tirto.id - Menjelang akhir dekade 1950-an perekonomian Indonesia dalam keadaan berat. Inflasi dan kelangkaan barang menjadi hal lumrah di mana-mana. Pemerintah bukan tak berupaya, hanya saja hasilnya tak menunjukkan progres membaik.
Menilik kondisi itu Mohammad Hatta hanya bisa geram. Ia sudah bukan lagi wakil presiden dan tak ada guna berharap kepada Sukarno, kawan seperjuangannya dulu. Tetapi, ia tahu itu bukan salahnya seorang.
"Presiden Sukarno yang memimpin pemerintahan diakuinya mempunyai ‘cita-cita, tetapi [ia] bukan ahli ekonomi, sedangkan orang yang disuruh menjalankan ekonomi tidak mengerti seluk-beluk ekonomi’. [...] Akibatnya, ‘semua menjadi kacau’,” tulis Deliar Noer mengutip Hatta dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik (1990, hlm. 567).
Karena itu Hatta bertambah geram ketika tahu pada 1958 pemerintahan Sukarno begitu ngotot mengajukan diri menjadi tuan rumah Asian Games ke-4 tahun 1962. Kali ini ia sampai perlu menyurati langsung Perdana Menteri Djuanda pada 24 Juni 1958 untuk menyatakan keberatannya itu.
Alasannya, ongkos penyelenggaraan yang besar tak sepadan dengan kemampuan ekonomi Indonesia dewasa itu. Lagi pula ada permasalahan politik yang tak kalah penting: keikutsertaan Israel dan Taiwan. Kedua negara itu belum sepenuhnya diterima oleh negara Asia lain. Konsekuensi politik internasionalnya agak berat, menurut Hatta. Karena itu, kepada PM Djuanda, Hatta meminta agar pengajuan proposal tuan rumah Asian Games ke-4 baiknya ditinjau kembali.
Tetapi, pemerintah sudah tak bisa mundur. Sukarno pun jelas tak ingin mundur. Lantas, apa yang membuat Indonesia begitu percaya diri mampu menjadi tuan rumah Asian Games ke-4 1962 di tengah keterbatasan ekonominya?
Setelah Dua Kali Gagal
Bukan hanya sekali Indonesia mengajukan diri sebagai tuan rumah Asian Games. Upaya itu bahkan sudah dimulai sejak Asian Games pertama di India pada 1951. Saat itu Asian Games Federation (AGF) menolak proposal Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games kedua.
Proposal kedua kembali diajukan kepada sidang AGF yang bertepatan dengan Asian Games kedua pada 1954 di Filipina. Selain masalah ekonomi, AGF menilai kondisi politik dan keamanan Indonesia kurang kondusif. Kenyataannya memang pemerintah Indonesia dibuat pusing oleh pemberontakan Andi Aziz, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), dan pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo.
“Lagi-lagi, masih belum ada kepercayaan AGF terhadap kemampuan pemerintah Indonesia untuk menjamin kelancaran atau berlangsungnya AG III tahun 1958. Sebagian besar anggota AGF lebih memilih Tokyo untuk menyelenggarakan AG III tahun 1958,” tulis Amin Rahayu dalam tesisnya, Pesta Olahraga Asia (Asian Games IV) Tahun 1962 di Jakarta: Motivasi dan Capaiannya (2012, hlm. 5).
Amin Rahayu meneliti seluk-beluk penyelenggaraan Asian Games ke-4 pada 1962, termasuk usaha-usaha delegasi pemerintahan Bung Karno melobi AGF agar bersedia menerima proposal Indonesia.
Pemerintahan Sukarno kembali mengajukan proposal pada Asian Games ke-3 pada 1958 di Tokyo. Kala itu delegasi Indonesia diwakili oleh Menteri Olahraga R. Maladi dengan anggota Sri Paku Alam VIII dan Dr. A. Halim. Ketiganya membawa misi berat dari Presiden Sukarno: meyakinkan AGF agar Asian Games ke-4 dilangsungkan di Jakarta.
Jakarta kala itu belum jadi metropolitan sebagaimana sekarang. Infrastruktur olahraga yang dimiliki Jakarta hanya lapangan Ikada. Akomodasi penunjang lain seperti hotel dan sarana transportasi masih ala kadarnya. Saingan Indonesia kala itu adalah Taiwan dan Pakistan yang nisbi lebih siap.
Meski begitu, Indonesia memiliki satu jaminan yang diharapkan bisa meyakinkan AGF: pembayaran pamapasan perang Jepang untuk pembangunan.
Agaknya jaminan itulah yang kemudian cukup bisa meyakinkan anggota AGF. Proposal Indonesia akhirnya diterima setelah melalui debat dan pemungutan suara yang melelahkan.
Dalam tesisnya, Amin menulis, “Pada saat proses penghitungan suara dalam sidang AGF, yang dihadiri secara lengkap oleh para anggotanya, yang diselenggarakan di Sankei Kaikan, akhirnya Jakarta berhasil mengumpulkan 22 suara pendukung, menang tipis atas Karachi, ibukota Pakistan, yang memperoleh 20 suara, sementara satu suara dinyatakan void atau batal.”
Demi Wibawa Internasional
Menurut Amin Rahayu, motivasi terbesar Indonesia ingin menjadi tuan rumah Asian Games demi menunjukkan Indonesia adalah "bangsa besar" meski baru saja merdeka. Jadi, Sukarno merasa perlu mengangkat nama, harkat, dan martabat bangsa Indonesia di mata internasional. Motivasi kedua demi menunjukkan prestasi olahraga Indonesia di mata internasional.
“Hal ini dilakukan dengan upaya meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana olahraga,” tulis Amin. Karena itulah persiapan Asian Games ke-4 berkelindan dengan visi besar pembangunan Indonesia ala Bung Karno.
Soal ini juga dikuatkan oleh sejarawan Restu Gunawan. Sukarno selalu mengangankan Indonesia sebagai "mercusuar dunia" dengan Jakarta sebagai pusatnya. Asian Games ke-4 adalah momen awal pembangunan fisik besar-besaran di Jakarta.
"Dalam gagasan Bung Karno ada sebuah paket segitiga pembangunan. Kawasan sekitar Monumen Nasional ditentukan sebagai pusat pemerintahan, Senayan pusat olahraga dan budaya, sebelah barat Senayan sebagai political venue,” tulis Restu dalam Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010, hlm. 74-75).
Akan tetapi, karena kebijakan yang terlihat hanya menghamburkan uang negara itu, Bung Karno menuai banyak kritik.
Kritik Hatta hanyalah salah satunya. Meski begitu, toh Sukarno jalan terus. Ia tahu benar bahwa prioritas kala itu adalah memberantas kemiskinan rakyatnya. Namun, kebanggaan nasional juga penting.
“Ini semua bukanlah untuk keagunganku, tapi agar seluruh bangsaku dihargai oleh seluruh dunia," ujar Sukarno sebagaimana dikutip Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014, hlm. 354).
"Seluruh negeriku membeku ketika mendengar Asian Games 1962 akan diselenggarakan di ibukotanya. Kami lalu mendirikan stadion dengan atap melingkar yang tak ada duanya di dunia. [...] Ya, memberantas kelaparan memang peting, tetapi memberi jiwa mereka yang telah tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan—ini juga penting,” tambah Sukarno.
Proyek-Proyek Mercusuar Sukarno
Amin Rahayu dalam penelitiannya menyebut bahwa persiapan untuk mengegolkan proposal Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games ke-4 sudah direncanakan sejak 1957.
Kala itu pemerintah menyelenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk membahas persoalan ekonomi dan politik nasional. Salah satu bahasannya adalah biang dua kali kegagalan proposal Indonesia kepada Asian Games Federation. Karena itu Musyawarah memutuskan perlu pembangunan sarana dan prasarana olahraga yang memadai untuk gelaran internasional (hlm. 8-9).
Indonesia mendapat angin segar dari perjanjian pampasan perang dengan Jepang, yang sempat macet tapi akhirnya disepakati pada 15 April 1958. Itu tepat sebulan sebelum sidang AGF di Tokyo yang membahas pelaksanaan Asian Games 1962. Karena kesepakatan itulah delegasi Indonesia punya jaminan untuk menjadi tuan rumah pesta olahraga terakbar se-Asia itu.
“Jumlah pampasan perang senilai 223.390.000 juta dolar AS akan dilunasi selama 12 tahun dengan cicilan 20 juta dolar AS selama 11 tahun, dan sisanya 3,08 juta dolar AS akan dilunasi pada tahun ke-12. Dengan demikian berarti pembayaran tersebut akan lunas pada tahun 1970,” tulis Amin dalam tesisnya (hlm. 33).
Proyek pertama yang kemudian dibangun dari dana pampasan perang itu adalah Hotel Indonesia. Hotel mewah bintang lima pertama di Indonesia itu mulai dibangun pada 1959. Selain disiapkan untuk menampung tamu-tamu luar negeri selama Asian Games berlangsung, HI juga menjadi tonggak awal pengembangan pariwisata Indonesia.
Proyek selanjutnya tentu saja pembangunan sarana olahraga berstandar internasional sesuai persyaratan AGF. Sejarawan Restu Gunawan menyebut semula Sukarno merencanakan pembangunan kompleks olahraga di daerah Bendungan Hilir seluas 300 hektare. Rencana ini tak diteruskan karena ditolak oleh Gubernur Jakarta Soemarno Sostroatmodjo, yang mengusulkan daerah Rawamangun saja karena masih kosong (hlm. 74).
Bung Karno lantas mengajak arsitek kesayangannya Friedrich Silaban untuk bersama mencari lokasi yang lebih cocok untuk dibangun kompleks olahraga. Dengan helikopter, keduanya mulai mengamati daerah selatan Istana. Mereka mengamati daerah sekitar Bendungan Hilir dan Senayan.
"Dalam penerbangan tersebut, Silaban mengarahkan agar helikopter berputar di atas Senayan. Sampai akhirnya, secara perlahan muncul ide Bung Karno bahwa daerah Senayan cocok untuk stadion,” tulis Restu.
Kala itu kawasan Senayan merupakan kampung dengan daerah rawa dan kebun. Karena pertimbangan itulah Sukarno memilih daerah Senayan sebagai lokasi kompleks olahraga untuk Asian Games.
Sebagai langkah awal, pemerintah melakukan pembebasan lahan dengan menggusur dan memindahkan warga ke daerah lain pada 1959. Empat kampung yang digusur adalah Senayan, Petunduan, Kebon Kelapa, dan Bendungan Hilir. Penduduk empat kampung itu lalu direlokasi ke daerah Tebet.
Restu menulis, "bekas penduduk Senayan yang dipindahkan ke Tebet menerima kaveling masing-masing keluarga seluas minimal 100 meter persegi, dengan membayar harga maksimal 60 persen dari ganti rugi atas tanah hak milik mereka di Senayan."
Restu juga menyebut bahwa pembangunan kompleks olahraga yang nantinya disebut sebagai Gelora Bung Karno itu dibantu pembiayaannya oleh Uni Soviet. Sukarno berhasil melobi Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev untuk mendapatkan pinjaman lunak sebesar 12,5 juta dolar AS. Pembangunan Gelora Bung Karno resmi dimulai pada 8 Februari 1960.
Menurut Amin Rahayu, pembangunan-pembangunan besar semasa Demokrasi Terpimpin diamankan dengan TAP MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Pembangunan infrastruktur terkait Asian Games 1962 yang masuk dalam beleid ini di Jakarta adalah Gelora Bung Karno, Pembangunan Monumen Nasional, Pembangunan TVRI, Wisma Warta, dan Tugu Selamat Datang.
Restu juga mencatat beberapa proyek lain yang tak kalah besar selama persiapan Asian Games: Sebuah jalan raya baru yang menghubungkan Slipi dan Cawang; serta pelebaran ruas Jalan Sudirman hingga Thamrin.
“Untuk menghubungkan jalan baru, dibangun jalan memotong Jalan Sudirman yang dibuat setengah lingkaran sehingga menyerupai daun semanggi (cloverleaf, klaverblad),” tulis Direktur Seni dan Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan itu.
Itulah yang kini kita kenal sebagai Jembatan Semanggi.
Sukarno juga membangun Jakarta bypass sepanjang 27 kilometer Pelabuhan Tanjung Priok ke pusat kota Jakarta. Menurut Restu proyek-proyek jalan inilah yang memicu pertumbuhan permukiman di Cempaka Putih dan Pulo Gadung (hlm. 78-79).
Seturut penelusuran Amin Rahayu, selain mengandalkan pinjaman luar negeri, pemerintahan Sukarno juga mengalokasikan anggaran khusus untuk proyek-proyek kolosal itu. Total, negara menganggarkan dana senilai Rp 3,637 miliar. Dana itu dianggarkan untuk tahun 1961 sebesar Rp 1,537 miliar dan 1962 sebesar Rp 2,100 miliar.
Untuk mengejar tenggat waktu pelaksanaan Asian Games ke-4, yang sedianya dilangsungkan pada Agustus 1962, seluruh proyek itu dikerjakan secara serentak. Tak hanya melibatkan pekerja bangunan biasa, kesatuan Zeni TNI AD juga ikut diterjunkan.
“Pada saat puncak penyelesaiannya, lebih dari 40 sarjana teknik dari Indonesia, siang-malam harus turun tangan memimpin sekitaran 12.000 tenaga kerja sipil dan militer, yang datang secara bergiliran dalam tiga shift. Selama pelaksanaan tugasnya, para teknisi Indonesia tersebut didampingi oleh tenaga ahli bantuan teknis dari Uni Soviet,” tulis Amin Rahayu (hlm. 89).
Proyek-proyek itu hampir semuanya selesai tepat pada waktunya. Indonesia pun cukup sukses sebagai tuan rumah Asian Games ke-4 tahun 1962 itu.
Hingga kini proyek-proyek monumental itu masih dapat kita saksikan dan berfungsi. Namun, selain kebanggaan, monumen-monumen itu juga mewariskan dampak negatif.
Sejarawan Restu Gunawan menyebut pemindahan warga Senayan ke Tebet dan beberapa daerah lain sebenarnya menyalahi rencana pembangunan Jakarta. Tebet dan Kemang, misalnya, sejak zaman Belanda sudah ditetapkan sebagai daerah penggenangan banjir. Kepadatan penduduk yang terjadi setelahnya justru membikin runyam warganya kini.
“Dampaknya sejak tahun 1960-an, daerah Lembah Setiabudi (Karet), Lembah Tebet, dan Kemang selalu kebanjiran," tulis Restu. "Lembah Setiabudi terkena limpahan air dari kanal banjir dan daerah-daerah sekitarnya yang sudah terbangun sehingga air tidak bisa mengalir secara gravitasi ke kanal banjir. Sementara itu, daerah Kemang terkena banjir dari Sungai Krukut yang meluap. Warga Tebet terkena banjir dari Sungai Ciliwung."
Editor: Fahri Salam