tirto.id - Senin, 19 Februari 1962. Masyarakat pencinta sepakbola Indonesia berdebar-debar menunggu pertandingan timnas Indonesia melawan tim All Star Vietnam Selatan di Stadion Ikada Jakarta.
Namun, sebetulnya, bukan hanya pertandingan kedua tim yang ditunggu-tunggu. Khalayak ramai juga menanti untuk mengetahui siapa saja para pemain yang mengisi skuat timnas Indonesia dalam pertandingan tersebut.
Publik sudah mendengar gonjang-ganjing suap yang dilakukan pemain timnas. Dan, kabarnya pemain-pemain itu didepak dan diseret ke pengadilan. Akses informasi di PSSI yang tertutup membuat kabar ini sebatas obrolan warung kopi.
Ketika ibu kota diguyur hujan lebat, di Stadion Ikada tengah berlangsung satu pertandingan internal antara tim junior dan tim senior. Pertandingan itu dipimpin Toni Pogačnik yang bertindak sebagai wasit.
Pertandingan latihan itu mestinya menarik perhatian orang. Tetapi, pintu Stadion Ikada ternyata tertutup rapat dan pertandingan berjalan tanpa penonton. Orang tentu semakin bertanya-tanya, apa maksudnya? Adakah hubungannya dengan desas-desus itu?
Alhasil, rasa penasaran itu terjawab ketika melihat susunan pemain yang diturunkan melawan Vietnam All Star. Mereka yang biasa muncul mengisi tim senior: Iljas, Pietje, Omo, Rukma, Sunarto, Wowo (Persib Bandung), John Simon, Manan, Rasjid Dahlan (PSM Makassar), dan Andjiek (Persebaya) dicoret oleh Toni Pogačnik. Barulah setelah susunan pemain keluar, publik sadar bahwa isu itu memang benar.
Kasus suap itu kemudian dikenal sebagai "Skandal Senayan."
'Macan Asia' jadi Macan yang Gampang Disogok
Sejarah mencatat Asian Games-lah yang membuat Indonesia pernah dijuluki "Macan Asia" pada dekade 1950-an. Asian Games memang lekat dengan sejarah sepakbola kita. Asian Games jadi turnamen besar pertama yang diikuti bangsa ini sejak resmi merdeka. Indonesia turun di Asian Games 1951 di India.
Saat itu, Asian Games hadir saat PSSI semerawut, yang baru kembali terbentuk usai masa revolusi fisik. Keberadaan klub-klub sepakbola dan kompetisi pun masih nihil. Wajar tim yang berangkat baru bergumul selama 3 minggu. Alhasil, baru sekali main, mereka langsung rontok 3-0 oleh tuan rumah India.
Kehadiran Toni Pogačnik yang didatangkan Sukarno sesudah menemui Presiden Yugoslavia, Joseph Tito, pada Januari 1954 membuat sistem sepakbola membaik. Sejak saat itulah, Indonesia mulai mengaum. Julukan "Macan Asia" disematkan koran Star Weekly atas kedigdayaan timnas yang berhasil lolos hingga babak semifinal. Selang empat tahun kemudian, ketika Asian Games digelar di Tokyo, prestasi sama juga terulang. Malah Indonesia menggondol medali perunggu.
Prestasi berentetan selama dua gelaran terakhir itulah membuat harapan jadi juara membuncah saat Jakarta didapuk jadi ruan rumah Asian Games 1962.
Untuk memenuhi asa itu, semuanya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh PSSI. Maladi, yang ketika itu menjabat ketua PSSI, kepada Majalah Aneka (edisi No. 14 tahun 1962) menyebut instruksi dari Sukarno untuk cabang olahraga sepakbola dengan jelas: Medali emas harga mati!
"Beliau berpesan seperti itu," katanya.
Dua tahun sebelum Asian Games 1962, timnas sudah diajak berkeliling Eropa Timur untuk berlaga uji coba melawan musuh tangguh, dari Timnas Yugoslavia, Uni Soviet junior, hingga klub-klub Jerman Timur.
Tapi, terbongkarnya kasus sogok tujuh bulan sebelum turnamen Asian Games menunjukkan mental kardus pemain PSSI.
Adalah Maulwi Saelan yang kali pertama membongkarnya. Mantan kiper timnas serta pengurus PSSI dan orang dekat Sukarno ini mengisahkan kembali peristiwa itu saat saya menemuinya pada 2013 di sela-sela acara Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar yang ia kelola.
Ia bercerita, pada satu malam, seorang pemain keturunan Tionghoa datang ke rumahnya. Si pemain itu mengeluhkan rekan-rekannya yang ternyata sering terlihat dekat dengan bandar judi. Sejak kedekatan itu, semangat di dalam tim berubah. Mendapat laporan demikian, Saelan mengambil langkah dengan melapor ke manajer timnas Soedirgo.
Kasus suap diusut. Dalam satu kejadian, tepergoklah seorang pemain menerima uang dari si bandar judi itu.
"Coach Toni Pogačnik marah besar. Malam itu juga dia langsung meminta pemainnya untuk dilaporkan ke polisi," kata Saelan, yang meninggal pada Oktober 2016.
Salah seorang pelaku skandal Senayan 1962 adalah Wowo Sunaryo. Ia memaparkan uang yang ditawarkan bandar judi itu "amat menggoda"; di sisi lain honor membela timnas tidaklah seberapa.
"Honor memperkuat tim Indonesia saat itu hanya cukup untuk biaya perjalanan Bandung-Jakarta. Kalau ada sisa, hanya bisa untuk membeli dua telur atau sabun. Keluarga sering ditinggalkan. Mereka juga butuh makan. Karena keadaan ekonomi, kami terpaksa melakukan itu," ujar penyerang Persib ini pada koran Pikiran Rakyat pada 2006.
Keterlibatannya dalam kasus suap bermula saat suatu sore di rumah kontrakannya di daerah Mayestik, Jakarta Selatan, muncul seorang tamu, seorang lelaki Cina, berusia sekitar 50 tahun. Pria itu memintanya untuk tak bermain serius saat uji coba melawan Yugoslavia di Lapangan Ikada.
"Seperti digoda setan, saya terperangkap. Saya terpaksa menerimanya karena kondisi keluarga," kata Wowo, dikutip secara terpisah dari Majalah Tempo edisi 14 Juli 1979.
Pengakuan sama dikatakan Rukma Sudjana pada 2014. Gelandang Persib ini jadi andalan pelatih Toni Pogačnik dan dipercayai sebagai kapten timnas. Faktor kepemimpinannya di lini tengah selalu dipuji Toni. Sialnya, Rukma tenyata terlibat dalam Skandal Senayan.
Ia bercerita bahwa para bandar yang biasanya ia temui berdagang di kawasan pecinan Mangga Dua ini selalu datang ke mes PSSI di Jalan Mendayung, Senayan, pada siang atau malam hari.
"Mereka kadang-kadang bawa buah, kadang-kadang pakaian atau barang, pemain menerimanya begitu saja karena tak tahu apa-apa. Awalnya seperti itu. Namun, setelah dekat, baru mereka tawari kami, 'Mau enggak dapat uang saku lebih?'"
"Karena sudah kagok dekat," kata Rukma, "ya, kami terima saja."
Ia mengakui pendekatan ini sudah jauh hari dilakukan sebelum Asian Games 1962. Kasus suap ini ternyata jadi tradisi laten sejak pertengahan 1950-an.
Bikin Malu Presiden Sukarno
Kebetulan masa itu judi toto gelap dilegalkan pemerintah. Rukma Sudjana mengatakan para bandar ini tak selalu meminta tim yang dimainkannya kalah. Seri atau menang pun tak apa, asal hasilnya mampu menguntungkan mereka, katanya.
"Yang penting skornya sesuai yang mereka mau," ujar Rukma. Sama seperti Wowo, Rukma juga mengeluh uang saku dari PSSI terlalu kecil, yang katanya tak lebih dari "semangkuk bakso".
Klaim itu agaknya dibesar-besarkan. Berdasarkan laporan investigasi Tempo, uang saku harian pemain PSSI saat itu Rp25 per hari atau Rp1.000 per bulan. Angka ini tentu sudah cukup besar jika dibandingkan gaji PNS eselon V, yang berkisar Rp300 per bulan.
Jika merujuk putusan PN Jakarta yang diperoleh Tempo, di situ disebutkan saat mengalah dari Yugoslavia Selection dengan skor 2-3, per pemain timnas menerima suap Rp25.000.
Uang ini, ujar Rukma, bernilai puluhan juta rupiah saat ini karena bisa dipakai untuk membeli motor dan tanah.
Laporan Majalah Aneka (edisi No. 41 Tahun XIII, 5 Djanuari 1963)—yang menyadur putusan PN Jakarta—menjelaskan bahwa pertandingan yang diatur oleh bandar judi, antara lain, saat timnas Indonesia bersua Malmoe (Swedia), Thailand, Yugoslavia Selection, dan Petrolul Tjeko Combined.
Hasilnya: timnas kita kalah 0-2 dari Malmoe; 2-3 dari Yugoslavia Selection; dan 3-4 dari Petrolul. Sedangkan saat berjumpa Thailand, timnas menang dengan skor telak 7-1.
Hal paling terluka atas terbongkarnya kasus ini adalah pelatih Toni Pogačnik. Dialah yang blusukan ke kampung-kampung menemukan talenta terbaik semacam Wowo, Omo, Andjiek, dan John Simon sepanjang 1954-1960.
Wajar saat melihat anak didiknya itu berakhir di penjara Kantor Polisi Militer di Jalan Budi Kemuliaan, Menteng, Toni menangis terisak-isak.
Adegan itu masih terekam dalam ingatan Rukma Sudjana, "Saya tidak tega sebetulnya lihat dia menangis."
"Kalau saja tidak terjadi suap-suapan, tim itu dapat mencapai standar internasional," kata Toni kepada Tempo dengan nada menyesal.
Tak hanya kehilangan 10 pemain yang sudah terbukti menerima suap, Toni pun mencoret enam pemain yang masih diduga terlibat. Kehilangan 16 pemain, alhasil timnas tampil seadanya pada Asian Games 1962. Mayoritas diisi pemain-pemain junior yang dipaksa naik level.
Upaya keras Toni menambal kekuatan timnas gagal total. Boro-boro meraih emas, lolos fase grup saja Indonesia mati angin. Di babak grup Indonesia kalah bersaing dari Malaysia dan Vietnam Selatan. Indonesia gagal lolos setelah kalah 0-3 dari Malaysia di partai terakhir.
Dari segi penyelenggaraan sebagai tuan rumah dan prestasi, kontingen Indonesia sebetulnya sukses pada Asian Games 1962. Selain dipuji atas kemegahan Stadion Gelora Bung Karno yang dibangun secara cepat, prestasi atlet Indonesia juga menduduki peringat kedua di bawah Jepang.
Di saat cabang olahraga lain seperti badminton, atletik, sepeda, tinju, berlomba mempersembahkan medali di tanah sendiri, sepakbola malah jadi aib yang berkutat dalam skandal suap, yang bikin malu Presiden Sukarno.
Editor: Fahri Salam