tirto.id - Pada 30 Oktober 1960, di rumah sakit Evita Peron, Buenos Aires, Argentina, seorang dokter berkata kepada pasangan Diego “Chitoro” Maradona dan Dalma “Tota” Salvadora yang tengah berbahagia.
“Selamat,” kata dokter itu tanpa tedeng aling-aling, “Anda (Tota) melahirkan anak laki-laki yang sehat, dan dia benar-benar menyenangkan.”
Sebelum anak laki-lakinya itu lahir, Tota, yang sudah memiliki tiga anak perempuan, mendapatkan pertanda aneh. Saat perutnya tiba-tiba merasa sakit, ia justru menari untuk meredam rasa sakitnya. Anak laki-lakinya itu kemudian lahir dengan cara yang tak kalah aneh: ia menendang-nendangkan kakinya untuk menyambut dunianya yang baru.
Chitoro dan Tota kemudian menamai anaknya itu Diego Maradona. Saat Maradona merayakan ulang tahun ketiga, mereka mulai sadar mengapa anak laki-lakinya itu memberikan pertanda aneh ketika lahir di dunia: Beto, sepupu Maradona, memberi hadiah bola kepada Maradona. Setelahnya, bola itu selalu menjadi teman tidur setia Maradona. Ia seperti ditakdirkan menjadi pesepakbola.
Masa kecil Maradona memang berjalan tidak mudah. Ia tinggal di Villa Fiorito, kawasan yang keras untuk ditinggali. Di rumah, tidak ada aliran air untuk mandi dan tidak ada aliran listrik untuk sekadar menonton televisi. Di luar rumah, untuk mendapatkan uang jajan, Maradona juga harus membukakan pintu taksi serta mengumpulkan kertas timah dari bungkus rokok bekas.
Namun, sejak Cirilo, pamannya, berteriak kepadanya bahwa ia "harus selalu mengangkat kepalanya", Maradona mulai menerima keadaan. Ia masih memiliki bola untuk menikmati hari. Jika bola tidak ada, ia masih memiliki buah jeruk, kepalan kertas, hingga kepalan kain untuk terus ditendang-tendang.
Saat berusia delapan, Maradona yang terlihat pendek dan berkepala besar kemudian menjalani trial bersama Cebolliotas, tim junior Argenitos Juniors. Melihat postur tubuh Maradona, Francisco Conejo, pelatih Cebolliotas, mengeluarkan komentar tak mengenakkan, “Ia seperti datang dari Planet lain.”
Menariknya, kelak komentar Conejo itu justru terlihat sebagai sebuah pujian yang menyerupai nubuat: kemampuan olah bola Maradona benar-benar tak ada duanya di dunia.
Sejak saat itu Maradona terus menggoreskan cerita-cerita, dari seorang bocah hingga menjadi seorang legenda. Dari semua ceritanya itu, ada satu kisah yang akan selalu direproduksi secara berulang-ulang: Maradona menjadi pelaku “Gol tangan Tuhan”.
Sebuah gol yang bersarang ke gawang Inggris, musuh Argentina di Perang Falkland. Sebuah gol yang membuat anti-football tidak melulu terlihat buruk. Sebuah gol yang menjadi jalan untuk meraih cita-cita masa kecilnya: memenangi Piala Dunia.
Pembalasan Perang Falkland
Perang Falkland memang terjadi karena keputusan sembrono Jenderal Leopoldo Galteri, pimpinan junta militer Argentina. Pada 2 April 1982, ia mengirim pasukan militer untuk menganeksasi Pulau Falkland dari tangan Inggris. Ia sebetulnya mengambil keputusan itu untuk mengalihkan pandangan masyarakat Argentina dari kebobrokan pemerintahannya.
Sayangnya, keputusan tersebut justru menjadi blunder besar. Argentina kalah dalam perang yang berlangsung selama sekitar tiga bulan tersebut. Sebanyak 649 pasukan Argentina meninggal. Inflasi di Argentina meningkat menjadi 200%—konon meningkat lagi mencapai 900%. Utang luar negeri mereka berada dalam angka 39 miliar dolar Amerika. Kulminasinya: junta militer jatuh.
Dalam The Falkland War: Britain Versus the Past in South Atantic (1998), Daniel K. Gibran menulis, “Keputusan menggunakan kekuatan militer guna ‘merebut kembali’ wilayah yang hilang bukan hanya menjerumuskan Argentina ke perang kecil yang menghancurkan melawan Inggris, tapi juga mendatangkan bencana bagi junta yang memerintah.”
Menariknya, pada masa Perang Falkland, pemberitaan perang di Argentina ternyata dikaitkan dengan kesuksesan Argentina saat memenangi Piala Dunia 1978. Sebuah pencapaian yang bisa membuat orang-orang Argentina tak lagi peduli dengan kondisi politik di negaranya. Tujuannya saat itu jelas: melalui sepakbola, junta militer Argentina ingin mendapatkan dukungan dari rakyat.
Pendekatan itu berhasil. Pada awal-awal masa perang, chant terkenal ‘He who does not jump is an Ducthman’, yang dinyanyikan ketika final Piala Dunia 1978 berlangsung, diganti menjadi ‘He who does not jump is an Englishman.'Chant tersebut kemudian menggema saat Argentina bertanding melawan Uni Soviet dalam laga uji coba menjelang Piala Dunia 1982 di markas River Plate. Dari sana, dukungan kemudian melebar ke mana-mana.
Menyoal perilaku warga Argentina itu, Ernesto Sabato, novelis Argentina yang tidak menyukai junta militer, mengemukakan pendapatnya. “Di Argentina,” katanya, “bukan pemerintahan diktator yang berperang. Yang berperang adalah seluruh masyarakat, wanita, anak-anak, orang tua, mengesampingkan pandangan politiknya. Orang yang melawan pemerintahan seperti saya berperang untuk martabat, berperang untuk mengenyahkan kolonialisme. Jangan salah sangka, wahai bangsa Eropa; bukan pemerintahan diktator yang berperang di Malvinas (sebutan orang-orang Argentina untuk Pulau Falkland), tapi seluruh negara yang melakukannya.”
Menariknya, empat tahun setelah Perang Falkland berlalu, Inggris dan Argentina kembali mempunyai kesempatan untuk saling bersinggungan. Kali ini bukan di medan perang, melainkan dalam pertandingan sepakbola: Argentina bertanding melawan Inggris di babak perempatfinal Piala Dunia 1986.
Pertandingan itu tentu saja memantik dendam. Kekalahan Argentina dalam perang memang membantu membebaskan Argentina dari rezim junta militer, tetapi kekalahan tersebut juga menimbulkan luka yang sulit disembuhkan. Seperti apa yang dikatakan Ernesto Sabato bahwa perang itu menyangkut persoalan martabat, bukan yang lain.
Untuk duel itu, Roberto Perfumo, kapten Argentina di Piala Dunia 1974, ikut bersuara: “Pada Piala Dunia 1986, memang melawan Inggris sudah cukup. Memenangi Piala Dunia merupakan tujuan kedua kami. Mengalahkan Inggris adalah tujuan utama kami.”
Saat perang Falkland diungkit-ungkit menjelang pertandingan, pemain-pemain dari kedua kesebelasan merasa terganggu. Untuk itu, Maradona kemudian mengatakan, “Lihat, tim ini (Argentina) tidak membawa senapan, senjata, juga amunisi. Kami datang ke sini hanya untuk bermain sepakbola.”
Menariknya, omongan Maradona tersebut hanya setengah benar. Pada 22 Juni 1986, tepat hari ini 32 tahun lalu, di pertandingan antara Argentina melawan Inggris, pemain-pemain Argentina memang tidak membawa senjata, senapan, maupun amunisi ke dalam lapangan. Namun, Maradona membawa sesuatu yang lebih mematikan.
Mencapai Puncak Dunia
Saat pergi ke Piala Dunia 1986, usia Maradona sudah mendekati 26. Pada saat itu, ia masih merasa bahwa ia belum benar-benar mampu memaksimalkan talentanya. Di Spanyol dan Italia, alih-alih meraih prestasi bersama Barcelona dan Napoli, ia lebih banyak menciptakan masalah, dari menggunakan obat-obatan terlarang hingga skandal-skandal tidak menyenangkan.
Maradona sendiri mengakuinya: “Saya seorang gioceliere, seorang juggler (pemain yang ahli menimang-nimang bola) [...] belum ada victorylap atau gelar juara untukku.”
Belum lagi filosofi permainan yang diterapkan Carlos Bilardo, pelatih Argentina saat itu, dianggap akan menyulitkan Maradona. Bilardo adalah “musuh” dari La Nuestra, filosofi unik sepakbola Argentina yang mengandalkan kemampuan individu para pemainnya. Saat ia mengatakan “Saya suka menjadi yang terbaik,” ia sudah dicap sebagai anti-football.
Namun di balik semua itu, Bilardo ternyata tahu betul bagaimana caranya memaksimalkan potensi Maradona. Ia akan memainkan formasi 3-5-2. Sebuah formasi yang kaku, sistematis, dan mementingkan pertahanan. Pendekatan itu akan membuat Argentina bermain membosankan, tapi sulit dibobol lawan. Lalu, bagaimana cara Argentina menyerang? Ia menyerahkan semuanya kepada Maradona.
Untuk semua itu, saat Bilardo pertama kali ditunjuk menjadi pelatih Argentina pada 1983, ia rela terbang ke Spanyol untuk menemui Maradona. Bilardo menjamin posisi Maradona di Piala Dunia 1986, juga memberikan ban kapten Argentina kepadanya.
Kepercayaan yang diberikan Bilardo langsung dibayar tuntas oleh Maradona. Dalam empat pertandingan awal, tiga pertandingan putaran grup dan satu pertandingan babak 16 besar, Maradona berhasil mencetak satu gol dan menorehkan tiga assist. Namun, pertandingan-pertandingan itu ternyata hanya pemanasan bagi Maradona. Kehebatannya baru benar-benar ditunjukkan saat menghadapi Inggris di babak perempatfinal.
Pada menit 51, Maradona melakukan penetrasi ke gawang Inggris, melewati Glenn Hoddle dan gelandang-geladang Inggris lainya. Saat berada di depan kotak penalti Inggris, ia kemudian bermaksud melakukan wall-pass dengan Jorge Valdano. Namun Valdano kurang sempurna dalam mengontrol bola. Steve Hodge yang berada di dekatnya kemudian mencoba membuang bola.
Apes bagi Hodge. Bola tendangannya ternyata mengarah ke dalam kotak penaltinya sendiri. Maradona dan Peter Shilton lalu berusaha mendapatkan bola tersebut. Tahu bahwa ia tidak akan memenangi duel udara melawan kiper Inggris itu, Maradona lalu meninju bola dengan tangannya. Bola masuk ke dalam gawang Inggris. Ali bin Nasser, wasit yang memimpin jalannya pertandingan tersebut, menganggapnya sebagai sebuah gol.
Saat Maradona mengatakan bahwa Tuhan ikut campur dalam golnya tersebut, ia mungkin dianggap konyol. Tetapi, saat melihat bagaimana reaksi orang-orang di sekitar Maradona setelah gol itu, kata-katanya seperti terbukti benar. Pertama, Maradona harus memberikan kode kepada rekan-rekannya yang kebingungan setelah gol itu terjadi; kedua, Ali bin Nasser dan Bogdan Dotchev, hakim garis, saling menyalahkan setelah kejadian fenomenal itu; dan ketiga, sebagian pemain Inggris melakukan protes bukan karena Maradona mencetak gol menggunakan tangan, melainkan karena mereka menganggapnya berada dalam posisi offside (padahal bola itu datang dari kaki Steve Hodge).
Tiga menit setelah gol itu, Maradona bahkan membuat Inggris tambah berantakan: Ia menggiring bola dari lapangan tengah, menari-nari melewati pemain-pemain Inggris yang menekel angin, dan mengalahkan Shilton untuk kedua kalinya. Berbeda dari gol sebelumnya, gol kedua itu mendapatkan reaksi menggembirakan. Salah satunya dari Barrie Davies, komentator pertandingan: “Anda harus mengatakan bahwa (gol) itu sangat luar biasa! Seorang genius murni dalam sepakbola.”
Sementara itu, Jorge Valdano menghampiri Maradona setelah gol tersebut dan mengatakan, "Kamu bukan pemain terbaik di Piala Dunia; kamu pemain terbaik di dunia."
Pada akhirnya Argentina berhasil memenangkan pertandingan tersebut dengan skor 2-1. Setelah kemenangan itu, Maradona tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Secara emosional, ia mengatakan: “Seolah-olah kami mengalahkan sebuah negara, bukan hanya tim sepakbola [...] Meski sebelum pertandingan kami mengatakan bahwa pertandingan ini tidak ada hubungannya dengan perang Malvinas, kita tahu bahwa mereka membunuh banyak pemuda Argentina, seperti membunuh burung. Dan ini rasanya seperti sebuah balas dendam.”
Maradona kemudian melanjutkan penampilan hebatnya. Di pertandingan semifinal, ia kembali mencetak dua gol, membawa Argentina menang 2-0 atas Belgia. Di pertandingan final, ia memang tidak mencetak gol, tetapi berperan besar terhadap kemenangan Argentina atas Jerman Barat. Argentina kemudian menjuarai Piala Dunia 1986, Piala Dunianya Maradona.
Editor: Ivan Aulia Ahsan