tirto.id - Kemenangan. Kata itu yang dilekatkan orang-orang keturunan Arab kepada klub sepakbola yang mereka bentuk di Surabaya, tepatnya di Ampel, pada 1930. An Nasher nama klubnya. Diambil dari bahasa Arab yang berarti "kemenangan". Mula-mula mereka bermain sepakbola alakadarnya, cukup bermain dan menendang bola saja.
Selain menyalurkan hobi, An Nasher juga adalah sebuah usaha orang-orang keturunan Arab untuk menujukkan identitas dan kemampuannya mendirikan klub sepakbola. Para pendirinya antara lain Yislam Murtak, Salim Barmen, Mohammad bin Said Martak, dan Mohammad Bahalmar.
Di awal pembentukan klub, para pengurusnya merangkap sebagai pemain. Sementara pemilihan ketua dan pemilihan pengurus klub berdasarkan kemampuan materi dan ketokohan. Kriteria ini terutama didasarkan pada kepemilikan uang yang bisa menghidupi klub.
“Biasanya cuma diharap mereka punya banyak uang untuk bisa menghidupi klub saja, tanpa bisa mengelola klub dengan baik agar bisa bersaing dengan klub lain,” tulis Nur Hidayat dan Gayung Kusuma dalam Dari An Nasher hingga Assyabaab: Peranan Etnis Arab dalam Sepakbola di Surabaya Tahun 1930-1948 (Verleden: Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No. 1, Desember 2013).
Dalam koran Aliran Baroe (1939) yang mereka kutip, An Nasher pada awalnya berbentuk PO (Perhimpunan Olahraga) yang menaungi sepakbola, pencak silat, dan bola voli. Khusus sepakbola, cabang ini sempat terkendala keterbatasan fasilitas dan penolakan dari kalangan Sayyid yang menganggap olahraga ini sebagai budaya barat (Belanda) dan mempertontonkan aurat karena memakai celana pendek.
13 Mei 1932, An Nasher bergabung dengan NIVB (Nederlandsch Indische Voetbal Bond), induk/federasi sepakbola di Hindia Belanda sehingga An Nasher bisa mengikuti kompetisi yang digelar oleh SVB (Soerabhaiasche Voetbal Bond). Keputusan bergabung diambil An Nasher agar bisa disejejarkan dengan klub-klub orang Belanda, meski secara kualitas tim dan organisasi mereka masih kalah jauh. Dari segi fasilitas, menjadi anggota SVB membuat mereka mempunyai lapangan sendiri untuk berlatih dan menggelar pertandingan.
Dalam rangka menyambut musim kompetisi baru, An Nasher mulai berbenah. Salah satu edisi koran Sin Tit Po tahun 1936 mewartakan bahwa An Nasher pada tanggal 13-14 November 1936 mengadakan pertemuan di gedung Al Irsyad Surabaya untuk memilih ketua dan kepengurusan baru. Mereka sadar, kepemilikan modal saja tidak cukup dalam sebuah klub yang akan mengarungi kompetisi. Dari pertemuan itu terpilih Salim Barmen sebagai penasehat, dan A.S. Bahalwan sebagai ketua.
Setelah itu, mereka siap bertarung lagi dari pertandinagan ke pertandingan melawan 13 klub anggota SVB lainnya, yaitu Ajax, ASC, Exelsior, HBS, HOTNB, Happy, Kim Hoo, MLD, Mena Moeria, RKS, THOR, Tiong Hoa, dan Zeemacht (Jemmy Husni Mubarak, Perkembangan SIVB Menuju Klub Persebaya Tahun 1927-1978, hlm. 28).
An Nasher dan Popularitas Sepakbola
Jumlah anggota SVB yang cukup banyak dan berasal dari beberapa etnis menunjukkan bahwa sejak dulu sepakbola adalah olahraga yang digemari di Surabaya.
Srie Agustina Palupi dalam Sepakbola di Jawa, 1920-1942 (Jurnal Lembaran Sejarah Vol. 2, No. 2, Thn. 2000) menyebutkan bahwa di antara jenis olahraga yang ada di Indonesia pada masa kolonial, sepakbola adalah yang terkenal dan paling luas penyebarannya.
“Sepakbola menduduki urutan teratas dalam jumlah perkumpulan, baik milik bangsa Belanda, Tionghoa, Arab, maupun bangsa Bumiputra,” tulisnya.
Pembentukan klub-klub sepakbola di Surabaya, jika dikaitkan dengan penelitian Srie Agustina Palupi, tidak bisa dilepaskan dari sejarah global sepakbola modern yang ditandai dengan lahirnya ‘The Football Association’, bond sepakbola pertama yang didirikan oleh para bekas pelajar dan mahasiswa. Dibantu oleh klub-klub sepakbola yang ada di London dan Cambridge, bond itu berdiri pada 1863. Dari sini kemudian diperkenalkan beberapa peraturan yang membuat permainan ini bisa dilakukan di mana-mana.
Setelah mesin cetak ditemukan, media massa lahir dan semakin maju, serta peran para pedagang, pelaut, mahasiswa, dan misionaris, sepakbola menyebar ke berbagai penjuru dunia. Perkumpulan-perkumpulan sepakbola nasional kemudian hadir di banyak negara, dan mereka berjejaring.
“Federation Internationale De Football Amateur yang didirikan di Perancis atas inisiatif Julies Rimet, menambah hubungan internasional antara perkumpulan-perkumpulan nasional sepakbola tersebut,” tulis Srie.
Di Indonesia, menurut Srie, sepakbola dibawa dan diperkenalkan oleh orang-orang Belanda yang datang untuk bekerja di instansi-instansi pemerintah, perkebunan, kantor perdagangan, perkapalan, dan pertambangan. Bagi mereka, sepakbola adalah sarana rekreasi dan menjaga kebugaran.
Para pemuda menyukai permainan jantan ini. Bagi mereka, sepakbola memungkinkan terjadinya duel langsung. Mereka punya kesempatan untuk mengadu kekuatan dengan lawan yang mendorong semangat kehormatan dan kegigihan.
“[Sepakbola] Kelak dimanfaatkan oleh kaum pergerakan untuk mendidik persatuan dan kesatuan bangsa dalam menghadapi kekuatan kolonial,” tambah Srie.
Zaman Berubah, Nama Berganti
Pendudukan Jepang di Indonesia membuat gairah sepakbola di Surabaya rontok. Kompetisi vakum. Selain itu, nama-nama yang sudah ada sejak zaman Belanda banyak yang diubah. Di masa ini An Nasher berganti nama menjadi Al Faouz yang artinya sama dengan An Nasher, yaitu kemenangan. Tak banyak pertandingan sepakbola yang digelar Nippon.
Dalam Soeara Asia (1943)—koran propaganda Jepang untuk wilayah Surabaya, seperti dikutip Nur Hidayat dan Gayung Kusuma dalam Dari An Nasher hingga Assyabaab: Peranan Etnis Arab dalam Sepakbola di Surabaya Tahun 1930-1948 (Verleden: Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No. 1, Desember 2013), militer Jepang sempat mengadakan pertandingan sepakbola bertajuk “Gelora”. Pertandingan diikuti oleh beberapa klub seperti Selo, Maroeto, PS Hizbul Wathon, Jong Ambon (SVJA), dan klub Indo Belanda. Perang membuat kompetisi tidak berjalan reguler, sampai akhirnya Jepang kalah dan hengkang dari Indonesia.
Pasca kemerdekaan, tepatnya 16 Juni 1948, Al Faouz berganti nama menjadi Assyabaab yang diambil dari kata Syabaab, artinya pemuda. Fuad Alkatiri dalam buku My Assyabaab (2008) menyebutkan bahwa kata “Assyabaab” yang terdiri dari sembilan huruf, merupakan angka tertinggi yang melambangkan superioritas.
Assyabaab didirikan oleh Zein bin Agil, Aly Bahalwan (ayah Rusdy Bahalwan—mantan pemain dan pelatih Persebaya), Mochtar, dan Ali Salim. Setelah menanggalkan Al Faouz, nama itu sempat mau diambil untuk menggantikan nama sebuah klub lain.
Washil Bahalwan (adik Aly Bahalwan—salah satu pendiri Assyabaab) berkisah bahwa suatu hari seorang teman Aly Bahalwan di Nyamplungan yang bernama Cak Neri, meminta izin kepada Aly untuk memakai nama Al Faouz menggantikan nama PS. Harimau (klub sepakbola yang dikelolanya). Namun Aly Bahalwan menolaknya.
“Nama PS. Harimau tidak perlu diganti dengan Al Faouz, nanti nyamai Assyabaab saja. Biarkan namanya tetap PS. Harimau, kan lebih keren, gagah, berwibawa dan disegani lawan,” ujar Aly.
Washil Bahalwan menambahkan, pada periode awal Assyabaab yang diangkat menjadi ketua adalah Zein bin Agil (periode 1948-1951). Sementara yang menjadi sekretaris adalah Ibrahim Bobsaid (Captain Arab). Sekretariat Assyabaab adalah rumah Zein bin Agil yang beralamat di Jalan Ketapang Besar 28, Surabaya.
Tahun 1964, Assyabaab hampir berganti nama menjadi Putra Indonesia. Kejadian ini sempat mengguncang dahsyat situasi internal klub. Sebagian pengurus menghendaki penggantian nama klub, karena kata Assyabaab mereka anggap terlalu berbau etnis Arab. Pihak yang menghendaki itu antara lain: Dr. Thalib Bobsaid, Dr. Djarot, Moch. bin Machfud, Umar Al Idrus, Gozaly, dll.
Sementara yang tidak setuju penggantian nama di antaranya: Mohammad Barmen, Zein bin Agil, Aboe Ramli, Abdullah Ghoromah, dan Aly Bahalwan. Kubu ini bersikukuh mempertahankan nama Assyabaab sebab ada kesebelasan lain di Indonesia yang bernama Al Badar, Hizbul Wathon, dan Al Hilal yang juga berbau Arab.
Perseteruan ini kemudian ditengahi oleh Menteri Olahraga, Maladi, yang mengatakan bahwa nama Assyabaab tetap dipertahankan.
“Bahkan Maladi salut atas militansi Mohammad Barmen dalam mengelola klub dan mempertahankan nama Assyabaab yang sudah melegenda dan termasuk klub tua di Indonesia, dan sudah banyak melahirkan pemain nasional,” tulis Washil Bahalwan.
Selama dua musim Galatama (Liga Sepakbola Utama)—kompetisi semi profesional, yaitu tahun 1991-1992, prestasi Assyabaab cukup menjanjikan. Hal inilah yang kemudian menarik perhatian sponsor. Pada 10 Juli 1991, konglomerasi Salim Group menjadi sponsor utama, sehingga namanya menjadi Assyabaab Salim Group.
Prestasi dan Kontribusi
Novan Herfiyana (penulis buku Persib Undercover) mencoba mengarsipkan sejarah dan kiprah Assyaabaab di kancah sepakbola Indonesia. Data yang ia kumpulkan bersumber dari Harian Pikiran Rakyat, di antaranya edisi 1-5 September 1975, 6 Februari 1976, dan 31 Oktober 1981.
Dalam data yang berhasil dikumpulkan Novan, selain mengikuti Galatama dan sempat menjadi juara pada Divisi I Galatama tahun 1990, Assyabab ternyata pernah mengikuti Piala Bentoel 1991, Piala Tugu Muda 1991, Piala Kasogi 1993, dan Piala Indocement 1993.
Selain prestasi yang ditorehkan—sejak masih bernama An Nasher, Assyabaab telah berkontribusi menyumbangkan para pemainnya untuk Persebaya dan PSSI. Tahun 1935-1937 para pemain An Nasher yang bermain untuk Persebaya antara lain: Ali Basofi, Abu bakar Basofi, dan Umar Bawedon. Dan yang main untuk PSSI adalah Ali Basofi. (Fuad Alkatiri: My Assyabaab, 2008, hlm. 8).
Fuad menambahkan bahwa pada tahun-tahun berikutnya, ketika klub sudah bernama Assyabaab, para pemain yang memperkuat Persebaya dan PSSI menjadi semakin banyak, di antaranya: Fauzi Hasan, Alwi bin Syech Abu Bakar, Saleh Mahri, dan Husain bin Agil (dipanggil Persebaya dan PSSI).
“Sedangkan pemain yang pernah memperkuat Persebaya di antaranya: Achmad Barajak, Amak Guk Aljufri, Amak Bazrewan, Achmad Bajardana, Abdullah Aljufri, Ali Bahalwan, Saad bin Thalib, Said Bagor, Kadir Mahdami, Ali Bahabel, Moch bin Mahfud, Ali Basofi, Bakar Basofi, dan Abdullah Basofi,” tulisnya. (hlm. 16)
Musabab Assyabaab Terjerembab
Tahun 1997 ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, sponsor utama klub mendapat kesulitan dan akhirnya Assyabaab Salim Group bubar. Sebagai tim yang punya akar kuat di Surabaya, meski Assyabaab Salim Group telah tidak ada, tapi Assyabaab sebagai tim amatir tetap ada. Mohammad Barmen masih tercatat sebagai pembinanya.
Musim 2009-2010, Assyabaab menjadi runner-up pada kompetisi internal Persebaya dan terlibat konflik dengan klub Suryanaga yang menjadi juara. Sejak itu perpecahan klub-klub internal Persebaya terjadi dan persoalan menjadi runyam.
Kabar tentang Assyabaab perlahan semakin menghilang. Kini berita-berita tentang klub yang pernah menyumbang para pemainnya untuk Persebaya dan PSSI itu, kadang masih ditemui di beberapa surat kabar yang berkedudukan si Surabaya.
Warta Assyabaab hadir silih berganti: tentang kekalahan dan kemenangan.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Zen RS