tirto.id - Si Doel baru lulus sebagai insinyur. Dulu bapaknya punya kaul, jika anaknya jadi insinyur, ia akan datang mengunjungi bekas kampung leluhurnya. Maka, pada satu hari di tengah terik Jakarta, Doel dan keluarganya tiba di Gelora Bung Karno. Ia dan bapaknya tahu tempat itu sudah bukan milik mereka lagi. Dengan roman meringis, Doel tampak enggan masuk ke stadion.
“Guacuman mau ngajak elu biar elu tahu bahwa di sini bekas tanah leluhur elu,” ujar bapaknya.
Lalu keluarga itu masuk ke lapangan, tepat di depan gawang.
“Di sini rumah gua dulu,” lanjut bapaknya.
“Kok Abang masih inget?” tanya istrinya, ibu si Doel.
“Ya inget, dong. Orang dibrojolin di sini. Nah, di situ ada pohon gatet. Di sono, pohon duren,” ucap bapaknya penuh semangat.
Kunjungan itu harus berakhir cepat, sebab mereka duduk di area lapangan saat orang-orang berlatih sepakbola.
Kisah itu adalah salah satu adegan dalam serial televisi Si Doel Anak Sekolahan yang tayang dari 1994 sampai 2006. Babe—begitu bapak si Doel biasa dipanggil—dan kenangannya pada tanah kelahiran di Gelora Bung Karno adalah sebuah potret tentang orang Betawi yang terpaksa menyingkir dari kampung halaman karena kena gusuran proyek Asian Games IV tahun 1962.
Bersama ribuan warga Betawi lain yang tinggal di kampung Senayan, Petunduan, Bendungan Udik, dan Kebon Kalapa, ia dan keluarganya harus rela pindah ke kampung lain karena tempat tinggalnya akan dijadikan sebagai pusat kegiatan olahraga.
Bung Karno Mencari Lokasi yang Tepat
Dalam sebuah pemungutan suara untuk menentukan tuan rumah Asian Games IV yang dilakukan di Jepang pada 1 Juni 1958, Indonesia mengalahkan Pakistan. Kemenangan itu segera menghamparkan sejumlah pekerjaan rumah, salah satunya menyiapkan sebuah pusat kegiatan olahraga untuk menggelar hajat empat tahunan tersebut.
Kala itu Jakarta hanya punya Stadion Ikada di Lapangan Merdeka dan hanya mampu menampung 15.000 penonton. Itu jelas tak cukup, dan mesti segera membangun sebuah kompleks olahraga baru yang kapasitasnya jauh lebih besar.
Bung Karno dengan semangat bergelora demi pertaruhan politik bangsa itu mula-mula terpikir untuk memilih kawasan Bendungan Hilir dengan luas areal kurang lebih 300 hektare. Namun, gagasan ini kurang disetujui oleh Gubernur Jakarta Soemarno Sosroatmodjo. Alasannya, Bendungan Hilir adalah kawasan cukup padat penduduk, bikin khawatir bisa membengkakkan anggaran ganti rugi pembebasan tanah. Ia lebih memilih daerah Rawamangun yang relatif masih banyak lahan kosong.
Meski argumen Gubernur Soemarno tentang Bendungan Hilir bisa diterima, tapi Bung Karno tetap menginginkan lokasi yang letaknya dekat dengan pusat kota. Maka, alih-alih memilih Rawamangun, Bung Karno justru mengalihkan rencananya ke daerah Kampung Karet dan Pejompongan. Untuk memastikan lokasi yang akan dipilih itu, Bung karno bersama arsitek Friedrich Silaban terbang menggunakan helikopter guna melihat kawasan dari udara.
Saat helikopter di atas kawasan Dukuh Atas, Bung Karno sempat terpikir untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai tempat pusat kegiatan olahraga. Tapi, ide itu tak sejalan dengan Silaban. Menurut arsitek kelahiran Bonandolok Tapanuli itu kawasan Dukuh Atas tidak cocok karena bisa menimbulkan kemacetan lalu lintas yang parah serta rawan banjir.
