tirto.id - Dalam rangka merayakan HUT Kemerdekaan RI yang ke-78 pada 17 Agustus 2023, terdapat berbagai kegiatan yang akan dilakukan oleh masyarakat baik di lingkungan rumah, kantor, maupun sekolah salah satunya dengan membaca puisi bertema kemerdekaan.
Membaca puisi bertema HUT Kemerdekaan RI ini selain dilakukan sebagai salah satu bentuk kegiatan lomba 17 Agustus dalam rangka memperingati HUT RI ke-78 juga bertujuan untuk membangkitkan semangat kemerdekaan dan jiwa nasionalisme khususnya bagi masyarakat Indonesia.
Peringatan HUT RI saat ini telah memasuki usia kemerdekaan yang ke-78 tahun. Berdasarkan pengumuman yang telah dirilis oleh Kementerian Sekretariat Negara, pada perayaan HUT Kemerdekaan RI yang ke-78 tema yang akan digunakan yaitu “Terus Melaju untuk Indonesia Maju”
Tema tersebut juga tertera pada logo HUT RI ke-78 yang dipilih secara langsung oleh Presiden Jokowi. Adapun makna dari tema “Terus Melaju untuk Indonesia Maju” yakni Indonesia diharapkan dapat terus melaju dengan semangat “estafet” untuk mewujudkan pembangunan nasional.
Contoh Puisi Kemerdekaan untuk 17 Agustus 2023
Berikut disajikan beberapa contoh puisi dengan tema kemerdekaan untuk memeriahkan perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-78 pada 17 Agustus 2023.
"Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini"
Karya Taufiq Ismail
Tidak ada pilihan lain
Kita harus berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku?”’
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu,
Yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet
dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh jutayang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain.
Kita harus
Berjalan terus.
"GUGUR"
Karya W.S. Rendra
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya.
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya.
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya.
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya.
Belum lagi selusin tindak
maut pun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
“Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah".
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah jiwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa.
Orang tua itu kembali berkata:
“Lihatlah, hari telah fajar!"Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya!
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata:
“Alangkah gembur tanah di sini!"
Hari pun lengkap malam
ketika ia menutup matanya
“Kuukir Nama mu, Pahlawan"
Karya M. Taufiq Affandi
Seperti awan merajut hujan
kusulam namamu di langitku
langit yang Allah bentangkan melalui perihmu
oksigen segar kemerdekaan
yang mengalir dari sesak dadamu
kuhirup seperti aliran sungai surgawi
Seperti akar merambat tanah
kuukir namamu, Pahlawan
dalam-dalam bukan untuk ku kenang
bukan untuk menghiasi bilikku
namun, petuah perjuangan bagiku
Apa yang menggerakkan beranimu?
Apa yang mendobrak takutmu?
Di mana gentar itu?
Tentu saja… tentu saja… ia sirna
pada detik cintamu pada Indonesia terusik
pada detik itu… kekuatan yang tak tampak menguatkanmu
Aku akan berdiam sejenak
di tendamu malam ini beberapa saat saja
hingga kulitku merasakan dinginmu
dan perutku merasakan laparmu
mataku merasakan perihmu
lalu aku akan mengambil
sisa-sisa aura kosmosmu yang menjejak
kuserap dalam pori-poriku
kuhirup sekuat-kuatnya
hingga mengalir ke dalam nadiku
hingga kuharap kau tahu, kini aku yang jaga merdeka itu
Kuukir namamu, Pahlawan
pada gunung, pada laut
pada udara, pada puisi burung
di tiap huruf namamu, Pahlawan
ada suku kata merdeka
ada doa… untukmu
"Karawang Bekasi"
Karya Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
"KEMBALI TAK ADA SAHUTAN DI SANA"
Karya Abdul Hadi WM
Kembali tak ada sahutan di sana
Ruang itu bisu sejak lama
dan kami gedor terus pintu-pintunya
Hingga runtuh dan berderak
menimpa tahun-tahun penuh kebohongan
dan teror yang tak henti-hentinya
Hingga kami tak bisa tinggal lagi di sana
memerah keputusasaan dan cuaca
Demikian kami tinggalkan janji-janji
gemerlap itu dan mulai bercerai-berai
Lari dari kehancuran yang satu ke kehancuran lainnya
Bertikai memperebutkan yang tak pernah pasti dan ada
Dari generasi ke generasi
Menenggelamkan rumah sendiri
ribut tak henti-henti
Hingga kau tanyakan lagi padaku
Penduduk negeri damai macam apa
kami ini raja-raja datang dan pergi
seperti sambaran kilat dan api
Dan kami bangun kota kami dari beribu mati.
Tinggi gedung-gedungnya di atas jurang
dan tumpukan belulang
Dan yang takut mendirikan menara sendiri
membusuk bersama sepi
Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu
dan matahari 'kan lama terbit lagi
Penulis: Ririn Margiyanti
Editor: Yulaika Ramadhani