Menuju konten utama
Mozaik

Timnas Kerap Hampir Lolos, Akankah Kali Ini Benar-Benar Lolos?

Piala Dunia 2026 telah di depan mata. Apakah Indonesia mampu menuntaskannya atau mengulangi kegagalan dan terbenam sebagai negara yang selalu nyaris lolos.

Timnas Kerap Hampir Lolos, Akankah Kali Ini Benar-Benar Lolos?
Header Mozaik Timnas Indonesia Dari Masa ke Masa. tirto.id/Tino

tirto.id - Timnas Indonesia siap menorehkan sejarah baru pada 9 dan 12 Oktober 2025 di King Abdullah Sports City Stadium, Jeddah, Arab Saudi. Grup B putaran keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 menyajikan tantangan tanpa kompromi. Indonesia harus menaklukkan Arab Saudi dan Irak.

Meski pernah tampil di Piala Dunia edisi ketiga pada tahun 1938 dengan bendera Hindia Belanda, status “hampir lolos” terus melekat pada Indonesia di kancah sepak bola global di tahun-tahun berikutnya.

Akankah kali ini Timnas mampu menuntaskannya dengan baik?

Hantu-Hantu Kualifikasi Masa Lalu

Kiprah manis Timnas Indonesia sejak PSSI berdiri pada 1930 diawali dengan lolos ke semifinal Asian Games secara berurutan pada 1954 dan 1958. Pencapaian terbaik terjadi saat lolos ke Olimpiade Melbourne 1956 di bawah asuhan Antony Pogacnik.

Meski lolos dengan status pengganti karena Taiwan mundur, Indonesia berhasil menahan imbang Uni Soviet 0-0 dalam 90 menit plus perpanjangan waktu. Pertandingan ulangan memang dimenangkan Soviet 4-0, namun seperti dilansir Tabloid Bola edisi 27 Juli 1984, penampilan Indonesia mendapat pujian dari Presiden FIFA Sir Stanley Rous yang menyebut pertahanan Indonesia cukup sempurna.

Keberhasilan menahan Soviet, tim yang diperkuat kiper legendaris Lev Yashin, Igor Netto, Eduard Streltsov, dan pemain bintang lainnya, bahkan lebih berkesan dibanding penampilan Hindia Belanda di Piala Dunia 1938 yang kalah telak 0-6 dari Hungaria.

Setahun kemudian, tepatnya 12 Mei 1957, harapan Indonesia untuk tampil di Piala Dunia 1958 sempat membubung. Timnas berhasil menyingkirkan Tiongkok 2-0 di Stadion Ikada, Jakarta.

“Kedua gol itu ditjetak oleh kaki Ramang dalam menit2 pertama sesudah turun minum dan menit jang ke-35,” tulis Pikiran Rakyat edisi 13 Mei 1957.

Tapi di leg kedua yang berlangsung pada 2 Juni 1957 di Beijing, Indonesia kalah 3-4. Untungnya, ada pertandingan ketiga di Yangon, Myanmar, yang berakhir imbang 0-0. Indonesia lolos ke babak selanjutnya karena menang selisih gol.

Pada babak berikutnya Indonesia satu grup dengan Israel. Lapangan hijau segera bersinggungan dengan politik luar negeri. Di bawah Sukarno, Indonesia menempatkan diri sebagai simbol anti-kolonialisme. Israel yang menjajah Palestina, bertentangan dengan semangat republik muda ini.

Maka, Sukarno melarang Timnas bertanding melawan Israel. FIFA pun memberi kemenangan otomatis kepada Israel. Mimpi Indonesia kandas, bukan karena kekalahan, tapi karena prinsip.

Asian Games 1962 di Jakarta menjadi kegagalan berikutnya. Indonesia yang berharap meraih emas di rumah sendiri setelah merebut medali perunggu di Asian Games Tokyo 1958, justru tersandung skandal suap yang melibatkan sepuluh pemain timnas.

Antony Pogacnik, pelatih Yugoslavia yang sebelumnya membawa Indonesia meraih prestasi gemilang, harus kehilangan pemain-pemain kunci menjelang turnamen. Indonesia akhirnya kandas di babak grup, kalah dalam undian setelah meraih poin sama dengan Malaysia dan Vietnam Selatan.

Empat belas tahun berselang, Indonesia kembali di ambang prestasi. Di bawah pelatih asal Belanda, Wiel Coerver, Timnas tampil disiplin dan taktis. Dilaporkan surat kabar Kompas edisi 10 Januari 1976, nama-nama seperti Iswadi Idris, Nobon Kayamudin, Junaedi Abdillah, Andi Lala, dan Risdianto masuk ke dalam 23 pemain pilihan Coerver untuk kualifikasi Olimpiade 1976.

Timnas Indonesia lawan Lebanon berakhir imbang

Pesepak bola Timnas Indonesia Marselino Ferdinan (atas) berteriak usai dilanggar pesepak bola Timnas Lebanon Hussein Zein dalam FIFA Matchday di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Jawa Timur, Senin (8/9/2025). Pertandingan berakhir imbang 0-0. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/bar

Kualifikasi zona Asia grup II yang digelar di Jakarta itu memainkan format setengah turnamen, di mana hanya juara grup yang berhak lolos. Pada laga hidup-mati, Timnas melawan rival serumpun, Malaysia, yang disaksikan oleh sekitar 120.000 penonton yang memadati Stadion Utama Senayan.

Kemenangan dramatis 2-1 atas Malaysia membawa Indonesia ke partai final, berhadapan dengan Korea Utara. Satu kemenangan lagi, dan tiket ke Montreal ada dalam genggaman. Laga puncak pada 26 Februari 1976 melawan Korea Utara berlangsung sengit. Setelah 120 menit tanpa gol, adu penalti jadi penentu.

Skor imbang 4-4 dan Indonesia memiliki penendang terakhir. Dialah Suaib Rizal, yang pernah berkarier untuk PSM dan Persija. Tendangannya gagal. Senayan yang semula riuh berubah sunyi. Kekalahan ini menanam luka psikologis yang panjang. Narasi “gagal mental” mulai tumbuh, membayangi generasi berikutnya.

Melibatkan tim yang nyaris sama, Timnas pun gagal pada kualifikasi Piala Dunia 1978 setelah meraih hasil buruk. Indonesia kalah dari Hongkong, Thailand, dan Singapura, dan imbang dengan Malaysia.

Memasuki 1980-an, Indonesia punya generasi emas. Di bawah asuhan Sinyo Aliandoe, skuad terdiri dari para pemain terbaik Galatama dan Perserikatan, seperti Bambang Nurdiansyah, Herry Kiswanto, Rully Nere, dan Zulkarnaen Lubis.

Sinyo dikenal sebagai pelatih bertangan dingin, seorang ahli taktik yang disiplin membuat mereka tampil dominan di kualifikasi awal Piala Dunia 1986. Ia cerdas dalam mengubah strategi di tengah laga, membuat tim tampil rapi dan efisien, meskipun kerap mengeluh faktor non teknis.

“Walaupun saya memang diberi kebebasan penuh dalam memilih dan menentukan pemain, masih ada juga tekanan dari dalam. Kalau begini, persepakbolaan di Indonesia akan tetap begitu-begitu saja,” ucap Sinyo kepada Tempo edisi 23 Maret 1985.

Tergabung bersama Thailand, India, dan Bangladesh, Indonesia keluar sebagai juara grup dengan catatan impresif: empat kemenangan, satu hasil imbang, dan sekali kalah. Harapan untuk tampil di Meksiko, bahkan satu grup dengan Argentina yang diperkuat Maradona terasa nyata.

Namun di babak berikutnya Korea Selatan menjadi tembok yang tak tertembus. Kalah 0-2 di Seoul, lalu dibantai 1-4 di Senayan. Agregat 1-6 menutup mimpi itu. Sinyo bahkan mengaku keluarganya diteror usai kekalahan beruntun tersebut.

Kegagalan terbaru dalam daftar panjang “hampir lolos” Indonesia terjadi pada Mei 2024. Setelah tampil gemilang di Piala Asia U-23 2024 Qatar dengan menyingkirkan Korea Selatan lewat adu penalti 11-10, Indonesia melangkah ke semifinal dengan harapan besar. Tiga tiket Olimpiade tersedia untuk tiga tim terbaik Asia, dan Indonesia berada dalam posisi sangat berpeluang.

Tetapi Uzbekistan menjadi pembunuh mimpi pertama. Dalam semifinal yang berlangsung di Stadion Abdullah bin Khalifa, Doha, Indonesia takluk 0-2. Gol M. Khamrallev pada menit ke-68 dan gol bunuh diri Pratama Arhan pada menit ke-86 menghancurkan harapan lolos langsung ke Paris. Meski demikian, kesempatan masih terbuka melalui perebutan peringkat ketiga.

Irak kemudian mengadang di laga bronze medal. Indonesia kembali gagal, kalah 1-2 setelah bermain hingga perpanjangan waktu. Kekalahan ini memaksa Indonesia menempuh jalur tersulit, playoff interkontinental melawan Guinea, wakil Afrika.

Di Stadion Pierre Pibarot, Clairefontaine, Paris, pada 9 Mei 2024, Indonesia menghadapi ujian terakhir. Penalti kontroversial pada menit ke-28 yang dieksekusi Ilaix Moriba menjadi gol penentu kemenangan Guinea 1-0.

Keputusan wasit Francois Letexier yang memberikan penalti dari pelanggaran yang sebenarnya terjadi di luar kotak penalti menambah kepahitan kekalahan. Bahkan Shin Tae-yong diusir dari lapangan karena protes keras. Kegagalan ini mengubur mimpi untuk mengakhiri puasa Olimpiade sejak Melbourne 1956.

FIFA Matchday Timnas Indonesia lawan Taiwan

Pesepak bola Timnas Sandy Henny Walsh (kanan) berselebrasi bersama rekannya Egy Maulana Vikri (kiri), Jordi Amat (kedua kiri) dan Marc Anthony Klok (kedua kanan) usai mencetak gol ke gawang Timnas Taiwan dalam FIFA Matchday di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (5/9/2025). ANTARA FOTO/Rizal Hanafi/Lmo/nz

Anatomi Kegagalan Berulang

PSSI dalam beberapa tahun terakhir mengambil langkah besar: naturalisasi pemain diaspora. Tujuannya jelas untuk meningkatkan kualitas tim secara instan agar bisa bersaing di level internasional.

Penunjukan pelatih asing seperti masa lalu juga membawa pendekatan yang lebih kompleks. Shin Tae-yong membangun pertahanan kokoh, mengandalkan pressing dan transisi cepat. Penggantinya, Patrick Kluivert, mencoba membawa tim ke level berikutnya dengan filosofi penguasaan bola ala Belanda.

Namun, di balik evolusi taktik, ada satu masalah yang tak kunjung hilang, yakni kerapuhan mental. Studi analisis pada Agustus 2024 mencatat hal ini. Meski sistem permainan makin canggih, penyakit lama tetap muncul.

Menurut laporan tersebut, pemain sering panik di bawah tekanan, kehilangan fokus di menit akhir, dan membuat kesalahan fatal. Bahkan sebelum laga dimulai, rasa inferior kadang sudah muncul. Ini menciptakan jurang antara strategi dan eksekusi.

Filosofi penguasaan bola, misalnya, butuh ketenangan dan stamina tinggi. Tanpa itu, sistem justru bisa jadi bumerang. Gagalnya Timnas bukan karena miskin ide, tapi karena fondasi mental dan fisik yang rapuh.

Penelitian akademik lainnya juga mengidentifikasi kelemahan struktural yang terus berulang. Analisis sistem pertahanan dalam kekalahan melawan Irak di putaran kedua kualifikasi, misalnya, menunjukkan masalah kronis: miskomunikasi, kesalahan individu, koordinasi buruk, dan transisi negatif yang lambat.

Kelemahan lini tengah juga menjadi pola yang konsisten sejak era klasik hingga modern. Ketika melawan Jepang pada 2024, Indonesia kembali kesulitan mengganggu distribusi bola lawan di sektor tengah, dengan penguasaan bola hanya 33,7 persen.

Masalah pemanfaatan peluang juga menjadi momok berulang. Indonesia sering menciptakan peluang namun gagal mengonversi menjadi gol. Masalah klasik yang seharusnya bisa selesai jika konsisten memperbaiki akar permasalah sepak bola lokal. Di titik ini, lawan terbesar Timnas mungkin bukan tim lain, tapi sistemnya sendiri.

Struktur dan kultur manajemen sepak bola nasional juga menyimpan banyak masalah. Penelitian dan laporan investigatif menunjukkan tata kelola PSSI yang lemah, seperti yang terjadi di Wonosobo.

“[...] ada beberapa pengurus yang tidak produktif, minimnya SDM yang kompeten di bidangnya, kurangnya tenaga keolahragaan seperti pelatih dan wasit yang kompeten, dan minimnya anggaran yang diberikan kepada cabang olahraga sepakbola,” tulis laporan tersebut.

Fungsi dasar seperti perencanaan dan pengawasan sering tak berjalan. Pembinaan usia dini minim kompetisi berkualitas, kekurangan dana, dan fasilitas. Pelatih akar rumput pun banyak yang belum menerapkan metode modern, membuat potensi pemain muda tak berkembang maksimal. Begitu juga kualitas pengadil di lapangan.

Tragedi Kanjuruhan pada Oktober 2022 menjadi simbol paling kelam dari kegagalan sistemik tersebut. 135 nyawa melayang, membuka mata dunia tentang buruknya manajemen keamanan dan infrastruktur sepak bola Indonesia. FIFA nyaris menjatuhkan sanksi berat.

Maka, kutukan “hampir lolos” bukanlah kebetulan. Ia adalah hasil tata kelola buruk yang melahirkan pembinaan yang cacat. Pembinaan yang cacat menghasilkan pemain yang rapuh. Saat mereka tampil di panggung internasional, tekanan menghancurkan mereka. Kegagalan ini lalu direspons dengan solusi instan, bukan perbaikan mendasar. Dan siklus itu terus berulang.

Jika Timnas Indonesia gagal melangkah ke Piala Dunia 2026, itu adalah konsekuensi dari penyakit yang sudah lama menggerogoti tubuh sepak bola Indonesia. Penyakit yang terus menumpuk dari generasi ke generasi.

Namun di atas semua tumpukan masalah itu, semoga saja kali ini sejarah berpihak pada kita dan PSSI betul-betul berbenah.

Baca juga artikel terkait TIMNAS INDONESIA atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi