Menuju konten utama

5 Cerpen 17 Agustus Singkat tentang Kemerdekaan RI

Berikut ini beberapa contoh kumpulan cerita 17 Agustus untuk menyambut HUT Kemerdekaan RI dalam Bahasa Indonesia.

5 Cerpen 17 Agustus Singkat tentang Kemerdekaan RI
Sejumlah murid TK bersama gurunya mengenakan atribut merah putih menyanyikan lagu perjuangan usai Pawai Anak Merdeka di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (12/8/2023). ANTARA FOTO/Basri Marzuki/tom.

tirto.id - Menulis cerita pendek (cerpen) kemerdekaan Indonesia dapat menjadi salah satu kegiatan literasi yang bisa dilakukan untuk memeriahkan HUT Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus.

Selain menghibur dan dapat digunakan sebagai bacaan di waktu senggang, membaca cerita 17 Agustus tentang kemerdekaan juga dapat membangkitkan jiwa nasionalisme dari pembacanya.

Cerita pendek lahir karena adanya tradisi puisi atau penyampaian suatu kisah dengan menggunakan irama yang mampu memudahkan pendengarnya dalam mengingat cerita.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikatakan bahwa cerita pendek memiliki panjang kurang dari 10.000 kata dengan kisah yang hanya berfokus pada seorang tokoh pada situasi tertentu.

Di samping itu, cerpen juga menjadi salah satu jenis karya sastra yang di dalamnya mengandung amanat dan pesan moral yang dapat dipahami oleh pembaca.

Dengan membuat cerpen tentang kemerdekaan tentu di dalamnya menyimpan berbagai pesan moral terutama mengenai makna kemerdekaan maupun nilai-nilai kehidupan yang dapat menjadi pembelajaran.

Contoh Cerpen 17 Agustus di Sekolah Tema Kemerdekaan RI

Berikut disajikan beberapa contoh cerpen tentang kemerdekaan singkat yang dikutip dari situs SMPIT Nurul Ishlah:

1. Tetap Indonesia Walau Jauh dari Tanah Air

Oleh: M. Rafi Rahman

Riko adalah anak Indonesia yang sedang tinggal dan bersekolah di Jepang. Dia memiliki dua orang teman dekat yang bernama Hideyoshi dan Daici, mereka tetap berteman walau berbeda agama yang dianut. Riko beragama Islam sedangkan Hideyoshi dan Daici beragama Buddha. Riko harus bersekolah di Jepang karena kedua orang tuanya bekerja di sana, Riko duduk di kelas Achi-nensei atau kelas delapan SMP. Riko sudah bersekolah di Jepang sejak masih SD. Riko hanya bisa pulang sekali atau dua kali dalam setahun jika orang tuanya tidak sibuk. Pada tahun ini, orang tua Riko sangat sibuk, sehingga tahun ini mereka tidak pulang ke tanah air. Riko merasa sedih, sebentar lagi akan diperingati hari kemerdekaan Indonesia, biasanya setiap tahun ia sudah kembali ke Indonesia dan membuat perlombaan untuk merayakan hari kemerdekaan di kampung halamannya bersama nenek, kakek dan saudara-saudaranya.

Pada suatu hari di sekolah, Riko terlihat tidak semangat, dia duduk di atas kursi dan badannya bersender ke arah depan meja, kedua teman dekatnya melihatnya, mereka datang menghampiri Riko. “Kamu kenapa Riko, apa kamu sakit?” Tanya Daici “Aku tidak sakit,” kata Riko “Jadi, mengapa kamu terlihat begitu lemas?” Tanya Hideyoshi “Tahun ini, aku tidak bisa pulang ke Indonesia, orang tuaku sedang sibuk, biasa bulan ini aku sudah di sana, sebentar lagi adalah hari kemerdekaan Indonesia, biasanya aku ikut upacara di lapangan dekat rumahku di sana. Setelah upacara aku ikut lomba, karena tahun ini aku tidak jadi pulang, aku tidak semangat hari ini,” kata Riko dengan nada lemas. “Oh begitu,” jawab Hideyoshi dan Daici serentak, tiba-tiba bel masuk kelas sudah berbunyi semua anak-anak yang sedang bermain di luar langsung bergegas masuk. “Kita sambung lagi di waktu istirahat ya,” kata Hideyoshi. “Baik,” kata Riko.

Beberapa saat kemudian, guru mereka masuk ke dalam kelas, semua siswa langsung berdiri dan memberi hormat kepada guru, setelah itu mereka duduk kembali, pelajaran pertama dimulai, suasana kelas menjadi tenang dan hanya terdengar suara guru yang menjelaskan materi pembelajaran. Saat istirahat pun tiba, seluruh siswa langsung menuju kantin, Riko berjalan lambat, teman akrabnya sudah menunggu di kantin. Setibanya di kantin, Riko hanya duduk di meja kantin dengan lemas, dia tidak membeli satu pun makanan, teman akrabnya juga sudah menawari makanan kepadanya, tapi dia menolaknya. “Kamu masih belum semangat ya?” Kata Daici. Riko hanya diam “Tadi kalau tidak salah, ketika di Indonesia, saat peringatan hari kemerdekaan, biasanya kamu mengadakan berbagai perlombaan, bagaimana kalau kita buat perlombaannya di sini?” Usul Hideyoshi memancing Riko. “Boleh,” kata Riko yang tiba-tiba menjadi semangat. “Kamu langsung semangat ya, ayo kita buat perlombaan, kita ajak teman-teman sekelas,” kata Daici. “Ayo!” Jawab Riko dan Hideyoshi. Bel masuk kelas pun tiba-tiba berbunyi, seluruh siswa kembali ke kelas masing-masing untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya.

Ketika sore, sudah saatnya untuk pulang, Riko, Hideyoshi dan Daici berjalan kaki untuk pulang ke rumah, rumah mereka tidak begitu jauh dari sekolah. Di perjalanan pulang, mereka berbicara agar suasana menjadi seru. “Kita jadikan buat lomba?” Tanya Daici “Jadi,” kata Riko. “Lombanya nanti siapa yang buat?” Tanya Daici lagi “Tenang saja, semua itu urusanku, kalian hanya undang teman sekelas ke rumahku,” kata Riko “Baik akan kami undang, tanggal berapa acaranya?” Tanya Hideyoshi “17 Agustus,” jawab Riko “Dua hari lagi, ya…,” kata Daici. “Iya benar,” kata Riko. Ternyata mereka sudah sampai di rumah Riko, mereka pun berpamitan

Keesokan harinya Riko sangat bersemangat ke sekolah, dia langsung membawa kertas berisi formulir pendaftaran untuk lomba yang telah dia buat, sesampainya di sekolah, Riko langsung membagikan kertas tersebut kepada teman-temannya. Di hari itu Riko sangat bersemangat untuk belajar. Sepulangnya dari sekolah, Hideyoshi dan Daici datang ke rumah Riko untuk membantu membuat perlombaan. Mereka akan menjadi panitia di lomba tersebut.

Hingga hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, satu per satu teman-teman sekelasnya datang. Setelah semuanya berkumpul, mereka menonton siaran langsung upacara bendera yang ada di Indonesia melalui TV, lalu mereka berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama sama walau teman-teman Riko tidak mengerti artinya, setelah menonton upacara bendera, mereka langsung memulai perlombaan, mereka semua mengikuti perlombaan dengan ceria, banyak perlombaan yang baru diketahui oleh teman-teman Riko, di akhir perlombaan, Riko, Hideyoshi dan Daici, membaca hasil perlombaan, mereka membagi berbagai macam hadiah kepada teman-temannya, lalu mereka langsung membantu membersihkan area perlombaan bersama-sama. “Wah, ternyata seru juga ya perlombaannya,” kata Daici “Tahun depan, kita buat lagi, tapi di sekolah, undang seluruh kelas di sekolah,” kata Hideyoshi, mereka pun tertawa bersama-sama dengan gembira.

Setelah selesai membersihkan area perlombaan, tidak terasa sudah waktunya teman-temannya berpamitan untuk pulang hari tersebut merupakan hari yang menyenangkan bagi Riko.

Dari cerita tentang lomba 17 agustus di sekolah di atas kita bisa mengambil makna bahwa walaupun berada Jauh dari Indonesia, Riko masih bisa merasakan hari kemerdekaan di negara lain. Sungguh menjadi pengalaman yang tidak terlupakan bagi Riko.

2. Membela Negara Melalui Media Sosial

Oleh: Aisha Zahida Marthunis

Suatu hari ada anak perempuan bernama Aisyah yang sedang duduk termenung di teras sekolah kemudian dihampiri oleh sahabatnya yaitu Khadijah. Melihat Aisyah yang termenung cukup lama membuat Khadijah bertanya apa yang sedang dipikirkan oleh Aisyah.

Kemudian Aisyah mengatakan kepada Khadijah bahwa ia sedang memikirkan betapa beratnya perjuangan pahlawan dalam mencapai kemerdekaan Indonesia, namun pada kenyataannya banyak orang yang tidak menghargai jasa pahlawan.

Khadijah lalu menyarankan untuk menasehati teman-temannya agar lebih menghormati jasa pahlawan, akan tetapi Aisyah merasa takut jika teman-temannya tetap tidak mau mendengarkan nasehatnya.

Ketakutan Aisyah menjadi kenyataan, teman-teman yang mereka nasehati justru lebih fokus dengan media sosialnya masing-masing. Hal itu lantas membuat Aisyah memiliki sebuah ide untuk menasehati teman-temannya melalui media sosial.

Dalam ide tersebut, Aisyah berencana membuat akun instagram untuk dirinya dan Khadijah. Melalui akun instagram tersebut mereka akan memposting sesuatu dengan caption yang berkaitan dengan perjuangan pahlawan.

Meski sempat merasa ragu dengan ide tersebut, Khadijah kemudian optimis bahwa ide itu akan berhasil karena teman-temannya sering melihat instagram.

Setelah pulang sekolah, Khadijah mampir ke rumah Aisyah untuk merencanakan apa yang akan mereka buat di instagram, namun tiba-tiba umi Aisyah menghampiri mereka yang sedang terlihat asyik mengobrol dan bertanya apa yang sedang mereka bicarakan.

Aisyah dan Khadijah menceritakan kepada umi Aisyah bahwa mereka ingin membela negara melalui media sosial mengingat saat ini banyak orang yang tidak menghargai jasa pahlawan sehingga mereka berniat untuk menasehatinya melalui media sosial, salah satunya instagram.

Setelah mendengar hal itu, umi Aisyah justru menawarkan akun instagramnya untuk dipakai Aisyah dan Khadijah sehingga mereka hanya perlu mengganti nama akunnya. Di samping itu, sebagian besar teman-teman mereka juga sudah mengikuti akun instagram dari umi Aisyah.

Mereka mulai memposting video di instagram dilengkapi caption yang berkaitan dengan perjuangan pahlawan kemerdekaan Indonesia. Setelah itu banyak teman-teman yang merasa tersentuh dan sadar bahwa mereka tidak pernah menghargai jasa pahlawan.

Usaha mereka pun membuahkan hasil, hal itu terlihat saat melaksanakan upacara, teman-temannya tidak lagi asyik mengobrol sendiri.

Dari cerita pendek Kemerdekaan Indonesia kita dapat mengambil pelajaran bahwa kita harus selalu menghargai jasa-jasa pahlawan serta jangan mudah menyerah terhadap suatu masalah sampai kita menemukan solusinya.

3. Lomba 17 Agustus di Sekolah

Oleh: Azzam Zahidan

Ketika mendengar kata 17 Agustus yang terlintas dalam pikiran kebanyakan orang yaitu lomba dan hadiah istimewa untuk pemenangnya. Hal itu membuatku bersama kedua temanku sangat antusias mengikuti lomba yang diadakan di sekolah.

Ada berbagai jenis lomba yang akan dilaksanakan di antaranya lomba rebut kursi, cerdas cermat, tarik tambang, hingga pertandingan sepak bola antar kelas. Dari berbagai macam lomba tersebut mayoritas teman-teman lebih memilih lomba sepak bola.

Selain mengikuti lomba cerdas cermat, aku juga mengikuti lomba rebut kursi bersama kedua temanku yaitu Said dan Bintang.

Namun pada akhirnya satu per satu dari kami terlambat duduk di kursi dan membuat kami keluar dari putaran. Hal itu tentunya membuat kami keluar dari permainan karena kalah.

Kemudian aku dan Said melihat teman-teman lain yang sedang bertanding sepak bola antar kelas di lapangan.

Pertandingan sudah berlangsung cukup lama hingga skor pertandingannya sudah menjadi 2-2. Kelas kami yang juga mengikuti pertandingan sepak bola itu pada akhirnya kalah dengan skor 2-3.

Meski kelas kami mengalami kekalahan, kami merasa bahagia karena dapat berpartisipasi dalam kegiatan lomba 17 Agustus di sekolah.

Dari kegiatan tersebut selain dapat belajar mengenai kerja sama, kami juga belajar mengenai keberanian dan perjuangan.

4. Keseruan 17 Agustus

Oleh: Nabila Fahira

Assalamu’alaikum teman-teman semua, perkenalkan namaku Maisa. Bagaimana kabar teman-teman di hari yang cerah ini. Semoga teman-teman semua senantiasa dilimpahi kesehatan dan kebahagiaan oleh Allah SWT ya.

Aku ingin bercerita sedikit mengenai obrolanku bersama kakak laki-laki kandungku kemarin di kamarnya. Dalam obrolan tersebut aku dan kak Ray membahas mengenai lomba 17 Agustus. Berikut percakapan antara aku dan kak Ray.

Aku (Maisa) : “Kak, sebentar lagi sudah mendekati 17 Agustus loh, apa tidak ada kegiatan lomba untuk memeriahkan perayaan hari kemerdekaan nanti?”

Kak Ray : “Ada kok kegiatan lombanya. Apa kamu mau ikut mendaftar lomba untuk memeriahkan 17 Agustus?”

Aku (Maisa) : “Iya pasti dong kak”

Kak Ray : “Kamu ingin mendaftar untuk jenis lomba yang mana?”

Aku (Maisa) : “Aku akan mendaftar untuk mengikuti semua jenis lombanya kak”

Kak Ray : “Oke deh, jangan lupa besok kamu harus datang ke lapangan ya”

Mendengar pesan kak Ray aku mengangguk lega dan senang karena aku akan mengikuti acara lomba 17 Agustus.

Keesokan harinya aku dengan semangat datang ke lapangan kemudian kakak-kakak panitia menjelaskan bahwa kita akan melaksanakan lomba lompat karung, memecahkan balon, tarik tambang, balap kelereng, dan masih banyak lagi.

Aku mengikuti semua jenis lomba itu, rasanya sangat seru dan menyenangkan sekali dapat ikut berpartisipasi dalam memeriahkan peringatan Hari Kemerdekaan melalui lomba 17 Agustus.

Meski aku sempat terjatuh dan kurang fokus saat mengikuti lomba lompat karung, namun pada akhirnya aku dapat memenangkan lomba yang lain yaitu tarik tambang dan pecahkan balon.

Aku sangat yakin tidak ada usaha yang sia-sia apabila kita bersungguh-sungguh dalam berusaha.

Sampai sini dulu ceritaku hari ini ya teman-teman, Assalamu’alaikum. Selamat Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI 17 Agustus.

