Menuju konten utama
5 Agustus 1962

Hotel Indonesia: Proyek Mercusuar Sukarno untuk Asian Games

Megahnya tanda.
Kemapanan bangsa di
jantung Jakarta.

Hotel Indonesia: Proyek Mercusuar Sukarno untuk Asian Games
Suasana di depan Hotel Indonesia pada 1960-an. tirto.id/Sabit

tirto.id - Semua orang tahu belaka bahwa Sukarno adalah insinyur sipil dan paham soal arsitektur. Ia mengerti teknik membangun bangunan yang kokoh. Dan seringnya ia tak mau berkompromi soal itu. Apalagi untuk proyek level nasional.

Ia juga punya kebiasaan mengecek langsung progres pengerjaan suatu proyek pembangunan. Pernah suatu kali, secara mendadak, Sukarno menginspeksi suatu proyek yang jaraknya dekat dengan istana. Para pekerja dibuat kalang-kabut oleh kedatangannya.

Begitu turun dari helikopter yang membawanya, Bung Karno lantas menuju tepi bakal sebuah kolam renang. Terlihat pengerjaannya hampir selesai. Si Bung mengambil martil dan mengetuk-ngetuk bagian pinggir bakal kolam renang itu. “Ini harus dibongkar, kurang kuat,” katanya memberi perintah.

Jadilah kolam renang yang sudah hampir selesai dibongkar total. Bahkan hal semacam itu terjadi sampai 17 kali. Sampai-sampai perlu didatangkan seorang ahli bangunan asal Singapura bernama Tong Nam untuk menyelesaikannya—sekaligus memuaskan Sukarno.

Sukarno tak mau main-main dengan proyeknya yang satu ini. Bagaimana pun juga, ini proyek skala besar untuk negeri yang baru seumur jagung. Dan lagi, ini menyangkut prestise Indonesia di mata internasional.

Apa yang sedang dibangun Sukarno sebenarnya?

Itulah Hotel Indonesia. Hotel bintang lima pertama di Indonesia.

Demi Kebanggaan Nasional

Sukarno terbukti benar. Arifin Pasaribu dalam bukunya, Hotel Indonesia (2014: 13-14), mencatat bahwa kolam renang itu tetap dalam keadaan kokoh hingga 42 tahun setelah dibangun—sebelum akhirnya dibongkar untuk perluasan hotel.

Dari pengakuan salah seorang pekerja pun diketahui Sukarno sangat perfeksionis. Bung Besar selalu meminta kayu sisa disingkirkan lebih dulu ketika ia ingin meninjau hasil akhir konstruksi. Permintaan bongkar-bongkar memang bukan hal aneh lagi bagi para pekerja.

“Segi artistik hotel pun tidak luput dari pengawasan Bung Karno. Misalnya, untuk membuat relief-relief bagian luar gedung, dipilih seniman favoritnya, seperti Gambiranom dan Hariyadi [...] Monumen Selamat Datang yang berdiri megah di depan HI pun Bung Karno yang menentukan posisinya,” tulis Arifin (hlm. 16).

Hotel Indonesia (HI) adalah tengara dari salah satu dari apa yang dikenal sebagai Proyek Mercusuar Sukarno. Itulah proyek-proyek monumental yang dibangun pada masa kematangan mentalitas Sukarno sebagai presiden cum arsitek. HI menggenapi proyek-proyek besar Sukarno di masa Demokrasi Terpimpin: Kompleks olahraga Senayan, jalan layang Semanggi, Masjid Istiqlal, Monumen Nasional, dan pusat perbelanjaan Sarinah.

Menurut Yuke Ardhiati dalam Bung Karno Sang Arsitek (2005: 177), itulah saat jiwa Sukarno yang "selalu ingin membangun" tumbuh. Sekaligus perwujudan keinginannya untuk menunjukkan national pride di mata dunia internasional.

Tapi, lantaran kebijakannya yang terkesan hanya menghamburkan uang negara itu, ia menuai banyak kritik. Meski begitu, toh Sukarno jalan terus. Ia tahu benar bahwa prioritas kala itu adalah memberantas kemiskinan rakyatnya. Namun, kebanggaan nasional juga penting.

“Manusia tidak hanya hidup untuk makan. Meski gang-gang di Jakarta penuh lumpur dan jalanan masih kurang, aku memutuskan membangun gedung-gedung bertingkat, jembatan berbentuk daun semanggi, dan sebuah jalan raya 'superhighway', Jakarta Bypass,” katanya sebagaimana dikutip Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014: 354)

Terlebih lagi, kala itu Indonesia hendak menjadi tuan rumah Asian Games ke-4. Pesta olahraga terakbar se-Asia tersebut tentu menjadi sorotan negeri-negeri tetangga. Dan Saatnya pula Indonesia memajukan infrastruktur pariwisata.

Dibiayai Pampasan Perang Jepang

HI mulai dibangun pada 1959. Saat itu Indonesia baru saja menyelesaikan perjanjian pampasan perang dengan Jepang. Pada 1958, Indonesia dan Jepang menyepakati bahwa pampasan perang akan digunakan untuk beberapa proyek pembangunan.

Arifin Pasaribu menjelaskan, detil kesepakatan itu berupa enam proyek pembangunan transportasi, komunikasi, industri, pertanian, perikanan, hingga pertambangan. Masuk juga dalam perjanjian pampasan perang itu soal pembiayaan pembangunan hotel dan toko-toko besar (hlm. 49).

HI, meski yang terbesar, bukanlah satu-satunya hotel yang dibangun dengan uang pampasan perang dari Jepang. Hotel lain yang masuk dalam program Sukarno di antaranya Samudra Beach Hotel di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat; Hotel Ambarrukmo Palace di Yogyakarta; dan Hotel Bali Beach di Bali.

“Terkait pembangunan keempat hotel tersebut dan secara langsung mempersiapkan sumber daya manusia, sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah Jepang dan Indonesia, 42 orang angkatan muda Indonesia dikirim untuk menjalani on the job training selama 6 bulan di Hotel Okura, Tokyo. Setelah selesai menyelesaikan tugas tersebut, ke-42 tenaga muda ini kembali ke Indonesia dan langsung ditempatkan di hotel-hotel ini yang mulai beroperasi tahun 1966,” tulis Arifin dalam bukunya (hlm. 51).

Secara khusus Bung Karno menunjuk pasangan arsitek Abel dan Windy Sorensen untuk merancang HI. Keduanya dipilih, menurut keterangan Yuke Ardhiati, karena Sukarno terkesan oleh bangunan Gedung Pusat PBB di New York yang mereka rancang (hlm. 234).

Lokasi yang kemudian dipilih adalah di selatan Istana Merdeka, di jalan yang mengarah langsung ke kompleks olahraga Senayan dan kota satelit Kebayoran. Pertimbangan lain adalah lokasi yang dekat dengan kawasan elite Menteng. Lokasi HI dulunya adalah kebun sayur dan rawa-rawa.

“Pada tahun 50-an lokasi itu masih rawa-rawa bercampur gubuk-gubuk liar. Untuk mendirikan bangunan yang kokoh, tanah seluas 10 acre (4.646 hektare) terlebih dulu diuruk dengan pasir setinggi satu meter di atas permukaan laut yang memakan waktu lama,” tulis Arifin Pasaribu (hlm. 14).

infografik mozaik hotel indonesia

Wajah Indonesia

Sukarno secara intens ikut menentukan rancangan interior HI. Gagasannya ialah bahwa HI akan menjadi semacam etalase kultural Indonesia. Karenanya ia dengan teliti memilih nama dan karya-karya seni yang akan dipajang di hotel itu.

Kedua gedung hotel dinamai Ganesha dan Ramayana. Sebuah coffeeshop dinamai Java Room untuk mengingatkan pada kopi Jawa. Juga sebuah hall berkapasitas 1000 orang dinamai Bali Room oleh Sukarno.

Sebuah dining room di sana diberi nama Ramayana Room dengan dekorasi mural yang kolosal pada dindingnya. Mural itu garapan seniman G. Sidharta dari Yogyakarta. Selain itu di ruang-ruang lain juga dihiasi karya-karya perupa terkenal Indonesia seperti Sulistyo, Yantimingkid, Soerono, hingga Lee Man Fong.

Sukarno jelas memandang HI bukan untuk kepentingan penyambutan tamu Asian Games semata, tetapi lebih jauh dari itu.

“Selain berperan sebagai pelopor dunia perhotelan di Indonesia, hotel tersebut juga merintis pembentukan art & culture sebagai sesuatu hal yang di luar kebiasaan [...] Dalam pidato pembukaannya, Soekarno menyebut Hotel Indonesia sebagai membuka ‘Wajah Muka Indonesia’,” tulis Yuke Ardhiati (hlm. 236-237).

HI akhirnya selesai tiga minggu sebelum pelaksanaan Asian Games. Peresmiannya oleh Sukarno dilakukan pada 5 Agustus 1962, tepat hari ini 56 tahun lalu. Acara itu dimeriahkan dengan penampilan tarian tradisional dari berbagai daerah Indonesia. Parade itu lantas ditutup dengan lagu “Rayuan Pulau Kelapa” yang dinyanyikan Norma Sanger. Setelahnya, Bung Karno naik panggung dan memberikan pidato sambutan.

Kepada para hadirin yang diundang dalam pesta pembukaan itu dibagikan sebuah buku acara berjudul “Hotel Indonesia: A Nation’s Pride”. Seperti dikutip Arifin Pasaribu, isi buku itu adalah sebuah perkenalan yang penuh dengan kalimat kebanggaan (hlm. 19).

“HI terletak antara Jakarta lama dan Kebayoran. Dari gedung Ramayana Wing yang tingginya 52 meter ini, Jakarta terbentang di kaki Anda. Di sebelah selatan tampak stadion utama tempat Asian Games ke-4 diselenggarakan, berlatar belakang Gunung Salak. Di bawah Anda tampak Jalan Jenderal Sudirman dan jalan utama yang menghubungkan Kebayoran dan Jakarta lama. Hotel ini terbesar di Indonesia, mempunyai 436 kamar, kamar single dan twin bed, AC, kamar mandi lengkap dengan air dingin dan panas, dan telepon di setiap kamar yang dihubungkan dengan lima saluran. Di antara kamar-kamar ini ada dua suite mewah, masing-masing terdiri atas lima kamar (Suite 650 dan 750) di Ganesha Wing.”

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan