tirto.id - "Di Persija, saya tidak mau beli saham. Karena saya tidak mau mengkhianati orang-orang bola."
Ucapan ini dilontarkan Direktur Persija Jakarta, Gede Widiade, dalam acara diskusi di Bukalapak, pada akhir Januari lalu.
Masalahnya, pernyataan Gede bertolak belakang dari pemberitaan media massa. Seringkali, setelah menjadi Direktur Utama Persija sejak 2017, Gede dicap sebagai pemodal utama pada tim berjuluk Macan Kemayoran itu.
Tudingan itu dikuatkan dengan transformasi branding Persija menjadi PersijaGW. Salah satu produknya adalah Persija GW TV. Singkatan "GW" dianggap merujuk inisial Gede Widiade. Tanpa kekuatan uang dari Gede, rebranding ini mustahil terjadi.
Namun, dalam acara di Bukalapak, Gede berulangkali mengungkapkan statusnya di Persija hanya sebagai "profesional". Ia mengaku hanya ditunjuk investor untuk mengelola Persija, bukan pemilik saham.
Gede tidak berbohong. Ia memang tak punya saham sepeser pun di PT Persija Jaya Jakarta—perusahaan yang menaungi Persija. Untuk membuktikan ucapannya, kita bisa membedah akta perusahaan PT Persija Jaya Jakarta serta akta perubahan di dalamnya.
Kebohongan Manajemen Persija Sebulan Sebelum Gede Masuk
Sebulan sebelum Gede diperkenalkan ke publik, komposisi saham Persija sudah berubah. Era Ferry Paulus, yang mendominasi Persija sejak 27 Oktober 2014, telah berakhir pada 7 Februari 2017. Ferry sudah bukan pemilik mayoritas saham Persija.
Dalam akta perubahan tertanggal 7 Februari 2017, saham Ferry berkurang drastis dari 80 persen menjadi 30 persen. Pada akta ini, nama Gede belum muncul. Status direktur utama perusahaan masih dipegang oleh Asher Imaret Siregar, tangan kanan Ferry.
Awal Maret 2017 manajemen Persija mulai mengembuskan peralihan saham kepada media. Dikutip dari Goal, Ferry mengatakan ingin melepas saham Persija. Muncul empat kandidat yang akan mengakuisisi itu, di antaranya Gede Widiade.
Pada 14 Maret 2017, Gede resmi diperkenalkan sebagai Direktur Utama Persija. Saat menggelar konferensi pers, Ferry berkata bahwa Gede datang membawa uang Rp30 miliar—katanya uang ini untuk menutupi utang Persija.
Kedatangan Gede membawa restrukturisasi besar-besaran pada Persija. Selang dua hari usai pernyataan pers, ada perubahan susunan direksi dan komposisi saham di PT Persija Jaya Jakarta.
Selain nama Gede, muncul nama Kokoh Afiat, Andy Soebjakto Molanggato, Budiman A. Dalimunte, dan Reva Dedi Utama. Mereka duduk sebagai komisaris. Kehadiran mereka mendepak orang-orang Ferry seperti Asher Imaret Siregar, Gilbert Nahumury, dan Nurbowo Pribadi.
Ferry Paulus Memberi Separuh Saham Persija Kepada Anaknya
Saat memperkenalkan Gede, Ferry mengaku masih memegang kendali saham mayoritas. Klaim ini bertolak belakang dengan data yang sebenarnya. Alih-alih pemilik mayoritas, posisi Ferry semakin minoritas. Kepemilikan Ferry berkurang setengahnya, dari semula 30 persen menjadi 15 persen.
Dalam akta terakhir, nama Ferry Paulus sudah tak lagi muncul pada akta PT Persija Jakarta Raya. Meski begitu, angka 15 persen itu berubah lewat perusahaan bernama PT Persija Jakarta Hebat. Di perusahaan inilah nama Ferry muncul.
Temuan lain mengungkapkan bahwa Ferry Paulus memberikan 50 persen saham perusahaan kepada anaknya yang masih berusia 23 tahun, Feraldo Axel Paulus.
Boleh dibilang, untuk membagi saham Persija kepada sang anak, Ferry membentuk PT Persija Jakarta Hebat terlebih dulu. Ketua Umum Jakmania, Ferry Indra Sjarief, mengaku secara legal bahwa hal ini "tak bermasalah", tetapi secara etis, itu tak boleh terjadi.
"Ini klub bola besar, masak dibagi dengan keluarganya sendiri?" kata Indra Sjarief.
Terkait hal ini Ferry Paulus menjawab bahwa ia memang sengaja mengajak anaknya bergabung mengelola Persija. "Anak saya emang gila bola juga, saya pengin Persija ke depan ya ada warna barulah, betul-betul punya visi ke depan. Apalagi anak saya sekarang sekolah di Liverpool," ucapnya.
Feraldo Axel saat ini memang menempuh pendidikan master jurusan manajemen olahraga di Universitas Liverpool. "Tahun depan dia akan balik, dia punya visi ke depan untuk sepakbola yang dinamikanya seperti sekarang," ucap ayahnya.
Investor Baru Menggerus Saham Yayasan
Tak hanya mengurangi saham Ferry Paulus, investor baru juga menyusutkan kepemilikan saham Yayasan Persija Muda, memotongnya dari 20 persen dan kini tinggal menyisakan 5 persen saja. (Lihat rinciannya pada infografik).
Pengurangan saham Yayasan Persija Muda menjadi hal ironis. Persija adalah contoh ideal peralihan klub perserikatan ke perseroan.
Di saat Persib Bandung, PSMS Medan atau PSM Makassar memberangus bond-bond yang dulu jadi penyangga klub dengan tak menyertakan mereka dalam pengelolaan klub yang kini berbentuk perseroan, Persija malah memberikan saham "gratis" 20 persen kepada bond-bond itu lewat Yayasan Persija Muda.
Yayasan ini menaungi 30 bond-bond anggota Persija pada era perserikatan. Namun, usai kedatangan investor baru, saham Yayasan tergerus.
"Meski sedikit dan saham kami cenderung delusional, kami diberi kekuatan veto dalam beberapa kebijakan. Di antaranya kami akan menentang keras jika Persija dibawa keluar dari Jakarta, berganti logo atau nama," ucap Budiman Dalimunte kepada Tirto, awal Februari lalu. Budiman kini duduk sebagai komisaris di PT Persija Jaya Jakarta, mewakili Yayasan.
Tergerusnya saham Ferry Paulus dan Yayasan otomatis membuat investor baru menguasai 80 persen Persija. Pertanyaannya: siapa pemilik baru Persija?
Joko Driyono Menyaru di PT Jakarta Indonesia Hebat
Jika menilik akta PT Persija Jaya Jakarta, tak ada nama personal muncul. Penguasa mayoritas saham itu dikamuflase lewat perusahaan lain: PT Jakarta Indonesia Hebat (PT JIH).
Dalam sepakbola profesional yang mengedepankan transparansi, fans mestinya diberi informasi siapa sebetulnya pemilik klub kecintaan mereka.
Ketua Jakmania, Ferry Indra Sjarief, mengaku tak tahu sama sekali detail pemilik Persija saat ini. "Gue enggak tahu, gue orang luar, masak tahu masalah dalam internal? Gue sebetulnya bisa dapat akses untuk tahu. Tapi kayaknya terlalu kepo deh," katanya saat dijumpai reporter Tirto di kawasan Pondok Indah, 19 Februari lalu.
Tapi saat disodorkan dokumen bahwa nama Gede tak muncul, Indra Sjarief memperlihatkan ekspresi kaget. Agaknya ia tahu apa yang terjadi dalam internal Persija. Buktinya saat diminta menebak siapa di balik PT JIH, terkaannya tepat.
"Di belakang Gede? Gue belum tahu. Namun, karena Persija itu kepentingan nasional, dan kalau Persija bangkrut akan merembet ke tim lain-lain ... prediksi gue di belakang Gede, kemungkinan besar PSSI," ujarnya.
"Bayangan gue, ya, Haruna, Iwan Budianto atau Joko Driyono," lanjutnya.
