu itu sendiri, para peneliti juga menemukan kepala arca wanita berparas Tionghoa, patahan tongkat kayu sepanjang sekitar 40 cm, tulang manusia, dan sejumlah peralatan dapur di situs itu.
Ketika ditemukan, kondisi bahan baku kapal sudah cukup lapuk. Karenanya, proses konservasinya dilakukan secara hati-hati dan menggunakan bahan dengan kualitas tinggi. Meski begitu, bentuk perahu ini terbilang cukup utuh.
Proses konservasi perahu kuno Punjulharjo ini pun terbilang lama, terhitung sejak 2011 hingga 2018. Setelah meneliti perahu ini, Balai Arkeologi Yogyakarta sebenarnya hendak menguburnya kembali untuk mempertahankan keutuhannya.
Namun, seturut laporan Kompas (2 September 2019), hal itu tak jadi dilakukan karena masyarakat sekitar ingin situs tetap terbuka dan dijadikan tempat wisata. Kondisi perahu kuno ini pun perlahan rusak karena terpapar udara dan cuaca secara langsung.
“Perlu biaya yang sangat tinggi untuk menyimpan artefak semacam ini. Penyimpanannya juga harus pada suhu tertentu selama 24 jam nonstop. Konservasi perahu kuno Rembang sendiri membutuhkan waktu 10 tahun dan itupun gagal juga,” kata arkeolog Bambang Budi Utomo sebagaimana dikutip Kompas.
Situs Perahu Kuno Lambur
Situs Lambur terletak di Desa Lambur 1, Kecamatan Muara Sabak Timur, Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Ekskavasi dan penelitian di situs ini pernah digelar pada 1997 dan 2019.
Berdasarkan hasil penelitian terbaru oleh arkeolog Ali Akbar dan timnya memperkirakan perahu ini melayari lautan Nusantara sekira awal abad ke-16.
"Penemuan kapal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah mampu membuat kapal besar yang mampu menjelajah sangat jauh di lautan lepas, bahkan sebelum kedatangan bangsa Eropa," ujar Ali Akbar sebagaimana dikutip Natgeo Indonesia.
Situs Lambur sendiri berada di lingkungan gambut. Perahu kuno ini ditemukan di kedalaman sekira 80-110 sentimeter. Posisinya melintang dengan orientasi barat-timur. Struktur perahu kuno ini memiliki panjang 24 x 5,5 meter.
Dinding-dinding perahu kuno ini cukup tebal, antara 8-10 sentimeter. Menilik dimensi ukuran dan ketebalan papannya, perahu kuno ini diperkirakan pernah digunakan untuk pelayaran samudra.
Dari temuan pasak dan tali ijuk yang masih intak, dapat dipastikan bahwa perahu kuno di Lambur dibangun dengan teknik papan terikat dan tambuku terikat. Selain temuan perahu, di sekitar situs ini peneliti juga menemukan fragmen tembikar, keramik, wadah kaca kuno, batu pipisan.
Penulis: Ary Sulistyo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi