tirto.id - Setiap pagelaran Piala AFF, kiprah timnas Indonesia selalu mengundang rasa penasaran. Sepanjang tiga belas kali keikutsertaannya, enam kali Indonesia tampil sebagai finalis tapi selalu gagal menjadi juara.
Di Piala AFF edisi terakhir (5 Desember 2021 - 1 Januari 2022), timnas kalah dari Thailand dengan aggregat 6-2. Padahal sepanjang fase grup hingga semifinal, anak buah Shin Tae-Yong tampil memikat dengan permainan sepak bola menyerang.
Tampil dominan di fase grup, lolos ke final, euforia di mana-mana, namun akhirnya gagal juara. Siklus seperti ini terus berulang setiap Indonesia tampil sebagai finalis.
Berawal dari Piala Tiger
Piala AFF bermula ketika pabrik bir Asia Pasifik menjadi sponsor pertama turnamen berlabel Tiger Cup pada tahun 1996. Diikuti oleh 10 tim, turnamen berlangsung di Singapura tanggal 2-15 September.
Indonesia berhasil lolos ke semifinal setelah menjadi juara grup A usai di fase grup menang 5-1 dengan Laos, kemudian mencukur Kamboja dan Myanmar, masing-masing dengan skor 3-0 dan 6-1.
Di partai terakhir, timnas bermain imbang dengan Vietnam 1-1 yang akhirnya menemani Indonesia lolos ke semifinal.
Timnas kala itu banyak diisi pemain muda hasil didikan akademi Primavera, seperti Kurnia Sandy, Aples Tecuari, Yeyen Tumena, Bima Sakti, dan Kurniawan Dwi Yulianto.
Beberapa pemain senior juga masuk skuad yang diasuh pelatih Danurwindo, seperti Listianto Raharjo, Robby Darwis, Aji Santoso, Ansyari Lubis, Widodo C. Putro, dan Fachri Husaini yang ditunjuk sebagai kapten tim.
Sayang sekali di semifinal timnas harus mengakui keunggulan Malaysia 3-1 yang saat itu juga banyak dihuni pemain veteran, seperti Zainal Abidin, Dollah Saleh, dan Shamsurin Abdul Rahman .
Timnas harus puas sebagai juara keempat setelah dikalahkan Vietnam pada perebutan tempat ketiga.
Piala Tiger edisi perdana ini dibawa pulang ke Thailand setelah di final menang tipis 1-0 atas Malaysia.
Dua tahun kemudian, Vietnam bertindak sebagai tuan rumah yang berlangsung pada 27 Agustus sampai 5 September 1998.
Format turnamen mengalami sedikit perubahan: empat tim teratas di Piala Tiger sebelumnya otomatis lolos ke babak utama yang nantinya hanya diisi delapan tim terbaik Asia Tenggara.
Sedangkan enam tim lain harus berjuang melalui babak kualifikasi yang dibagi ke dalam dua grup. Juara dan runner-up otomatis lolos ke babak utama.
Skuad timnas Indonesia mengalami perubahan di bangku pelatih yang diisi oleh Rusdy Bahalwan. Ia dianggap layak menangani timnas setelah membawa Persebaya juara Liga Indonesia tahun 1997.
Posisi pemain masih mengandalkan gabungan beberapa pemain senior dan akademi Primavera.
Pada laga pembuka di Ho Chi Minh City, timnas Indonesia mampu menundukkan Filipina 3-0 melalui gol Widodo C. Putro, Bima Sakti, dan Uston Nawawi. Dua hari kemudian, timnas menggasak Myanmar 6-2.
Guna menghindari tuan rumah Vietnam di semifinal, Indonesia dan Thailand kemudian mempertontonkan sepak bola paling buruk dalam sejarah turnamen di laga terakhir. Kedua tim sama-sama tidak menunjukkan semangat bermain, malah ada kesan sama-sama ingin mengalah.
Mursyid Effendi kemudian mencetak gol ke gawang sendiri di menit-menit akhir babak kedua sehingga Indonesia kalah 3-2 dan berhasil terhindar dari Vietnam. Namun, di semifinal Indonesia malah kalah dari Singapura yang akhirnya keluar sebagai juara turnamen. Begitu juga Thailand yang dipecundangi Vietnam 3-0.
Mursyid Effendi lantas dihukum seumur hidup dilarang bermain di level internasional.
Dalam sebuah wawancara, Mursyid menyebut bahwa gol yang ia buat adalah kesepakatan bersama sebagai tim. Ia merasa dikambinghitamkan karena jika orang mengingat kejadian itu pasti akan langsung menunjuk dirinya.
Ia juga mengaku tidak pernah menerima surat hukuman atas dirinya sampai hari ini.
“Lha iya, dari situ saja sudah bohong. Orang kecil lagi yang kena,” imbuhnya.
Sementara itu tim Indonesia dan Thailand disanksi denda masing-masing USD40 ribu oleh FIFA karena dianggap melanggar semangat dan sportivitas permainan.
Pertama Kali Lolos ke Final
Pada Piala Tiger tahun 2000, Indonesia coba melupakan kejadian tahun 1998. Timnas datang ke Thailand dengan beberapa skuad anyar besutan pelatih Nandar Iskandar. Nama-nama seperti Ismed Sofyan, Gendut Doni, dan Bambang Pamungkas kemudian menjadi langganan timnas di berbagai kejuaraan berikutnya.
Pada edisi ketiga Piala Tiger ini, timnas pertama kali lolos ke partai final usai mengalahkan Vietnam yang saat itu dilatih oleh Alfred Riedl dengan skor 3-2 melalui perpanjangan waktu. Gendut Doni mencetak gol di menit 120. Ia mengelabui empat bek dan penjaga gawang Vietnam setelah menerima umpan dari Kurniawan yang meliuk-liuk di kotak pinalti.
Euforia kemudian muncul di tanah air. Saat itu koran-koran dan media elektronik banyak memberitakan perjuangan heroik timnas di partai semifinal dan sudah saatnya Indonesia menyudahi puasa gelar.
Namun pada partai final yang dilangsungkan di Bangkok, timnas bermain anti-klimaks. Beberapa pengamat menyebut mereka kelelahan usai mengalahkan Vietnam di semifinal, sehingga harus mengakui keunggulan tuan rumah 4-1, skor yang sama ketika kalah di penyisihan grup.
Piala Tiger yang diidam-idamkan terpaksa lepas dari genggaman pasukan Garuda.
Layak Juara
Harapan kembali muncul ketika ditunjuk menjadi tuan rumah bersama Singapura di edisi Piala Tiger 2002 yang berlangsung dari tanggal 15-29 Desember.
Partai semifinal dan partai final diadakan di Jakarta, ini menjadi keuntungan bagi timnas Indonesia.
Timnas yang dilatih Ivan Kolev itu awalnya tidak diunggulkan, namun akhirnya lolos kembali ke partai puncak Piala Tiger.
Stadion Gelora Bung Karno dipadati 100.000 penonton pada laga final yang berlangsung tanggal 29 Desember 2002. Thailand unggul 2 gol di babak pertama melalui Chukiat Noosalong dan Therdsak Chaiman. Mereka memanfaatkan kelemahan lini belakang timnas Indonesia yang keasyikan menyerang.
Gelandang Persib, Yaris Riyadi, memperkecil keadaan di saat babak kedua berlangsung satu menit. Gol tersebut melecut permainan timnas yang terus menggempur pertahanan Thailand yang dikomandoi Thanongsak Pajakkata.
Timnas makin percaya diri setelah Chukiat Noosalung diusir wasit Salleh Subkhiddin asal Malaysia di menit ke-57.
Hasilnya di menit ke-79, Gendut Doni berhasil menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Thailand yang diarsiteki Peter White terpaksa bertahan total hingga perpanjangan waktu. Skor pun tidak berubah dan harus dilanjutkan adu tendangan pinalti.
Tendangan pinalti Bambang Pamungkas dan Imran Nahumarury berhasil menjebol gawang Thailand. Sayang, tendangan Bejo Sugiantoro membentur mistar dan Firmansyah melebar ke kanan gawang.
Malam itu Indonesia harus dipermalukan Thailand 4-6 lewat drama adu pinalti dan merelakan kembali tropi Piala Tiger yang diidam-idamkan.
Menurut Tabloid Bola edisi Selasa, 31 Desember 2002, sebagaimana dilansir Kompas, pelatih Ivan Kolev tidak memberikan porsi latihan tendangan pinalti untuk laga final.
Era Nurdin Khalid
Setelah terpilih menjadi ketua umum PSSI pada tahun 2003, Nurdin Khalid memulai kontroversinya ketika Liga Indonesia harus bentrok dengan Piala Tiger edisi ke-5 yang akan dilangsungkan di Vietnam dan Malaysia pada 7 Desember 2004 sampai dengan 16 Januari 2005.
Akibatnya, media-media di tanah air ramai memberitakan tentang pemanggilan beberapa pemain kunci dari PSM dan Persija yang saat itu tengah memperebutkan gelar liga.
Peter White, pelatih timnas saat itu banyak disalahkan karena pemanggilan tersebut. Konfrontasinya dengan PSM dan Persija menjadikan pemusatan latihan timnas Piala Tiger kurang begitu mulus.
Timnas Piala Tiger 2004 juga memunculkan nama Boaz Solossa yang saat itu berusia 18 tahun. Ia adalah satu-satunya pemain yang bertatus non-profesional karena baru memperkuat tim PON Papua.
Boaz menjawab keraguan dengan mencetak dua gol di laga pembuka melawan Laos. Timnas berhasil menang telak 6-0.
Timnas pun akhirnya lolos ke semifinal setelah menjadi juara grup A dan kembali berhadapan dengan musuh bebuyutannya Malaysia. Pada edisi Piala Tiger kali ini, format home and away mulai diberlakukan untuk laga semifinal dan final.
Pada leg pertama di Jakarta tanggal 28 Desember, timnas takluk 2-1. Beban berat menanti leg kedua yang akan dilangsungkan di Malaysia pada 3 Januari 2005. Banyak keraguan sebagian pecinta bola tanah air karena timnas harus menang dengan aggregat minimal 2-0 untuk lolos ke final.
Indonesia juga baru dilanda duka saat itu setelah Aceh dilanda tsunami yang menewaskan puluhan ribu orang di akhir tahun 2004.
Pada leg kedua di Kuala Lumpur, Peter White sukses mengubah taktik ketika timnas tertinggal oleh Malaysia di babak pertama. Memasukkan Kurniawan Dwi Yulianto di babak kedua yang langsung menyamakan keadaan menjadi 1-1. Timnas bermain efektif setelah menambah pundi-pundi gol melalui Charis Yulianto, Ilham Jayakusuma, dan Boaz Solossa.
Goal Boaz di menit ke-84 pada laga tersebut kemudian digadang-gadang sebagai salah satu gol terbaik Piala Tiger sampai sejauh ini.
Timnas kembali melaju ke final Piala Tiger tiga kali berturut-turut. Lawannya adalah Singapura yang pernah bermain seri di babak penyisihan.
Singapura lolos ke final setelah mengalahkan kuda hitam Myanmar yang lolos secara mengejutkan.
Seperti dua final sebelumnya, timnas kembali tampil anti-klimaks. Kalah di Jakarta dengan skor 3-1, timnas kembali menelan pil pahit setelah kalah 2-1 di Singapura.
Julukan “juara tanpa mahkota”. “spesialis runner-up”, atau “negeri nyaris juara”, mulai disematkan pada timnas Indonesia sejak saat itu.
Dari Piala Tiger ke Piala AFF
Tiger Beer mengakhiri kerjasamanya dengan konfederasi sepak bola ASEAN, AFF, pada kejuaraan edisi tahun 2007. Perusahaan asal Jepang, Suzuki, kemudian masuk menjadi sponsor utama hingga nama turnamen pun berubah menjadi AFF Suzuki Cup mulai edisi 2008 hingga 2021.
Timnas Indonesia butuh waktu panjang untuk kembali ke partai final. Pertama kalinya gagal lolos dari fase grup di Piala AFF tahun 2007, kemudian gagal lolos ke final setelah kalah di semifinal dari Thailand di Piala AFF tahun 2008.
Piala AFF tahun 2010 yang diselenggarakan di Indonesia dan Vietnam mungkin menjadi kejuaraan paling semarak seiring pesatnya kemajuan media sosial. Rivalitas Indonesia dengan Malaysia juga makin mengerucut pada edisi kali ini.
Sukses mempecundangi Malaysia 5-1 di partai pembuka di Jakarta, timnas menang mudah 6-0 dengan Laos dan berhasil mengalahkan Thailand 2-1. Poin sempurna didapatkan Christian Gonzales dan kawan-kawan.
Tidak lolosnya Thailand makin membuat kepercayaan diri timnas setelah mengalahkan Filipina di semifinal dengan skor yang sama 1-0. Leg pertama dan kedua berlangsung di Jakarta karena saat itu markas Filipina, Stadion Rizal Memorial, sedang direnovasi.
Filipina saat itu banyak dihuni pemain naturalisasi dari Amerika dan Eropa.
Pada partai final leg pertama di Kuala Lumpur, lagi-lagi penampilan timnas dipertanyakan setelah kalah telak 3-0. Insiden yang banyak diingat pada leg pertama ini adalah ketika penjaga gawang Markus Horison meminta wasit menghentikan pertandingan setelah banyak sinar laser yang menyoroti wajahnya sepanjang laga.
Pertandingan sempat terhenti selama 10 menit setelah terjadi negosiasi antara wasit dengan perangkat pertandingan. Namun tiga gol Malaysia justru terjadi setelah pertandingan kembali dilanjutkan. Insiden laser tersebut diduga memecah konsentrasi pemain Indonesia.
Pada leg kedua di Jakarta, timnas gagal memenuhi harapan untuk membalas kekalahan di Kuala Lumpur. Hanya menang 2-1, tropi Piala AFF kembali melayang.
Rumor-rumor negatif kemudian banyak bertebaran di media sosial usai kegagalan timnas di Piala AFF 2010, seperti isu judi yang melibatkan bandar di Singapura dengan beberapa pemain timnas.
Meskipun tidak pernah ada bukti mengenai rumor-rumor tersebut, yang sudah pasti adalah timnas Indonesia selalu gagal meraih juara, bahkan ketika kesempatan itu datang kembali di tahun 2016--insiden kartu merah Abduh Lestaluhu setelah menendang bench Thailand di leg kedua-- dan tahun 2021 kemarin.
Entah ini sebuah kutukan atau memang sudah suratan takdir.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Nuran Wibisono