Menuju konten utama

Kisah Petrokimia Putra Mewarnai Sepakbola Gresik

Perusahaan pupuk pelat merah mendorong kebangkitan sepakbola Gresik

Kisah Petrokimia Putra Mewarnai Sepakbola Gresik
Ning Syaifulloh dan Widodo Cahyono Putro dari Petrokimia Putra Gresik tampil dalam lanjutan Liga Dunhill pada 1990-an. Instagram/@petrokimiaputra

tirto.id - Menit ke-76 menjadi yang paling ingin dilupakan oleh para pendukung Petrokimia Putra. Sementara menit ke-30 mungkin yang paling disesali selamanya.

Jacksen F. Tiago mencetak gol pada menit ke-30 tapi dianulir oleh wasit Zulkifli Chaniago. Sedangkan gol Sutiono Lamso (pemain Persib Bandung) pada menit ke-76 disahkan. Gelar juara Liga Indonesia yang sudah di depan mata, akhirnya menjauh. Mereka takluk oleh kesebelasan yang tidak diperkuat pemain asing. Itu terjadi pada 30 Juli 1995 di Stadion Utama Senayan Jakarta yang bergemuruh.

Liga Indonesia pertama tahun 1994/1995 yang meleburkan tim-tim eks Galatama dan eks Perserikatan barangkali menjadi musim yang paling ingin mereka lupakan.

Diikuti 34 peserta yang terbagi ke dalam dua wilayah, Liga Indonesia pertama memang tak mudah untuk ditempuh oleh kesebelasan mana pun. Namun, berkat bantuan dua pemain asing andalan, Jacksen F. Tiago dan Carlos De Mello, serta Widodo Cahyono Putro sebagai pemain top nasional, Petrokimia Putra akhirnya bisa masuk ke fase delapan besar.

Di babak ini, Petrokimia Putra tergabung dengan Persib Bandung, Assyabaab Salim Group, dan Medan Jaya. Finish di urutan kedua, mereka ditantang Pupuk Kaltim di semifinal. Pada 28 Juli 1995 mereka berhasil menekuk kesebelasan dari Kalimantan Timur tersebut. Sementara pertandingan semifinal yang mempertemukan Persib Bandung melawan Barito Putra dimenangkan anak-anak Maung Bandung.

Barangkali begitu salah satu tabiat kesedihan dalam sepakbola: gilang-gemilang dalam kompetisi dan fase delapan besar, tapi dipungkas oleh kekalahan yang menyakitkan di partai final.

Keputusan wasit yang dianggap merugikan Petrokimia Putra menimbulkan kemarahan dan melahirkan slogan: “Gembuk, lek wani rene!” (Lemah, sini kalau berani!)

Aqwam Fiazmi Hanifan & Novan Herfiyana dalam Persib Undercover: Kisah-kisah yang Terlupakan (2014) mencatat kisah-kisah yang beredar seputar partai final Persib Bandung vs Petrokimia Putra. Sebelum pertandingan digelar, pengurus klub asal Gresik itu berpesan kepada para pemain untuk menerima saja apa pun yang terjadi, dan mereka dilarang banyak protes ke wasit.

Jacksen F. Tiago bahkan berkata ia dan Widodo C. Putro dipanggil oleh pengurus dan dipaksa untuk mengalah. Itu terjadi pada malam sebelum pertandingan. Setelah itu sebagian pengurus klub langsung pulang ke Gresik.

Umpan pelan Yusuf Bachtiar kepada Sutiono Lamso dan diakhiri gol kemenangan Persib dalam laga keesokan hari menyempurnakan kenangan buruk publik Gresik.

Bagaimana Petrokimia Putra Bermula?

Ingatan sepakbola di Jawa Timur sejak awal telah dipenuhi oleh narasi tentang Persebaya. Klub yang berdiri pada 1927 itu lekat dengan Jawa Timur. Walaupun di kota-kota lain seperti Pasuruan, Blitar, Madiun, Bojonegoro, dll, terdapat kesebelasan sepakbola, akan tetapi gaungnya tak pernah terasa.

Di Gresik—meski telah ada Persegres yang didirikan pada 2 November 1963, tetapi situasi sepakbola kota tersebut kurang bergairah. Memasuki akhir 1970-an, kebangkitan sepakbola di salah satu kota di pesisir utara Jawa Timur itu mulai dihidupkan kembali.

Iksan Agung Nugroho dalam Persatuan Sepakbola Petrokimia Putra Gresik Tahun 1988-2005 (Jurnal Avatara Vol. 4 No. 3, Oktober 2016) mencatat yang menghidupkan iklim sepakbola Gresik adalah PT. Petrokimia Gresik, perusahaan pupuk pelat merah.

Akhir tahun 1970-an dibentuk tim bernama Petrogres yang diprakarsai oleh jajaran direksi seperti Ir. Sidharta dan J. Tehupeiorij, untuk mengikuti kompetisi antarperusahaan di Surabaya. Ternyata dalam kompetisi ini ada banyak pemain asal Gresik yang memperkuat tim-tim Surabaya. Dari sana muncul ide untuk membuat kompetisi sendiri guna menghidupkan sepakbola Gresik.

Dalam laporan Jawa Pos edisi 25 Mei 1985, seperti dikutip Iksan, Petrogres betul-betul serius dalam membangun tim. Selain merekrut para pemain asal tim Kertago (Kertas Gowa) Sulawesi Selatan seperti Daniel Uyo, Abdul Muis, Hasanudin Baso, Sanusi Rachman, dan Abdul Hamid, mereka juga mengirim dua orang pelatihnya untuk belajar di Jerman, yaitu Imam Muchsan dan Bambang Purwanto.

“Di Jerman, kedua pelatih tersebut melakukan studi banding untuk melihat fasilitas dan program pelatihan yang dilakukan klub Hamburg SV,” tulisnya.

infografik perjalanan petrokimia putra

Tak lama kemudian Petrogres bergabung dalam kompetisi yang dijalankan di bawah naungan Persegres yang diikuti antara lain oleh PS. Varia Usaha, PS. Morada, PS. Kebomas, PS. Gapura, PS. Samudra, PS. Pelangi, PS. Giri, PS. Indonesia Muda, dll. Pertandingan-pertandingan digelar di Alun-alun Gresik, lapangan Telogo Dendo, dan Stadion Semen Gresik.

“Dari kompetisi tersebut dijaring pemain-pemain yang akan memperkuat Persegres di kompetisi Perserikatan,” tambah Iksan.

Kompetisi internal itu berhasil mendongkrak prestasi Persegres yang berhasil masuk kompetisi Divisi Utama Perserikatan tahun 1988 (sebelumnya hanya menghuni Divisi II dan Divisi III). Sementara dalam Galatama (Liga Sepakbola Utama)—kompetisi semiprofesional, Gresik belum ada wakil. Maka, pada 20 Mei 1988, Persatuan Sepakbola Petrokimia Putra didirikan, yang akan diproyeksikan untuk bertarung di Galatama.

Sebelum dan Sesudah Malam Kelam 1995 di Senayan

Galatama yang berlangsung sampai tahun 1994 tak sekali pun dimenangi oleh Petrokimia Putra. Prestasi terbaik mereka hanya menduduki peringkat empat. Namun, ketika kompetisi Galatama dilebur dengan Perserikatan untuk pertama kalinya, mereka langsung tancap gas sebelum akhirnya dilibas di laga final.

Tujuh tahun usai laga tersebut, mereka akhirnya berhasil keluar sebagai kampiun setelah mengalahkan Persita Tangerang 2-1. Publik Gresik berpesta, dan pamor Petrokimia Putra meninggalkan Persegres yang prestasinya terseok-seok. Namun, euforia itu tak lama, sebab setahun kemudian klub kebanggaan warga Gresik itu menlucur ke jurang degradasi.

Tak betah berlama-lama di liga kasta dua, setahun kemudian Petrokimia Putra kembali ke Divisi Utama. Hal itu tak lepas berkat perubahan format liga yang kembali menggunakan sistem dua wilayah.

“Sayonara Kebo Giras”, tulis Jawa Pos edisi 20 Oktober 2005. Laporan ini berisi tentang Petrokimia Putra yang memutuskan untuk cuti dari kompetisi Liga Indonesia. Keputusan ini diambil karena tim tersebut lagi-lagi tersungkur ke jurang degradasi karena persiapan dan materi pemain yang minim.

Pada tahun yang sama, klub yang pernah melahirkan para pemain seperti Derryl Sinnerine, Eri Irianto, dan Suwandi H.S. ini—seperti dilansir dari bola.com, melakukan merger dengan Persegres alias Gresik United. Nama klub pun berganti menjadi Persegres Gresik United.

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA INDONESA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Olahraga
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Zen RS