Jawaban terakhir Ferry sangat tepat: Joko Driyono.
Saat kita mengiris akta perusahaan PT JIH, muncul tiga nama: Joko Driyono, Kokoh Afiat, dan Tigorshalom Boboy. Ketiga orang ini adalah komponen penting pada pengurusan PSSI sebelumnya.
Ketiganya jadi pejabat di PT Liga Indonesia, operator penyelenggara liga. Kala itu Jokdri—sapaan akrab Joko Driyono dari akronim namanya—sebagai CEO, Tigor sebagai sekretaris, dan Kokoh menjabat direktur keuangan PT Liga Indonesia.
Rezim berganti, hanya Tigor yang masih bertahan di PT Liga. Saat ini ia menjabat Direktur Operasional PT Liga Indonesia Bersatu, legal baru yang jadi operator kompetisi. Dalam akta PT JIH, Tigor disebut sebagai direktur. Namun, ia tak memiliki saham.
"Saya hanya diajak," ujarnya.
Saham PT JIH hanya dibagi pada dua orang: Kokoh Afiat dan Joko Driyono. Namun, pembagian keduanya timpang: 95 persen untuk Jokdri, 5 persen untuk Kokoh.
Dengan penguasaan 95 persen di PT JIH, dan PT JIH menguasai 80 persen saham Persija, maka secara legal pemilik Persija sebenarnya adalah Jokdri.
Saya menemui Gede Widiade di Pondok Indah Golf Course pada 19 Februari 2018. "Secara yuridis saya memang enggak punya saham di Persija, saya kerja profesional," katanya.
Saat disodorkan akta perusahaan PT JIH, sambil membolak-balik dokumen, Gede berucap, "Iya betul yang ini," katanya.
"Tanya ke Jokdri dan Pak Kokoh saja, jangan ke aku. Kalau aku yang bilang, nanti serba salah," lanjut Gede.
Kami menemui Jokdri pada 21 Februari 2018 di Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga. Ia membenarkan bahwa secara legal pemilik Persija memanglah dirinya, "Secara legal saya dan Pak Kokoh memang enggak bisa sembunyi."
Pria kelahiran Ngawi ini menyebut kehadirannya di Persija hanya jembatan untuk target lebih besar, yakni bisa menjual saham perdana Persija ke publik dengan mekanisme penawaran umum perdana alias IPO.
"Kami mencanangkan program besar mentransformasi kepemilikan Persija dari centralized ownership menjadi collective ownership - seperti (model) konsorsium. PT JIH itu untuk mengantarkan proses tersebut," ujar Jokdri.
Ia berbicara soal peran Gede Widiade di Persija. Meski sebagai pemilik saham terbesar, Jokdri mengklaim selama ini pembiayaan operasional Persija hanya mengandalkan sponsorship dan pembiayaan dari Gede. "JIH itu kecil. Persija hidup dengan Pak Gede yang komitmen kepada manajemen untuk membiayai itu," lanjutnya.
Problemnya: posisi Gede di Persija sebagai pegawai, bukan pemilik. Lagi pula, untuk apa dia jorjoran mengeluarkan uang kepada klub yang bukan miliknya? Jokdri mengungkap uang dari Gede selama ini bersifat utang.
"Uang yang dia keluarkan itu treatment-nya loan (pinjaman). Setiap pengeluaran Pak Gede itu loan pada buku keuangan Persija," kata Jokdri.
Di tempat terpisah, Gede berulangkali menegaskan di Persija ia bekerja secara "profesional" atas permintaan investor. Ia membantah omongan Jokdri dan menegaskan segala sesuatu didapat dari bantuan investor. Dan pemilik modal itulah yang, kata Gede, menggerakkan langkah Jokdri.
Ketika saya mendesaknya menyebut nama soal "pemiliik modal" ini, Gede cuma menjawabnya: "Ya dari orang yang punya duit. Orang yang sangat cinta sepakbola Indonesia."
Masih ada pertanyaan penting yang tersisa: lalu siapa orang di balik Jokdri (dan Gede Widiade)? Uang siapa yang mereka pakai?
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam