tirto.id - Pada 11 November 1956, sebanyak 3.822 penonton datang ke Stadion Olimpiade Melbourne untuk melihat bintang-bintang Uni Soviet memborbardir gawang Indonesia. Mereka sudah memperkirakan bahwa pertandingan perempat-final Olimpiade 1956 itu tak akan berjalan seimbang, seperti David melawan Goliath. Namun, Ramang kemudian mengubah keadaan.
Tony Pogacnik, pelatih Indonesia, sudah menyiapkan pertahanan bergerendel untuk mengusik pesta Uni Soviet. Ia berencana memainkan pakem 3-4-3 dengan komposisi pemain yang tak lazim.
Sian Liong dan Him Tjian, yang sejatinya merupakan pemain bertahan, akan bermain di lini tengah bersama Ramlan dan Liong Houw. Kiat Sek Kwee ditarik mundur ke belakang untuk berdiri sejajar dengan Chaerudin dan Rasjid. Di lini depan, Pogacnik mengandalkan Ashari Danoe, Endang Witarsa, serta Ramang.
“Dengan demikian, maka akan ada empat orang pemain yang bertahan di lini tengah, yakni Liong-Him Tjiang-Houw-Ramlan, [...] Jika melihat permainan Saelan yang amat kuat dengan save-nya, pertahanan ini akan sangat kokoh,” kata Pogacnik mengenai pendekatan taktiknya itu.
Kejutan Pogacnik yang dipersembahkan untuk Igor Netto, Eduward Sterltsov, Analoty Isayev, dan lain-lain tak berhenti hanya sampai di situ. Melalui Ramang, pelatih asal Yugoslavia itu juga mengincar serangan balik cepat untuk membuat prahara di lini belakang Uni Soviet.
Maka, saat serangan Uni Soviet sering mentok di barisan pertahanan Indonesia atau di tangan Maulwi Saelan, FIFA lantas menulis, “Pemain bertahan Uni Soviet yang gagah tiba-tiba kaget ketika Ramang, penyerang Indonesia bertubuh pendek, berhasil melewati dua pemain dan memaksa Lev Yashin melakukan penyelamatan dengan ujung jarinya.”
Setelah melakukan gebrakan awal, Ramang, yang kelak menjadi bintang dalam laga itu, bahkan tak berhenti meneror gawang Uni Soviet. Ia sering kali turun ke area tengah untuk menjemput bola. Dari posisi itu, ia lantas melejit ke depan dengan penuh percaya diri: melewati dua-tiga pemain Uni Soviet, membuat bek-bek Uni Soviet menekel angin, dan memaksa Lev Yashin pontang-panting dalam menyelamatkan gawangnya.
Pergerakan Ramang membuat pemain-pemain Uni Soviet sadar bahwa Ramang tak boleh dibiarkan. Maka, pemain-pemain Uni Soviet pun mulai melakukan pelbagai upaya untuk menghentikan Ramang. Namun, alih-alih berhasil dihentikan, Ramang justru hampir selalu berhasil mengelak dan semakin memberikan ancaman terhadap pertahanan Uni Soviet.
Pada menit ke-84, jika bukan karena penyelamatan gemilang yang dilakukan Lev Yashin, Ramang barangkali sudah membobol gawang Uni Soviet. Dan pada kesempatan lain, jika pemain Uni Soviet tak berbuat curang, sebagaimana pengakuan Ramang, pertandingan legendaris itu jelas tak akan berakhir dengan skor 0-0.
“Ketika itu saya hampir mencetak gol, tapi baju saya ditarik oleh lawan,” kenang Ramang.
Bocah Miskin dari Sulawesi Selatan
Jauh hari sebelum bajunya ditarik pemain Uni Soviet, Ramang kecil memang sudah bercita-cita menjadi pesepakbola. Satu waktu, setelah melihat pesawat terbang melintasi udara, Ramang bahkan pernah mengumbar cita-citanya itu di hadapan teman-teman main bolanya secara terang benderang.
“Dengan kaki saya,” kata Ramang, dilansir dari buku Ramang Macan Bola (2010), “saya akan bisa naik pesawat terbang.”
Teman-teman Ramang langsung melengos. Bagaimanapun, pesawat terbang hanya untuk orang-orang kaya, pikir mereka. Selain itu, Ramang yang masih menendang-nendang bola dari kulit jeruk dan bersepatu bola dari kulit buah pinang masih tampak jauh dari pesepakbola sungguhan. Namun kelak, impian Ramang bukan sekadar tong kosong nyaring bunyinya.
Lahir pada 24 April 1924, Ramang adalah anak miskin dari Sulawesi Selatan. Orangtuanya abdi Kerajaan Barru berpenghasilan biasa saja. Karenanya, untuk membantu kehidupan keluarga, Ramang, yang tamatan sekolah dasar itu, hanya mempunyai dua kegiatan sepulang sekolah: kalau tidak bermain bola, ia akan mengayuh sepeda sejauh 50 km untuk berjualan ikan di Pasar Segiri.
Pada 1945, setelah berkeluarga, Ramang memutuskan pindah ke Makassar. Andi Mattalatta, tokoh sepakbola Sulawesi Selatan, adalah orang yang menjadi penyebabnya. Kala itu, melihat bakat Ramang, Andi menyarankan agar Ramang meniti karier sepakbola.
Ramang bersama istrinya pindah ke Makassar sambil membawa becak untuk berjaga-jaga. Namun, alih-alih bisa bermain bola secara leluasa, Ramang justru dihantam problem kehidupan. Penghasilannya dalam menarik becak sering kali tak mencukupi. Alhasil, Ramang tak jarang menjadi kenek truk dadakan. Rutenya, tulis Tempo, “menjelajahi Sulawesi Selatan.”
Meski demikian, mimpi Ramang menjadi pesepakbola pro tak kendor sedikit pun. Di sela-sela kegiatannya mengayuh becak atau menjadi kenek truk, Ramang aktif bermain bersama Persatuan Sepakbola Induk Sulawesi (Persis). Dan bersama Persis inilah masa depan Ramang mulai terang benderang.
Suatu kali, dalam turnamen yang diadakan PSM Makassar (dulu masih bernama Makassar Voetbal Bond), Ramang berhasil membawa Persis menang 9-0 di mana ia mencetak sebagian besar gol Persis. PSM Makassar kepincut. Dan pada 1945 Ramang akhirnya bergabung bersama PSM Makassar.
Sejak saat itu kisah-kisah kehebatan Ramang diceritakan menyerupai mitos.
Kecerdasan Ramang
Majalah Tempo, dalam artikel “Ramang Sudah Pergi”, pernah menyebutnya sebagai penyerang tengah berbekal naluri gol mahadahsyat. Penyebabnya: pada eranya, Ramang merupakan satu-satunya pemain Indonesia yang mampu mencetak gol melalui tendangan salto, tendangan sudut langsung, maupun tendangan first-time.
Klaim Tempo itu tidak sembarangan, sebab dilengkapi pujian dari Maulwi Saelan, penjaga gawang andalan timnas Indonesia pada 1950-an. “Ramang bisa menembak ke arah gawang dari posisi apa pun,” kata Saelan.
Penampilan Ramang saat Indonesia melakukan Tur Asia pada 1954 bisa menjadi bukti ketajaman Ramang. Kala itu, tampil menghadapi Filipina, Hongkong, Muangthai, dan Malaysia, Indonesia hampir selalu menang besar. Dan dari 25 gol Indonesia, 19 gol di antaranya berasal dari Ramang.
Menurut Iswadi, mantan pelatih PSSI Pratama, Ramang memang mempunyai kemampuan langka sebagai penyerang. Selain memiliki tendangan keras dan kecepatan, tingkat kecerdasan Ramang di atas rata-rata. Bahkan setelah timnas Indonesia kalah dalam pertandingan Pra-Piala Dunia pada 1981, Iswadi tak ragu menggunakan nama Ramang untuk mengkritik kecerdasan pemain-pemain Indonesia.
“Ramang itu dulu pendidikannya rendah, tapi IQ-nya sebagai pemain bola tinggi, bahkan lebih tinggi daripada pemain-pemain sekarang,” ujar Iswadi.
Soal ini, Choo Seng Quee, mantan pelatih timnas Indonesia pada 1950-an, mengangguk setuju. Menurut pelatih asal Singapura itu, timnas Indonesia pada 1950-an tak akan mampu berprestasi gemilang tanpa kecerdasan Ramang.
Quee berkata, “Pemain seperti Ramang... tak bisa dicari. Ia adalah pemain yang mampu memakai otak.”
Kecerdasan inilah yang mendukung ketajaman Ramang. Sementara kecepatan bisa membuat Ramang menghilang secepat ninja dan tendangan keras Ramang bisa membuat kiper lawan kelimpungan, Kecerdasan Ramang bisa dengan mudah membuatnya mempecundangi bek-bek lawan.
Setidaknya soal tiga kombinasi ampuh ini, Tempo menulis:
“Kebanyakan gol yang dicetak Ramang sukar diduga. Ketika PSM Makassar melawan Persija di Stadion Ikada pada 1954, misalnya... Ramang ketika itu dijepit dua lawan dan praktis tak bisa bergerak. Tapi, dengan gerakan kilat, ia maju menyongsong bola, memiringkan badan dan langsung half volley kaki kanan sembari menjatuhkan badan.”
Di sisi lain, kecerdasan ternyata juga menjadi salah satu faktor penting mengapa Ramang nyaris tahan banting di sepanjang kariernya. Sebagai penyerang yang seringkali dikawal ketat dari pemain bertahan lawan, Ramang mengaku tak pernah mengalami cedera. Malahan, katanya, “yang cedera karena saya ‘makan’ tanpa terlihat wasit sudah banyak!”
Ramang memang mempunyai teknik yang sangat halus dalam perkara “makan-memakan”.
Hantu Suap
Mitos tentang kehebatan Ramang ternyata tak melulu berhubungan dengan tinta emas. Pada 1961, tepatnya dalam Kejurnas PSSI 1961 (Perserikatan), Ramang pernah mendapatkan sanksi larangan bertanding seumur hidup. Ia ditengarai terlibat dalam pengaturan skor.
Semua bermula saat PSM Makassar, klub Ramang, bertanding melawan tuan rumah Persebaya Surabaya. Di atas kertas PSM Makassar sebetulnya bisa menang mudah, mengingat Persebaya Surabaya masih merupakan klub bau kencur. Namun, setelah PSM sempat unggul 1-3 pada babak pertama, Persebaya berhasil menyamakan kedudukan menjadi 3-3.
Banyak pihak curiga pertandingan itu tidak berjalan normal, terlebih saat melihat para penyerang PSM yang terlalu sering membuang-buang peluang.
PSM membentuk tim investigasi internal untuk menyelidiki pertandingan itu. Setelah selama beberapa minggu, tim investigasi menemukan bukti pengaturan skor dalam pertandingan itu. Yang mengagetkan, Ramang dan Noorsalam menjadi dalang di balik pengaturan skor itu.
Meski begitu, hingga ia meninggal pada 26 September 1987, tepat hari ini 32 tahun lalu, Ramang tak pernah mengakui ia terlibat pengaturan skor. Ia mengaku hanya menerima “hadiah” dari orang yang menang judi. Bahkan, Ramang berani melawan karena menilai tuduhan itu tak tepat sasaran.
“Saya minta keadilan, tapi tidak dapat,” kata Ramang, seperti diwartakan Tempo. “Saya telah menunjukkan orang yang memberikan hadiah, ternyata tidak pernah ditanyakan kepadanya benar atau tidak. Hadiah itu diberikan setelah pertandingan melawan Persija, setelah kita menang!”
Pada akhirnya, Ramang hanya mendapatkan hukuman hingga sekitar satu tahun. Setelah kembali bermain pada 1962, kehebatan Ramang sudah luntur. Tempo menulis Ramang bukan lagi “macan bola” melainkan sudah menjadi “macan ompong”.
Editor: Ivan Aulia Ahsan