Menuju konten utama
2 April 2008

Yang Fana adalah PSSI, Endang Witarsa Abadi

Usang medali.
Maestro abadi yang
dilupakan PSSI.

Yang Fana adalah PSSI, Endang Witarsa Abadi
Ilustrasi Endang Witarsa. tirto.id/Gery

tirto.id - Lapangan Petak Sinkian di Jalan Mangga Besar V, Jakarta Barat, menjadi tempat hiburan Endang Witarsa dan para karyawan kantoran yang menonton latihan sepakbola. Meski sudah tua dan kerap sakit-sakitan, Endang tak pernah lelah untuk datang dan melatih para pemain klub UMS (Union Makes Strength).

Dari tribun penonton, para karyawan kantoran sering tertawa melihat gaya Endang melatih. Sosok gaek itu tak segan berkata “goblok” kepada para pemain yang ia anggap salah. Kadang mereka memberi masukan kepada Endang, misalnya dengan memberi tahu jika ada pemain yang posisi bermainnya salah.

Pelatih tua itu lalu melihat pemain yang dimaksud, dan meniup peluit agar pemain tersebut menoleh, kemudian menghamburlah bentak, “Ngapain kamu jaga di situ, di sana, goblok!”

Penonton lalu tertawa berbahak-bahak sambil berkata, “Mampus lu!”

Kisah tersebut ditulis H. Isyanto dalam Drg. Endang Witarsa (Liem Soen Joe): Dokter Bola Indonesia (2010).

Waktu menggerus ingatan, kala menebas generasi yang terus berganti. Bagi anak muda hari ini, nama Endang Witarsa barangkali akan terdengar asing, dan hanya menyisakan terkaan sederhana yang keliru bahwa nama tersebut terdengar sangat Sunda.

Sebelum prestasi sepakbola nasional kerontang seperti hari-hari ini, Endang Witarsa pernah menorehkan namanya sebagai penyumbang gelar terbanyak bagi Timnas Indonesia. Sampai sekarang, belum ada yang bisa menandinginya.

Sepakbola dan Dokter Gigi

Endang lahir di Kebumen pada 12 Oktober 1916 dengan nama Liem Soen Joe. Ia anak bungsu dari sembilan bersaudara. Orang tuanya memiliki toko kelontong. Karena sang ibu sibuk mengurus toko dan pekerjaan rumah lainnya, Endang kecil diberi bola karet agar bocah tersebut asyik main sendiri.

Sejak kecil ia sudah menyukai sepakbola. Kakak laki-lakinya sering mengajak Endang menonton latihan atau pertandingan sepakbola di alun-alun Kebumen. Kakaknya itulah yang mula-mula mengajarinya menendang bola. Usia enam tahun, ia sudah pandai menggiring bola. Dengan anak-anak yang usianya lebih tua, ia mulai ikut bermain sepakbola.

Sebagai anak bungsu, Endang mendapat banyak perhatian dari kakak-kakaknya, termasuk sering dikasih uang. Karena hal tersebut, kawan-kawan Endang kerap mengandalkannya untuk menjajani mereka setelah bermain sepakbola.

Es-e rika inyong borong nek inyong wis rampung bal-balan. Pokoke, rika aja kuatir (Es kamu nanti saya borong tapi setelah kami selesai bermain sepakbola. Pokoknya, kamu tidak usah khawatir)” ujar Endang kepada seorang penjual es yang hendak pulang (hlm. 14)

Kecintaan Endang kepada sepakbola berkali-kali ia perlihatkan dengan menempuh jarak puluhan sampai ratusan kilometer dengan bersepeda demi menyaksikan pertandingan. Ia akan mengajak kawan-kawannya pergi ke Purwokerto, Purworejo, Gombong, Yogyakarta, dan Kutoarjo jika di kota-kota tersebut ada pertandingan sepakbola.

Endang bahkan pernah menggenjot sepeda dari Kebumen ke Semarang demi menyaksikan pertandingan klub Union Semarang melawan sebuah klub dari Cina.

“Kami menempuh jarak lebih dari 200 kilometer. Karena lelah, saya sempat menginap di sebuah hotel kecil Magelang. Satu kamar diisi beramai-ramai. Kami membayar secara patungan,” katanya seperti dikutip H. Isyanto (hlm. 16).

Setelah tamat dari MULO (setingkat SMP) dan AMS B (setingkat SMA), ia melanjutkan kuliah ke Fakultas Kedokteran Gigi Stovit Surabaya, yang sekarang menjadi Universitas Airlangga. Selama kuliah, ia tinggal di rumah seorang Belanda yang terkesan dengan kemampuannya dalam mengolah si kulit bundar.

Orang Belanda tersebut adalah ketua perkumpulan sepakbola HBS. Endang diizinkan tinggal dirumahnya dengan syarat harus memperkuat HBS dalam setiap pertandingan. Hal ini sempat membuat marah orang-orang Tionghoa yang tergabung dalam perkumpulan sepakbola Tionghoa Surabaya.

Tawaran Tionghoa FC agar Endang bermain di klub tersebut ditolaknya, dengan alasan bahwa ia tinggal di rumah ketua perkumpulan sepakbola HBS. Sikapnya ini kerap mengakibatkan ejekan dan disebut sebagai pengkhianat oleh orang-orang Tionghoa yang tergabung dalam perkumpulan sepakbola tersebut.

Saat Piala Jules Rimet (Piala Dunia) III digelar pada tahun 1938, Hindia Belanda lolos menggantikan Jepang dan Korea yang mengundurkan diri. NIVU atau organisasi sepakbola bentukan Belanda memanggilnya untuk bergabung dengan timnas Hindia Belanda, tapi ia menolak.

“Maaf, saya tidak bisa. Saya harus selesai kuliah tepat waktu. Saya bukan anak orang kaya. Saya tidak ingin mengecewakan orangtua saya yang telah banyak berkorban,” ujarnya (hlm. 19).

Sikapnya ini kemudian mengendurkan kebencian orang-orang Tionghoa terhadap dirinya. Mereka tidak lagi menilai Endang sebagai seorang pengkhianat.

Pelatih Timnas Indonesia yang Belum Tertandingi

Kekacauan perang membuat Endang pindah ke Jakarta pada 1948. Suatu hari ia bertemu dengan kawan-kawannya sewaktu masih bermain di HBS Surabaya. Ia kemudian diajak untuk bergabung dengan VBO (Voetbalbond Bataviasche Omstreken) yang kebetulan akan mengadakan tur ke Singapura, Bangkok, dan Hongkong.

Setelah pulang dari rangkaian pertandingan tersebut, ia dan beberapa orang kawannya diundang makan malam oleh Tjoa Tjoen Bie, Ketua Perkumpulan Olahraga Union Makes Strength (UMS). Setelah yang diundang kekenyangan, Tjoa Tjoen Bie menyampaikan maksudnya: menawari mereka untuk bergabung dengan klub UMS. Mereka setuju.

UMS yang berdiri pada tahun 1905 adalah salah satu klub tua dan disegani di Jakarta. Mereka seperti klub sepakbola pada umumnya, mengalami pasang surut prestasi. Pada 2 Maret 1956, ketika pelatih UMS Karel Fatter kembali ke Hungaria, Endang menggantikan posisinya. Waktu itu UMS tengah terpuruk, tapi berkat kerja keras Endang akhirnya UMS berhasil menjuarai kompetisi Persija musim 1955/1956 tanpa menelan kekalahan sekali pun.

Tahun 1958 ia dan istrinya disekolahkan oleh T.D. Pardede, pengusaha asal Medan, untuk memperdalam ilmu kedokteran gigi ke Seattle, Amerika Serikat. Di sela-sela kesibukannya belajar, ia berburu buku-buku dan majalah sepakbola. Dari sanalah ia kemudian menemukan pola permainan 4-2-4 yang diadopsi dari timnas Brazil yang menjuarai Piala Jules Rimet tahun 1958.

Setelah menyelesaikan pendidikan, Endang kembali ke tanah air dan membuat UMS juara lagi liga internal Persija musim kompetisi 1959/1960. Ia juga berhasil membawa Persija menjuarai kompetisi perserikatan musim 1963/1964.

Kadir Jusuf dalam Sepak Bola Indonesia (1982) menyebut Endang sebagai pelatih yang menonjol di antara pelatih yang ada di Indonesia waktu itu, terutama karena mempopulerkan pola 4-2-4 yang tidak umum di Indonesia.

“Di tingkat nasional, Endang Witarsa menerapkan pula pola yang sama ke tim legendaris, Sucipto Suntoro cs., dan menjadi salah satu kesebelasan nasional kita yang paling disegani di Asia,” tulis Kadir Jusuf (hlm. 19).

Pada 1966, timnas Indonesia tampil di Piala Aga Khan, Pakistan. Endang sebagai pelatihnya menerapkan lagi pola 4-2-4 dan berhasil membawa Indonesia menjuarai turnamen tersebut. Di final, Indonesia mengalahkan tim tuan rumah Dakka Sporting Club 2-1. Setelah cukup bangga dengan berhasil menahan imbang Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne, prestasi tersebut adalah piala pertama Indonesia di ajang internasional.

Dua tahun berikutnya, Endang kembali mengantarkan Indonesia meraih prestasi dengan berhasil menyabet juara di turnamen Piala Raja di Bangkok dengan mengalahkan Burma 1-0 di partai puncak.

Pada 1972, digelar Piala Anniversary di Jakarta. Endang lagi-lagi menorehkan prestasi. Indonesia keluar sebagai juara setelah di partai final menghajar Korea Selatan 5-2.

Di tahun yang sama, tepatnya bulan Agustus, digelar Merdeka Games di Kuala Lumpur. Di partai final melawan Malaysia, meski sempat tertinggal 1-2, anak asuh Endang berhasil membalikkan keadaan menjadi 3-2.

Tiga bulan setelah Merdeka Games 1972, Indonesia tampil di turnamen internasional Pesta Sukan di Singapura. Kali ini di final terjadi “All Indonesia Final” antara PSSI A melawan PSSI B. Endang yang menangani PSSI A menjadi juara setelah menang dengan skor 2-1. Inilah gelar kelimanya yang diraihnya bersama timnas Indonesia. Sebuah torehan yang belum mampu ditandingi oleh pelatih Indonesia lainnya.

Namun prestasi Endang yang mentereng ini kiranya belum menjadi perhatian PSSI sebagai dokumentasi sejarah penting. Jika mencari di laman PSSI dengan mengetikkan nama “Endang Witarsa” atau “Liem Soen Joe”, kedua nama tersebut tidak ada.

infografik mozaik endang witarsa

Endang Witarsa di Mata Keluarga dan Kolega

“Tujuan saya di dunia adalah sepakbola, bukan dokter gigi,” ujar Endang kepada anaknya, Bujung Witarsa, seperti dikutip H. Isyanto dalam Dokter Bola Indonesia (2010).

Bujung menambahkan bahwa kesibukannya di sekolah tak memungkinkan dia untuk membolos, tapi jika ada perjalanan untuk main bola di luar kota, ayahnya tak banyak cing-cong untuk membuatkan surat minta izin dari sekolah.

Sementara anaknya yang lain, Yeni Witarsa, berkisah tentang ayahnya yang kerap menemukan pemain berbakat di banyak daerah, salah satunya Didik asal Tasikmaya. Endang mengambil Didik karena pemain itu mempunyai tendangan gledek.

“Menurut cerita, Didik diambil Papi karena menendang bola dengan keras sehingga bola mengenai pohon kelapa sampai buah kelapanya berjatuhan,” ujar Yeni.

Warta Kusuma, pemain yang disebut-sebut sebagai anak emas Endang bercerita bahwa dirinya diambil dari klub Bekasi Putra. Kepada ketua umum klub tersebut Endang menjamin bahwa ia akan membentuk Warta Kusuma sebagai pemain nasional hanya dalam waktu tiga bulan.

Ucapannya terbukti. Tiga bulan setelah digembleng Endang, Warta Kusuma masuk Timnas Indonesia untuk Pra Piala Dunia asuhan Sinyo Aliandoe. Selain itu, Endang juga menemukan bakat Widodo C. Putro, pemain asal Banjar Patroman yang kemudian berkali-kali memperkuat Timnas Indonesia dan berhasil mencetak gol spektakuler di ajang Piala Asia 1996.

Selain berhasil menemukan beberapa pemain berbakat, secara sosial—meski kerap memaki para pemainnya yang bermain jelek—Endang adalah sosok yang dicintai.

Benny Dolo, pemain yang ia rekrut untuk bergabung dengan klub UMS 80, menceritakan pengalamannya saat dilatih Endang. Saat UMS 80 kalah telak oleh Niac Mitra, Benny menyetel radio dengan keras di mes. Endang tiba-tiba mengambil radio tersebut dan membantingnya, lalu melemparnya ke dalam sumur.

Selang beberapa jam, Benny dipanggil Endang dan pelatih tersebut menanyakan harga radio yang telah ia lempar ke sumur.

Benny juga bercerita tentang dirinya yang sering meminjam uang kepada Endang. Namun saat ia mau membayar utang, Endang malah memarahinya.

“Memangnya kamu sudah kaya, ya?” ujar Endang.

Cerita Maman, pelatih anak gawang UMS, lain lagi. Suatu saat ketika latihan usai, Endang melihat ada pemain yang dipapah rekan-rekannya. Maman mengatakan bahwa pemain tersebut sakit. Endang langsung menyuruh Maman menjual aki mobil miliknya untuk biaya pengobatan pemain tersebut.

“Waduh, gimana ya? Saya tidak punya uang. Begini saja, deh, ambil aki di mobil saya. Jual, uangnya buat berobat dia di rumah sakit. Biar saya pulang naik taksi saja, deh, nanti bayar di rumah,” ujar Endang kepada Maman, dan ia pun pulang.

Pada 2 April 2008, tepat hari ini sepuluh tahun lalu, Endang Witarsa wafat. Selain dokter gigi, ia, seperti ditulis H. Isyanto dalam bukunya, adalah dokter bola Indonesia.

Baca juga artikel terkait PSSI atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan