Menuju konten utama

Sejarah Desain Atap Temugelang Stadion Utama Gelora Bung Karno

Bentuk atap oval di GBK tidaklah lazim pada masanya. Bung Karno menamainya "atap temugelang."

Sejarah Desain Atap Temugelang Stadion Utama Gelora Bung Karno
Pembukaan Asian Games 1962 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Repro FOTO/Majalah Mimbar Penerangan Tahun ke XIII No. 6/7, Juni/Juli 1962

tirto.id - Pembangunan besar-besaran dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia menjelang pelaksanaan Asian Games IV tahun 1962. Langkah ini dilakukan selain sebagai bentuk keseriusan Indonesia dalam menyambut pesta olahraga pertama yang diselenggarakan setelah 17 tahun merasakan aura kemerdekaan, juga untuk membungkam nada sumbang beberapa negara yang memandang remeh kesiapan Indonesia.

Sempat ada ucapan—dikutip dari Mimbar Penerangan (edisi Juni-Juli 1962, hlm. 389): “Lonceng kematian Asian Games akan berbunyi di Jakarta dalam tahun 1962."

Tak ingin malu pada perhelatan akbar yang pertama kali diselenggarakan ini, pemerintah Sukarno membangun kompleks Pusat Olahraga Senayan seluas 225 hektare, terdiri Stadion Utama, Istora, Stadion Renang, Stadion Ikada, Stadion Atletik dan Hoki, Gedung basket, dan Lapangan Voli, Lapangan Menembak, kemudian perkampungan internasional alias perkampungan atlet.

Pemerintah juga membangun gedung monumental seperti Hotel Indonesia, Press House, International Guess House, Organizing Committe Building, serta pembangunan jalan raya seperti Jakarta By Pass sepanjang 17,9 kilometer, Jalan Raya Slipi-Mampang Prapatan (menghubungkan Jakarta Barat dan Timur), dan Jalan Thamrin-Sudirman (menghubungkan Jakarta bagian Utara dengan pusat olahraga di Senayan, Jakarta Selatan). (Mimbar Penerangan, edisi Juni-Juli 1962, hlm. 393-400).

Dalam satu inspeksi ke mega proyek Asian Games IV pada 18 Juli 1961, Bung Karno menekankan kepada seluruh yang terlibat dalam pembangunan mega proyek Asian Games untuk bekerja keras demi mewujudkan keinginan menjadi negara yang besar.

“Pekerjaan ini tidak sekadar mengejar tahun 1962 saja, pekerjaan ini tidak ada habisnya. Setelah Asian Games masih ada ‘challnge’ yang baru lagi dan terus menerus kita akan menghadapi ‘challange’," ujar Sukarno (ANRI, Inventaris Arsip Pidato Presiden RI 1958-1967, nomor arsip: 318).

"Kalau kita ingin menjadi satu bangsa yang besar, maka dari itu saudara-saudara, kadang saya marah, kadang saya mengkritik, tak lain tak bukan oleh karena kita semuanya harus merasa kita ini ingin menjadi satu bangsa yang besar,” tambah Sukarno kepada para pekerja.

Pesan Bung Karno itu ditujukan kepada seluruh pekerja, tak terkecuali para pekerja dari Uni Soviet yang terlibat dalam proses pekerjaan monumental ini.

“Kepada saudara-saudara Uni Soviet yang ada di sini, saya minta untuk orang Indonesia yang ada di sini maupun orang Uni Soviet, untuk bekerja mati-matian karena apa yang kita kerjakan sekarang ini adalah mendirikan satu monumen kerja sama Indonesia-Uni Soviet. Menyelenggarakan kerja sama ini harus dilakukan sepenuh hati,” terangnya.

Pembangunan proyek monumental ini tak cuma demi kesuksesan penyelenggaraan Asian Games 1962, tapi bisa berdampak pada beragam aspek, demikian harapan Sukarno.

Dalam garis-garis besar Asian Games IV 1962, diharapkan pembangunan proyek Asian Games berpengaruh terhadap pembangunan negara, pembangunan Kota Jakarta dan olahraga, serta "di dalam kehidupan rakyat, arti Asian Games dari segi materiil lainnya, terhadap hubungan internasional, dan perspektif bidang politis." (Mimbar Penerangan, edisi Juni-Juli 1962, hlm. 385.)

Infografik HL Indepth Asian Games 1962

Atap Temugelang pada Stadion Senayan

Salah satu hal menarik dalam proyek mercusuar Sukarno adalah pembangunan Stadion Utama Senayan. Meskipun dikerjakan oleh arsitek-arsitek dari Uni Soviet, Presiden Sukarno turut berkontribusi dalam menggagas konsep atap melingkar di stadion berkapasitas kurang lebih 100.000 penonton pada saat itu.

Bung Karno memerintahkan kepada para arsitek Uni Soviet untuk membuat atap temugelang—bentuk oval menutupi seluruh tribun. Meski demikian, ide itu sempat mentah karena dianggap aneh dan tak lazim di masanya. Karena pada masa itu umumnya stadion hanya diberi atap pada satu sisi tribun.

“Ketika saya memerintahkan arsitek Soviet untuk membuat atap temugelang di main stadium ini, mereka berkata, 'Tidak bisa, Pak, tidak biasa, tidak lazim, tidak galib, kok ada stadion atapnya temugelang, di mana-mana atapnya cuma sebagian saja.'"

"Tidak! Saya katakan, temugelang,” tegasnya di sela memberi ceramah kepada para atlet Indonesia untuk Asian Games IV di halaman Istana Merdeka, Jakarta, 22 Agustus 1962. (ANRI, Inventaris Arsip Pidato Presiden RI 1958-1967, nomor arsip: 414.)

Sukarno tetap ngotot pada pendiriannya. Stadion utama harus memiliki atap temugelang. Ia menginginkan hal yang luar biasa tidak bisa biasa-biasa saja.

“Kalau tujuan praktisnya jelas, gunanya supaya semua penonton terhindar dari hujan dan teriknya matahari," ujar Sukarno. "Dil uar itu, ini demi nama Indonesia yang akan dikagumi dunia, dengan keberadaan atap temugelang yang akan memukau kepada siapa saja yang melihatnya."

Pembangunan Stadion Utama Senayan selesai tepat pada waktunya dan resmi dibuka pada 24 Agustus 1962, bertepatan dengan pembukaan Asian Games ke-4. Selain itu ia dipakai untuk upacara penutupan, demonstrasi massal (kesenian Indonesia), pertandingan sepak bola (semifinal dan final), serta pertandingan atletik.

Pesta olahraga terbesar se-Asia itu berakhir pada 4 September 1962 dan kontingen Indonesia menempati peringkat kedua di bawah Jepang.

Baca juga artikel terkait ASIAN GAMES 1962 atau tulisan lainnya dari Faishal Hilmy Maulida

tirto.id - Olahraga
Penulis: Faishal Hilmy Maulida
Editor: Fahri Salam