Menuju konten utama

'Gentleman Sweeper' Itu Bernama Gaetano Scirea

Sepanjang karier bermainnya dalam ratusan laga, Gaetano Scirea hanya mengoleksi tujuh kartu kuning tanpa sekali pun mendapat kartu merah.

'Gentleman Sweeper' Itu Bernama Gaetano Scirea
Gaetano Scirea. tirto.id/Nauval

tirto.id - Pada 3 September 1989, tepat hari ini 30 tahun lalu, dunia sepak bola kehilangan salah satu libero terbaik dalam sejarah. Dia adalah Gaetano Scirea

Kala itu, setelah 14 tahun bermain bagi Juventus, Scirea tengah memulai babak baru bersama La Vecchia Signora sebagai scout. Tugas utamanya adalah mengintai calon-calon lawan Juventus. Naasnya, tugas inilah yang kemudian merenggut nyawa sosok yang lahir di Cernusco sul Naviglio, Italia, pada 25 Mei 1953 itu.

Hari naas Scirea terjadi saat ia mesti ke Polandia untuk menyaksikan laga Górnik Zabrze, sebuah klub Polandia yang bakal dihadapi Juventus dalam laga putaran pertama Piala UEFA musim 1989-90. Meski namanya cukup asing di telinga, Zabrze saat itu tengah on fire di liga domestik usai meraih merasakan empat kemenangan berturut-turut.

Dalam perjalanan menuju Polandia untuk menjalankan tugasnya itulah, Scirea kemudian mengalami kecelakaan tragis: mobil yang ditumpanginya menabrak truk pengangkut empat tong bensin. Dengan cepat bensin tersulut hingga menyebabkan ledakan. Scirea yang tak berhasil menyelamatkan diri pun tewas di tempat kejadian.

Jika itu belum terasa ironis: sembilan hari kemudian, Juventus berhasil memenangkan laga tandang tersebut dengan skor 1-0.

Kabar tewasnya Scirea sudah tentu membuat para Juventini di seluruh dunia berkabung. Bahkan sepanjang tiga dekade, Bianconeri juga selalu mengenang Scirea dalam situs resminya. Hari kematian Scirea tak ubahnya hari suci yang mustahil dilupakan oleh mereka.

“Kami ingat betul hari Minggu di bulan September itu. Sangat ingat. Scirea dikirim untuk misi pemantauan ke Polandia, mengamati lawan Juventus di UEFA Cup, Gornik Zabrze. Sayangnya, hujan lebat membuat kecelakaan yang akhirnya merenggut nyawa Gaetano,” demikian tulis situs resmi Juventus.

Mantan Presiden Juventus, Giovanni Cobolli Gigli, juga menyampaikan duka citanya yang mendalam. Peristiwa tersebut dikenangnya sebagai salah satu kejadian yang merusaknya harinya kala itu.

“Awalnya tanggal 3 September adalah hari yang normal buat saya. Sampai pada akhirnya saya mengetahui kabar dari televisi bahwa Gaetano Scirea meninggal secara tragis di Polandia,” ujarnya.

Libero Elegan dengan Rekor Gemilang

Sepanjang karir sepakbolanya, Scirea bermain hanya untuk dua tim, Atalanta dan Juventus. Dua musim di Atalanta, dia lantas mengabadikan diri bersama La Vecchia Signora.

Awalnya Scirea bermain sebagai gelandang tengah, sebelum akhirnya bercokol sebagai pemain tangguh nan cerdas di barisan belakang Juventus. Kepiawaiannya mengendalikan lapangan tengah dan kemampuannya membaca arah laga kelak menjadi modal utama Scirea dalam memainkan peran libero sekaligus sweeper.

Sedikit penjelasan, kendati secara posisi sama--orang terakhir yang berada di belakang para pemain bertahan--libero dan sweeper memiliki peran berbeda. Libero cenderung diasosiasikan dengan peran menyerang: menjadi inisiator serangan atau maju ke daerah pertahanan lawan untuk menambah jumlah pemain. Adapun sweeper lebih mengurusi pertahanan: pilar terakhir yang berjaga-jaga seandainya ada peluang mengancam.

Kembali ke Scirea. Nilai unggul lain yang membuat dirinya dianggap sebagai salah satu bek terbaik sepanjang masa adalah cara bermainnya yang begitu elegan. Tidak seperti, misalnya, Claudio Gentile yang kokoh namun kasar, Scirea mampu menjadi tembok tebal tanpa harus menyikat kaki lawan.

Maka tidaklah mengherankan jika sepanjang karier bermainnya, Scirea hanya pernah mendapat tiga kartu kuning dan sama sekali tidak pernah menerima kartu merah. Hingga kini, pemain belakang lain yang ikut menyaingi “kebersihan” Scirea adalah Philipp Lahm, mantan bek sayap Jerman kala menjuarai Piala Dunia 2014. Selain memang juga tidak pernah mendapat kartu merah, Lahm dikenal acap bermain bersih dalam mengamankan areanya.

Laman resmi FIFA memberi julukan megah kepada Scirea: “Juve’s Sweeper Supreme". Sementara Stuart Horsfield dalam tulisannya di thesefootballtimes.com, menyebut Scirea merupakan bukti sahih bahwa sepak bola tidak melulu mengandalkan fisik belaka, tetapi juga kecerdasan.

“Sciera telah menjadi contoh sempurna dari pertahanan memakai otak, daripada beradu fisik,” tulisnya.

Namun, apapun itu, siapapun yang bisa membuat gentleman sweeper itu mendapat kartu kuning, patutlah berbangga diri.

Sosok Sentral Keberhasilan Italia di Piala Dunia 1982

Piala Dunia 1982 adalah puncak kegemilangan Scirea sebagai pemain, kendatipun usianya kala itu sudah 29 tahun.

Kendati telah kembali diperkuat penyerang andalannya, Paolo Rossi, Italia mendapat hasil kurang memuaskan di penyisihan grup: tiga kali imbang melawan Kamerun, Polandia, dan Peru. Namun, di dua laga lain, mereka justru berhasil menumbangkan dua raksasa Amerika Selatan, Argentina dan Brasil.

Di babak final, Gli Azzurri bertemu dengan Jerman Barat. Dengan memainkan formasi 5-3-2, pelatih Enzo Bearzot, menurunkan Gentile dan Scirea sebagai dua tembok di jantung pertahanan Italia. Keputusan ini sempat membuat was-was karena kala itu ada Franco Baresi, bek jempolan lain yang masih muda dan bugar.

Namun, pertimbangan Bearzot benar belaka. Dengan menempatkan Scirea di belakang Gentile, sang pemain dapat bergerak secara fleksibel dan amat sesuai dengan perannya sebagai libero.

Hal tersebut tampak dari pola gol kedua Italia. Setelah melakukan tekanan dari lapangan tengah, Scirea yang mendapat bola dengan cepat menggiringnya ke depan, lalu mengoper kepada Bruno Conti untuk membuka jalur serangan dari arah kanan. Di dalam kotak penalti Jerman Barat, kedua pemain ini lantas melakukan operan satu-dua, hingga sepersekian detik setelahnya, Scirea mengirim operan datar terukur kepada Marco Tardelli.

Yang terjadi selanjutnya adalah selebrasi legendaris Tardelli usai menjebol gawang Tony Schumacher. Dan Italia pun akhirnya menang dengan skor 3-1.

Tribun yang Tak Dihormati

14 musim bersama Juventus, Scirea telah memainkan 552 laga [ketiga terbanyak dalam sejarah Bianconeri] selama 47.358 menit dengan raihan berbagai gelar: tujuh scudetti, dua Piala Italia, satu Piala UEFA (yang kala itu masih sangat bergensi karena hanya boleh diikuti oleh peringkat kedua liga), satu Piala Cup Winners, satu Piala Eropa, satu Piala Super Eropa, dan satu Piala Interkontinental.

Sementara bersama tim nasional Italia, Scirea secara resmi tercatat 77 kali bermain dan hanya mendapatkan empat kartu kuning. Ia juga menjadi tokoh kunci yang membawa Gli Azzurri meraih trofi Piala Dunia 1982: sebuah gelar yang menjadi puncak pengukuhan nama Scirea di buku sejarah sepak bola dunia.

Sebagai bentuk penghormatan lain, manajemen Juventus juga turut menjadikan nama pemain bernomor punggung 6 itu sebagai salah satu tribun di stadion Delle Alpi: Curva Scirea.

Infografik Mozaik Gaetano Sciera

Infografik Mozaik Gaetano Sciera. tirto.id/Nauval

Hanya saja, secara ironis tribun Sciera tersebut malah menjadi area adu jotos. Ultras dan Drughi, pendukung garis keras Juventus kerap kelahi di tribun tersebut. Bahkan satu kali, setidaknya, mereka mengeluarkan ucapan bersifat rasisme yang membuat istri sang “gentleman sweeper” kecewa.

Hingga akhirnya diputuskan: tribun Sciera dihilangkan.

Hal tersebut tentunya patut menjadi pelajaran berharga para tifosi Juventus. Sebab, bahkan pihak Serie A saja menjadikan Scirea sebagai sebuah penghargaan atas sikap sportivitas: Premio Nazionale Carriera Esemplare "Gaetano Scirea". Penghargaan ini diberikan tiap musim kepada pemain berusia 30 tahun ke atas dan yang terakhir mendapatkannya adalah Fabio Quagliarella.

Kendati demikian, nama Gaetano Scirea, toh, tetap disakralkan dengan cara lain: menjadi nama jalan di sekitaran stadion Juventus. Maka, siapa pun orang yang menanyakan arah menuju stadion Bianconeri, saat itu juga pasti tersebut nama Scirea.

Addio Capitan Scirea!

Baca juga artikel terkait LIGA ITALIA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Olahraga
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Eddward S Kennedy