“Sebagai daerah yang dibelah aliran Sungai Grogol, [kawasan Dukuh Atas] terdapat kendala lain yang terus-menerus setiap waktu dapat mengancam kelangsungan hidup stadion, yakni datangnya serangan banjir,” tulis Amin Rahayu dalam Pesta Olahraga Asia (Asian Games IV) Tahun 1962 di Jakarta: Motivasi dan Capaiannya (2012).
Helikopter lalu bergerak ke arah kawasan Senayan. Di situlah pikiran Bung Karno kembali berganti. Ia memutuskan memilih kawasan Senayan dan sekitarnya, sebuah hamparan lahan datar dan lebih luas dari kawasan Dukuh Atas.
“Pada masa Senayan ditetapkan menjadi calon lokasi pusat kegiatan olahraga, kawasan tersebut masih merupakan perkampungan, di daerah penuh rawa, kebun luas serta pepohonan besar," tulis Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno(2004).
"Bahkan tidak hanya Senayan, Jakarta juga masih belum tumbuh menjadi metropolitan, oleh karena kota tersebut masih lengang dengan penduduk belum genap tiga juta orang dan sebagian besar menetap di daerah kota lama, di wilayah sekitar muara Sungai Ciliwung,” tambah Pour.
Kampung-Kampung yang Tergusur
Dalam pelbagai catatan, kampung-kampung yang tergusur untuk pembangunan kompleks olahraga demi Asian Games 1962 adalah Senayan, Petunduan, Kebon Kalapa, dan Bendungan Hilir. Sementara, menurut Alwi Shahab dalam artikel “Saat-saat Senayan Digusur” (Republika, 24 Desember 2005), kampung-kampung tersebut adalah Senayan, Petunduan, Bendungan Udik, dan Pejompongan.
Di luar perbedaan itu, pada akhirnya, semua kampung yang digusur itu hanya disebut Senayan, dengan pertimbangan kampung tersebut yang wilayahnya paling luas dan demi kemudahan penyebutan.
“Senayan, dengan luas 270 hektare, dalam bahasa Betawi berarti senenan—jenis permainan berkuda. Nama itu diperkirakan muncul sejak Masda Inggris, Thomas Raffles (1808-1811), menjadikannya sebagai tempat warga Inggris bermain polo, mengingat warga negara itu sangat menggemari permainan berkuda,” tulis Shahab dalam Batavia Kota Banjir (2009).
Shahab menambahkan, berdasarkan peta yang diterbitkan Topographisch Bureau Batavia, pada 1902 nama kawasan Senayan masih ditulis Wangsanajan. Kata ini menurutnya dapat berarti ‘tanah tempat tinggal’ atau tanah milik seseorang bernama Wangsanaya, lalu perlahan berubah menjadi Senayan.
Sementara kampung Petunduan, yang kini menjadi lokasi Gelora Bung Karno dan sejumlah lapangan olahraga lain seperti atletik, basket, sofbol, dan hoki, dulunya menjadi tempat tinggal para petani buah-buahan, penguasa kecil, dan pedagang pikulan. Salah satu yang terkenal adalah pedagang ketupat sayur.
“Ketupat dari daerah ini terkenal kelezatannya. Dengan semur tahu dan semur kentang, dicampur sambal godok berupa pepaya muda dan petai, semua [tu] diambil dari kebun tanamannya masing-masing,” tulis Shahab.
Jika melihat kembali adegan keluarga si Doel yang saat melaksanakan kaul mendatangi Gelora Bung Karno, bisa jadi bapaknya serta leluhurnya mewakili orang-orang kampung Petunduan.
Dalam satu wawancara dengan H. Nawawi, seorang warga yang menjadi korban penggusuran dari kampung Bendungan Udik, Shahab mendapatkan informasi bahwa kawasan bekas tempat tinggal Nawawi sekarang menjadi Parkir Timur Senayan.
Nawawi, seperti dikutip Shahab, mengatakan bahwa dulu banyak penduduk Bendungan Udik yang berprofesi sebagai petani dan pengusaha batik tulis kain mori halus. Batik-batik itu dijual ke Pasar Tanah Abang dan tingkat produksinya bisa sampai ratusan kodi.
“Kehidupan masyarakat [Bendungan Udik] kala itu cukup lumayan,” pungkasnya.
Pindah ke Tebet dan Berpencar
Kampung halaman adalah tempat pertautan emosi, kenangan, dan sejarah yang membelit orang-orang dalam setapak identitasnya. Maka, kehilangan kampung halaman sejatinya mencerabut orang-orang dari akarnya, dari asal-usulnya. Hari-hari ini saat sejumlah infrastruktur nasional menggusur permukiman warga yang telah ditinggalinya sejak lahir, unjuk rasa dan bentrok kerap terjadi. Mereka mati-matian mempertahankan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah hidupnya.
Hal ini dirasakan juga oleh warga yang kampungnya tergusur untuk perhelatan Asian Games 1962. Namun, demi kepentingan bangsa dan negara yang saat itu digelorakan oleh Bung Karno, mereka akhirnya mengalah dan bersedia dipindahkan ke Tebet dengan sejumlah uang ganti rugi serta kaveling pengganti.
“Kami diberi kaveling dan uang ganti rugi untuk membangun rumah di tempat tinggal yang baru […] Kala itu korban gusuran dapat menerima uang kontan secara langsung, atau ditransfer melalui bank, yang telah siap di tempat warga berada. Kalau sekarang main gusur, dulu kagak,” ujar Nawawi kepada Alwi Shahab.
Restu Gunawan dalam Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010) mencatat bahwa warga gusuran yang dipindahkan ke Tebet itu menerima kaveling masing-masing keluarga seluas minimal 100 meter persegi dengan membayar harga maksimal 60 persen dari ganti rugi atas tanah hak milik mereka.
Namun, selama proses pemindahan itu, sempat beredar kabar miring, yaitu uang saku yang diterima setiap warga sangat sedikit, hanya Rp500. Ini buru-buru dibantah oleh pemerintah yang menyatakan kabar itu bohong.
“Bahkan tanaman pun (pemiliknya) dihitung untuk mendapatkan ganti rugi,” tegas pemerintah seperti dikutip Restu Gunawan.
Luas lahan pengganti untuk menampung warga kampung-kampung yang tergusur mencapai 500 hektare, dan berangsur dilengkapi dengan pelbagai sarana dan fasilitas umum seperti jaringan jalan, masjid, gereja, sekolah, perkantoran, dan pasar.
Sebagian besar tempat tinggal baru warga gusuran di Tebet itu masih darurat, menurut penuturan Nawawi seperti ditulis Alwi Shahab dalam “Saat-saat Senayan Digusur” (Republika, 24 Desember 2005). Jalanan belum diaspal dan dipenuhi lumpur saat hujan, hingga warga kadang harus menggunakan sepatu karet tinggi untuk melintasi jalanan itu.
“Bahkan, kadang-kadang sepeda harus digotong karena saat becek jalan tidak dapat dilalui roda dua,” ujarnya.
Waktu itu di Tebet juga masih terdapat sawah dan kebun buah-buahan seperti duku dan durian. Meski demikian, tambah Nawawi, situasi masih semrawut karena warga belum terbiasa hidup dan mencari penghidupan di tempat tinggal barunya. Ia menggambarkan hal itu dengan ungkapan: “Seperti ikan di empang, kini pindah ke akuarium”.
Selain sarana jalan yang masih buruk dan proses adaptasi yang tertatih, situasi keamanan di Tebet kurang mendukung. Sebagai warga gusuran, mereka dianggap memiliki banyak uang sehingga menjadi incaran para perampok. Situasi ini akhirnya memaksa warga berangsur pindah ke kampung-kampung lain yang dianggap lebih aman.
Editor: Fahri Salam