5. Sang Merah Putih di Atas Puncak

Oleh: Aldrian Hidayat

Di sebuah desa kecil di kaki Gunung Merapi, tinggallah seorang anak bernama Panji, ia tinggal dengan orangtua dan kakeknya. Setiap 17 Agustus, Panji selalu mengenang cerita kakeknya tentang perjuangan merebut kemerdekaan RI dari tangan penjajah. Tahun ini, ia memutuskan untuk memberikan hadiah istimewa bagi desanya: mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Gunung Merapi.

Raka mempersiapkan diri dengan matang. Ia berlatih mendaki setiap pagi, menelusuri jalur-jalur terjal, dan belajar dari pendaki berpengalaman. Kakeknya, Pak Mansyur, memberinya semangat dengan cerita-cerita heroik para pejuang kemerdekaan yang berani menghadapi segala rintangan demi tanah air.

Pada malam sebelum 17 Agustus, Panji berkumpul dengan keluarga dan teman-temannya. Mereka berdoa bersama, memohon perlindungan dan keselamatan. Dengan membawa bendera kebanggaan, Panji memulai pendakiannya saat matahari mulai mulai terbit. Langkahnya mantap, meskipun hati kecilnya tidak bisa menyembunyikan kecemasan.

Jalur yang ditempuh Panji tidak mudah. Bebatuan terjal dan udara tipis membuat setiap langkah terasa berat. Namun, tekadnya untuk mengibarkan Sang Merah Putih di puncak gunung membuatnya terus maju. Ia teringat kata-kata kakeknya, "Kemerdekaan tidak diraih dengan mudah, cucuku. Butuh pengorbanan dan keberanian yang luar biasa."

Seiring matahari mulai terbenam, Panji akhirnya tiba di puncak Gunung Merapi. Ia berdiri dengan bangga, memandang keindahan alam yang terbentang luas di bawahnya. Dengan hati yang berdebar, Panji menancapkan tiang bendera dan mengibarkan Merah Putih. Bendera itu berkibar megah di tengah angin puncak gunung, seakan-akan menyapa seluruh negeri.

Tangis haru Panji pecah. Ia merasakan kehadiran para pahlawan yang telah gugur di medan perang, semangat mereka yang tak pernah padam. Di tengah kesunyian puncak gunung, Raka berbicara pada dirinya sendiri, "Ini untuk kalian, para pahlawan. Terima kasih telah memberikan kami kemerdekaan."

Setelah beberapa saat, Panji mulai turun kembali. Kelelahan dan rasa puas bercampur aduk dalam dirinya. Sesampainya di desa, ia disambut dengan sorak sorai penduduk. Mereka telah menunggunya dengan penuh harapan dan bangga. Sang kakek memeluk Panji erat-erat, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya.

"Kau telah membuat kami semua bangga, Panji," ujar Pak Mansyur dengan suara bergetar. "Kau mengingatkan kami bahwa semangat kemerdekaan harus selalu hidup di setiap generasi."

Di malam itu, desa kecil di kaki Gunung Merapi merayakan kemerdekaan dengan semangat yang baru. Lagu-lagu perjuangan berkumandang, tawa dan canda menghiasi malam. Di tengah keramaian, Panji duduk tenang, menatap bendera Merah Putih yang berkibar gagah di puncak gunung.

Panji tahu, perjuangan tidak berhenti di situ. Tugas generasi muda adalah menjaga dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal positif, menghargai setiap tetes keringat dan darah yang telah dicurahkan para pahlawan.

Dari cerita ini, bisa diambil kesimpulan bahwa dengan semangat yang sama, Panji bertekad untuk terus berjuang demi kemajuan dan kejayaan negeri ini. Sang Merah Putih di puncak Gunung Merapi menjadi saksi bisu dari tekadnya, semangatnya, dan cintanya pada Indonesia.

Baca juga artikel terkait HUT RI 2024 atau tulisan lainnya dari Ririn Margiyanti

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ririn Margiyanti
Penulis: Ririn Margiyanti
Editor: Dhita Koesno
Penyelaras: Dhita Koesno