Menuju konten utama

Dari Uni Soviet untuk Asian Games

Moskow membantu hasrat Sukarno pada Asian Games 1962. Salah satu hasilnya yang kini dikenal Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Dari Uni Soviet untuk Asian Games
Nikita khrushchev bersama Sukarno. LIFE/John Dominis

tirto.id - Bagi kebanyakan orang yang hidup di masa Orde Baru, Uni Soviet hanya diingat sebagai negara komunis. Tak banyak orang Indonesia (mau) tahu betapa manisnya hubungan Indonesia-Uni Soviet sebelum 1965.

Ada cerita bahwa Sukarno sudah lama diundang ke Uni Soviet, tapi Sukarno beri syarat berat: Uni Soviet harus menemukan dulu makam Imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan. Uni Soviet yang komunis itu akhirnya mengakui menemukannya. Sukarno mengunjungi Moskow pada 20 Agustus 1956 hingga 12 September 1956.

Hubungan dekat dengan Moskow ini juga membantu memperlancar ambisi Sukarno membangun proyek mercusuar termasuk untuk kepentingan Asian Games 1962.

Sejak era 1950-an, Sukarno begitu bernafsu ingin jadi tuan rumah Asian Games, pesta olahraga bangsa-bangsa Asia. Tapi, karena alasan Indonesia tidak siap secara ekonomi dan tersandung faktor politik dan keamanan, ambisi itu ditolak dua kali: tahun 1951 saat Asian Games pertama di India dan tahun 1954 saat Asian Games kedua di Filipina. Alasan lain tentu saja menyangkut fasilitas yang belum memadai untuk pesta olahraga besar.

Namun, ketika Indonesia mengajukan lagi proposal kali ketiga saat ajang Asian Games ketiga di Tokyo pada 1958, proposal Indonesia diterima. Indonesia boleh senang tapi masalah besar muncul.

Indonesia harus membangun pelbagai sarana olahraga, akomodasi, transportasi, dan lain-lain. Untuk itu tentu butuh dana besar, yang membuat Indonesia harus berutang. Indonesia bisa berharap pada pinjaman Amerika Serikat—yang dibenci Sukarno; atau uang pampasan perang Jepang. Dari situlah muncul sang penyelamat: negeri komunis Uni Soviet.

“Sukarno telah melakukan manuver diplomasi yang luar biasa dengan menggunakan dukungan Komunis (PKI). Indonesia mengajukan proposal kepada Pemerintah Uni Soviet untuk meminjam dana sebesar 12,5 Juta dolar AS,” tulis Amin Rahayu dalam tesisnya, Pesta Olahraga Asia (Asian Games IV) Tahun 1962 di Jakarta: Motivasi dan Capaiannya (2012, hlm. 79).

Uang itu dimaksudkan untuk membangun sarana dan prasarana olahraga, termasuk stadion utama, kolam renang, gedung olahraga, wisma atlet, dan gedung-gedung lain. Sukarno ingin gedung-gedung itu dibangun semegah-megahnya—sebuah gelora politik mercusuar demi mengangkat “martabat bangsa” Indonesia di mata Internasional.

Gedung besar yang dibangun untuk pesta olahraga itu masih tersisa di Senayan, dan masih digunakan dalam banyak ajang olahraga. Salah satu ambisi besar Sukarno adalah rancangan unik untuk stadion utama Senayan. Sukarno mau apa yang disebut “atap temu gelang”: atap gelanggang berbentuk oval dan terhubung satu sama lain. Stadion ini berkapasitas 100.000 kursi. Untuk itu, seorang arsitek Indonesia lulusan ITB harus bekerja sama dengan para insinyur Uni Soviet.

Peresmian pemancangan tiang pertama Stadion Senayan resmi dilaksanakan pada 8 Februari 1960 oleh Sukarno. Dan, pemancangan tiang ke-100 dilakukan oleh Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev.

“Sesuatu yang juga bisa dimaklumi, oleh karena proyek pembangunan stadion tersebut memperoleh bantuan dukungan kredit lunak sebesar 12,5 Juta dolar AS yang disediakan pemerintah Uni Soviet,” tulis Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno (2004, hlm. 37).

Pembangunan stadion tak selalu mulus. Menurut Pour, sempat terjadi kebakaran di sisi selatan pada 21 Oktober 1962. Penyebabnya tak pernah dinyatakan secara pasti apakah karena sabotase, meski ada dugaan ke arah sana. Toh, meski molor, stadion dan fasilitas lain untuk Asian Games 1962 berhasil dirampungkan.

Asvi Warman Adam dalam pengantar autobiografi Maulwi Saelan: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa (2008, hlm. vi) menulis bahwa dana pembangunan stadion bukanlah murni sumbangan dari Kremlin karena setidaknya 10,5 juta dolar telah dibayar lunas dengan karet alam Indonesia dalam waktu dua tahun.

Bantuan Soviet tak hanya stadion yang kini disebut Gelora Bung Karno, tapi juga Tugu Monumen Nasional.

Ketika ide membangun Monas disampaikan ke Perdana Menteri Nikita Khruschev, orang penting Uni Soviet itu malah menyindir Sukarno, “Tuan Presiden, kalau orang sedang telanjang, maka yang harus didahulukan adalah beli celana. Jangan sedang telanjang yang didahulukan beli dasi.”

Seperti diceritakan Tomi Lebang dalam Sahabat Lama, Era Baru: 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia (2010, hlm. 16), Sukarno membalas sindiran itu, “Lha, pada waktu rakyat Soviet Uni sedang telanjang, sedang menderita, rakyat di Samar dekat Leningrad kelaperan. Kok, Soviet Uni mendirikan monumen-monumen, kok mendirikan lambang-lambang?”

Lepas dari saling kritik itu, bantuan Uni Soviet mengalir. Ibaratnya, Soviet kala itu adalah saudara tua yang berusaha memanjakan saudara mudanya yang berusaha menjadi besar.

Infografik HL Indepth Asian Games 1962

Tak Cuma Membantu Asian Games

Bantuan Soviet pada awal dekade 1960-an bukan untuk bangunan Asian Games semata. Di timur Jakarta, ada salah rumah sakit yang melibatkan Uni Soviet, namanya Rumah Sakit Persahabatan. Ada juga bantuan Moskow untuk membangun kantor pos, kantor telepon, dan bank. Bahkan ada beberapa jalan yang pembangunannya melibatkan teknisi Uni Soviet.

Untuk urusan militer, Uni Soviet pun membantu Indonesia. Bantuan senjata bikinan Uni Soviet untuk dimiliki Indonesia guna Operasi Mandala Trikora Pembebasan Irian sering disebut. Tak hanya senjata ringan untuk pasukan darat, bantuan itu berupa pesawat tempur macam MiG. Begitupun bantuan untuk Angkatan Laut.

“Ali Sadikin bahkan mengakui bantuan peralatan modern dari Soviet membawa dampak positif bagi kemajuan teknologi TNI hingga di masa depan,” ujar Lebang. Ali Sadikin berasal dari Korps Komando (KKO) alias Marinir Angkatan Laut.

Begitulah kebaikan Uni Soviet yang terlupakan di masa Orde Baru karena lekat dengan identitas “komunis”, sematan yang jadi lawan politik militernya pemerintahan Soeharto. Julukan “komunis” pula yang dipakai rezim Soeharto untuk membunuh dan memenjarakan ratusan ribu orang.

Toh, meski ada kebencian kepada komunis, semua buatan Uni Soviet nyatanya dinikmati oleh generasi Orde Baru. Memang, di masa Orde Baru, ‘saudara tua’ daripada Orde Baru-nya Indonesia bukan lagi Uni Soviet, melainkan berganti ke Amerika Serikat, penanda perubahan politik dan ekonomi dari Sukarno ke Soeharto.

Baca juga artikel terkait ASIAN GAMES 1962 atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam