tirto.id - Jika diminta memilih klub peserta Liga 1 mana yang paling sehat secara finansial, nama yang muncul di peringkat atas adalah Bhayangkara FC.
Pada saat para pemilik klub lain berdarah-darah dan merogoh kocek pribadi agar operasional klub bisa jalan, pemilik klub Bhayangkara tidak perlu mengeluarkan modal sepeser pun.
Dalam perusahaan klub sepakbola, pemilik saham terbesar biasanya jadi pemodal terbesar di awal musim agar klub bisa bertarung di kompetisi, misalnya seperti konsorsium Glenn Sugita pada Persib, kelompok Pieter Tanuri pada Bali United, atau kekuatan Bosowa dan Kalla Grup pada PSM Makassar. Namun, pada Bhayangkara FC, hal itu tak terjadi.
Apa yang bisa diharapkan dari koperasi karyawan yang jumlah anggotanya hanya 600 orang? Nyaris mustahil koperasi macam itu bisa mengumpulkan modal untuk klub sepakbola seperti Bhayangkara FC yang diisi pemain terkenal dengan gaji dan operasional mencapai Rp20 miliar per tahun.
Peralihan dari Polda Jatim ke Mabes Polri
Pemilik Bhayangkara FC saat ini adalah Koperasi Zebra Jaya, yang menaungi pegawai dan eks-karyawan Korps Lalu Lintas Mabes Polri. Koperasi ini beralamat di Jalan Letjen M.T. Haryono Kaveling 37-38, satu alamat dengan Korlantas Polri.
"Koperasi Zebra Jaya memang tidak ada dalam struktur Korlantas. Kami hanya bisnis. Korlantas institusinya. Semua anggota Korlantas adalah anggota koperasi. Dari yang paling tinggi sampai paling rendah," ujar Purnawirawan Kombes (Pol) Agus Rumekso Carel kepada Tirto pada peluncuran Bhayangkara FC di Hotel Borobudur, 23 Februari lalu.
Koperasi ini menguasai 90 persen saham sebesar Rp900 juta di PT Mitra Muda Inti Berlian (MMIB), perusahaan legal Bhayangkara FC. Kepemilikan dominan Koperasi Zebra Jaya di PT MMIB baru terjadi musim ini. Saat kompetisi Liga 1 musim lalu, Bhayangkara FC masih di bawah penguasaan Koperasi Primkopol Zebra Jaya Mandiri Ditlantas milik Polda Jatim di Surabaya.
Kala itu koperasi milik Polda Jatim menguasai 54,9 persen saham, dan Koperasi Zebra Jaya hanya 35,1 persen saham. Formasi ini tertuang dalam akta perusahaan pada 4 Agustus 2016. Namun, setelah klub berjuluk The Guardian ini juara, komposisi saham berubah pada 23 November 2017: nama Polda Jatim terdepak.
Agus Rumekso Carel saat ini menjabat Ketua Koperasi Zebra Jaya. Jabatan ini membuatnya diberi peran sebagai Direktur Utama PT MMIB.
Soal peralihan saham dari Koperasi Primkopol Polda Jatim ke Korlantas Mabes Polri, ia berkata semuanya berjalan “sesuai prosedur” dan tidak ada instruksi penyerahan paksa dari daerah ke Jakarta.
"Transaksi sesuai mekanisme. Alasan kami ambil karena secara home sudah di sini (mes Bhayangkara FC terletak di Melawai, Jakarta Selatan) dan kami sudah mampu, akhirnya kami ambil alih," dalih Agus.
Lantas bagaimana koperasi Korlantas Mabes Polri bisa membiayai klub Bhayangkara FC?
Sebagai pemilik saham terbesar, Agus menjawab koperasi yang ia kelola memang tak pernah mengeluarkan biaya sepeser pun untuk operasional klub.
"Kami ada sponsor. Kalau enggak ada sponsor, ya enggak kuat. Sponsor itu mitra kami, harus pintar-pintar bersahabat saja," katanya.
Ketika ditanya berapa persen bantuan sponsor untuk memenuhi kebutuhan tim, Agung menjawab singkat: "Hampir semuanya".
Bhayangkara FC mendapatkan sorotan lain sebab membawa embel-embel nama Polri yang berpotensi membantu mereka melalui kompetisi. Tapi Agus menampik. "Enggak juga, lah. Kami profesional. Ada benefit promosi yang mereka rasakan. Saling simbiosis," kata Agus.
Musim lalu, Bhayangkara FC mendapat sponsor dari Bank BNI senilai Rp10 miliar. Angka ini boleh dikata cukup besar karena hanya dikeluarkan oleh satu sponsor dengan durasi setahun saja.
Kejadian di Bhayangkara jadi satu hal langka dalam persepakbolaan Indonesia. Jika dikomparasikan dengan klub lain, sekelas Go-Jek saja membayar Rp1,5 miliar agar bisa muncul di jersey Persija. Atau Arema FC yang harus bersusah payah mengkolektifkan Torabika, Corsa, dan Ijen Suites agar terkumpul Rp7 miliar. Relasi BNI dan Bhayangkara FC adalah hubungan saling menguntungkan—atau “simbiosis” dalam istilah Agus. Di luar urusan bola, Bank BNI dikenal mitra terdekat Mabes Polri.
Beberapa kerja sama dua lembaga milik negara ini adalah penerbitan dan pengelolaan Kartu Debit, Kartu Kredit, maupun Tapcash BNI-Polri Promoter. Selain itu, BNI mengelola pembayaran secara elektronik (e-Samsat), dan Penyaluran Dana Tunjangan Kinerja (Tunkin) keluarga besar Polri.
Titik puncak relasi ini terjadi pada 20 Desember 2017 saat Kakorlantas Mabes Polri, Irjen Royke Lumowa—juga CEO Bhayangkara FC—menunjuk BNI sebagai mitra resmi untuk mengelola dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan layanan pembayaran berbagai dokumen terkait kendaraan bermotor.
Hubungan antara Bhayangkara FC dan sponsor dari BUMN juga dicontohkan lewat asuransi Jasa Raharja pada musim ini. Ini tak terlepas dari peran Agus Rumekso Carel. Sebelum pensiun tahun lalu, Agus adalah Kepala Bidang Manajemen Operasional dan Rekayasa Lalu Lintas, yang pekerjaannya berhubungan dengan Jasa Raharja—keduanya bergerak di bidang keselamatan berkendaraan. Agus enggan menjawab saat disodorkan temuan ini.
Ketertarikan polisi dan sponsor yang rata-rata dari BUMN memang sudah diplot sedemikian rupa dari Istana. "Memang Polri untuk kelola sepakbola sudah ada mandat dari Pak Jokowi. Dan sponsor kebetulan percaya kepada kami," kata Agus.
Ucapan Agus senada dengan Gede Widiade, mantan pemilik Bhayangkara FC tapi kemudian menjualnya ke polisi. "Karena seperti imbauan dari presiden, instansi pemerintahan lewat induk organisasinya membantu perkembangan sepakbola nasional," ucap Gede.
Gede Widiade Masih Menyelip di Bhayangkara FC
Saat Gede Widiade masuk dalam manajemen Persija Jakarta musim lalu, namanya masih muncul sebagai pemilik 10 persen saham di Bhayangkara FC. Gede juga menjabat komisaris di klub Polri tersebut.
Artinya, musim lalu, Gede rangkap jabatan: punya posisi teras di Bhayangkara FC, dan sebagai Direktur PT Persija Jaya Jakarta yang menaungi Persija Jakarta (di Persija, Gede tak memiliki saham.)
Namun, kejadian musim lalu tak akan muncul musim ini. Dalam akta perusahaan terbaru PT Mitra Muda Inti Berlian (MMIB), nama Gede Widiade sudah hilang. Sepuluh persen saham Gede diberikan kepada Melia Suteja (dulu menjabat Direktur Utama PT MMIB).
Meski sudah berubaha postur kepemilikan saham, Gede disinyalir masih mengelola perusahaan yang menjalankan Bhayangkara FC. Melia adalah sekretaris Gede. Ketika kami mengkonfirmasi ini kepada Gede, ia membantah masih menanam orang di PT MMIB.
“Enggak ada. Melia itu membeli saham saya. Dia itu sudah dua tahun enggak kerja sama saya," katanya kepada Tirto, 19 Februari lalu.
Klaim Gede sudah dua tahun memutus kerja dengan Melia tidaklah logis sebab, beberapa bulan lalu, mereka masih mengurusi Bhayangkara FC.
Ucapan Gede bertolak belakang dari temuan kami di lapangan. Melia saat ini masih bekerja dengan Gede. Sehari-hari ia masih bekerja di kantor milik Gede di kawasan Kemayoran dan Duren Tiga, Jakarta. Hal ini dikatakan orang-orang di sekitar kantor saat disodorkan foto Melia.
Yeyen Tumena, petinggi Bhayangkara FC sejak 2016, membenarkan Melia adalah anak buah Gede Widiade dan sering terlihat di kantor Gede.
"Melia Suteja hanya sebagai orang profesionalnya," kata Yeyen, yang kini menjabat komisaris PT MMIB. Yeyan menambahkan bahwa Melia masih sering terlihat bersama Gede di Duren Tiga.
Saat merilis tim Bhayangkara FC di Hotel Borobudur, Melia tak terlihat. Pemain senior Bhayangkara FC, Firman Utina, menyebut Melia jarang terlihat. "Tapi dia masih mengurusi tim,” ujar Firman.
Selain Gede, nama lain yang berganti adalah mantan Danjen Kopassus Mayjen TNI (Purn) Soenarko G.A.
Tahun lalu, Soenarko menduduki Komisaris Utama PT Mitra Muda Intan Berlian. Sekarang, dalam akta perusahaan terbaru, namanya hilang. Soenarko datang saat peluncuran Bhayangkara FC. Tapi ia enggan menanggapi permintaan saya untuk wawancara.
Yeyen menyebut bahwa Soenarko masuk ke PT MMIB diajak oleh Gede Widiade. "Beliau orangnya Pak Gede. Karena sekarang mayoritas dikuasai Polri, jadi ya TNI harus mundur. TNI dan Polri, kan, ada masing-masing," ucap Yeyen, merujuk klub yang dimiliki tentara: PS TNI.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam