tirto.id - Anies adalah satu-satunya calon gubernur DKI yang berkarier di bidang akademik. Sylviana Murni juga pernah menjadi dosen, tapi ia calon wakil gubernur, bukan calon gubernur. Ahok dan Agus sama-sama mencicipi pendidikan pascasarjana, tapi hanya Anies yang menekuni karier di bidang akademik. Hanya Anies pula yang meraih gelar Doktor atau PhD, menduduki jabatan rektor di Universitas Paramadina, dan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Nalar akademik yang bertahun-tahun digeluti Anies diuji selama proses kampanye Pilkada DKI. Reputasi Anies sebagai seorang terpelajar yang mengajar (bahkan menginisiasi program Indonesia Mengajar) dan peneliti dihadapkan dengan realisme politik yang sama sekali tidak membutuhkan catatan kaki.
Salah satu ujian itu datang saat ia mendatangi markas Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan, Jakarta. Terutama, justru, karena Anies membuka pidatonya dengan uraian tentang keilmiahan sebuah paper. Ceramah itu kemudian masuk ke soal-soal sejarah, khususnya sejarah Islam di dunia dan kelompok Arab di Indonesia.
Tulisan ini adalah usaha pengecekan fakta, atau bisa juga disebut sebagai upaya melengkapi ceramah itu dengan hal-hal yang luput diutarakan Anies.
TENTANG JALUR REMPAH
Anies: Apa barang yang dibawa di jalur sutra itu? Yang dibawa adalah rempah-rempah. Dibawanya dari mana? Dari Maluku. Ketika kemudian jalur sutra itu ditutup, yang pegang adalah pedagang Islam. ... Bahwa rempah itu dibawanya dulu memang Jalur Sutra, tapi kemudian menggunakan jalur laut. Jauh lebih murah, jauh lebih efisien ... Dan di sanalah yang namanya transmultinasional muslim itu terjadi. Bentangannya kira-kira dari Maroko hingga ke Maluku. ... 60% GDP dunia di tangan mereka. Dan apa bahasa internasionalnya? Bahasa internasionalnya adalah bahasa Arab. Lingua franca di semua titik menggunakan bahasa Arab.
Pertama, Jalur Sutra merujuk rute transportasi perdagangan yang menghubungkan Timur dan Barat, terutama dari Asia Daratan khususnya Cina ke Laut Mediterania, yang dari sana berlanjut hingga ke dunia Eropa. Ini adalah jaringan perdagangan berusia tua yang sudah dimulai setidaknya sejak Dinasti Han, satu atau dua abad sebelum Masehi.
Apa yang dibawa di Jalur Sutra? Tentu saja: sutra. Tentu ada barang-barang yang lain, termasuk rempah-rempah. Selain sutra dan rempah, perdagangan di Jalur Sutra menjual berbagai komoditas, mulai dari kertas, besi, logam berharga (giok), teh, gading, kulit, dan lain-lain.
Seluruh uraian Anies tentang Jalur Rempah merujuk perdagangan melalui jalur laut. Benar, selain lewat jalur darat, komoditas sutra juga memang didistribusikan melalui jalur laut. Maka, ada istilah Jalur Sutra Laut (Maritime Silk Routes). Namun, laut bukanlah rute awal dan utama.
Ketika Jalur Sutra dijadikan Situs Warisan Dunia oleh Unesco, area yang ditetapkan adalah Koridor Chang'an-Tianshan yang merentang dari Cina, Kazakhstan, dan Kyrgystan. Mayoritas situs-situs yang ada dalam koridor tersebut berada di darat. Hanya ada dua situs dalam Koridor Chang'an-Thianshan yang merujuk pada Jalur Sutra Laut.
Kedua, Anies benar mengatakan rute transportasi laut adalah tulang punggung perdagangan rempah. Namun, Anies tidak mengatakan bahwa transportasi laut tidak hanya mengangkut rempah-rempah dan tidak hanya dikuasai pedagang muslim.
Seperti halnya Jalur Sutra yang juga menjual komoditas yang lain, transportasi laut yang disebut Anies sebagai Jalur Rempah sudah lebih dulu melayarkan komoditas dupa atau bahan wewangian aromatik. Maka, ada istilah Incense Road (atau Jalur Menyan).
Selain menghidupkan rute transportasi dari Laut Mediterania ke wilayah-wilayah tengah Afrika melalui jalur darat melintasi Gurun Sahara, Jalur Menyan ini juga melalui Laut Merah dan Teluk Arab. Ia menautkan kawasan Arab dengan Eropa dan Afrika. Jalur Menyan ini sudah ada sebelum Yesus lahir, artinya sejak zaman sebelum Masehi.
Komoditas yang dilayarkan lewat Jalur Menyan ini salah satunya adalah—harus menggunakan kata "terutama" ketimbang "salah satunya" jika memang ingin menghidupkan peran Indonesia dalam sejarah transportasi-perdagangan dunia—kamper. Komoditas kamper inilah yang mempopulerkan nama Barus, diperkirakan terletak di pantai timur Sumatera, hingga ke kota-kota dan bandar-bandar penting dunia.
Jika "Barousai" dalam peta Ptolemeus memang merujuk Barus, maka Sumatera dan transportasi laut di Samudera Hindia sebenarnya sudah ramai sejak awal Masehi (Ptolomeus hidup antara tahun 90 sampai 168 Masehi), sekurang-kurangnya pada abad ke-11 jika merujuk Prasasti Tamil.
Transportasi laut ini juga sudah lebih dulu dihidupkan berbagai kebudayaan dari bermacam-macam bangsa sebelum—merujuk ucapan Anies—Utsman menutup rute (kurang jelas apakah Utsman yang dirujuk adalah Utsmaniyah di Turki atau Khalifah Utsman bin Affan). Dari Yunani, Romawi, Phoenicia, Carthage, Alexandria, Hindustan, Cina, hingga Venesia. Agamanya macam-macam: mulai dari Pagan, Buddha, Syiwa, Kristen, hingga akhirnya Islam.
Ketiga, kurang tepat jika perdagangan rempah menggunakan laut dikaitkan dengan "lebih murah dan lebih efisien." Jalur utama perdagangan rempah-rempah sejak awal sudah menggunakan laut karena produsen-produsen utama rempah banyak berada di kawasan-kawasan pantai. Menggunakan jalur darat kadang dilakukan, namun lebih ramai melalui laut.
Untuk beberapa kawasan bahkan tidak ada opsi selain melalui laut, misalnya untuk Maluku yang disebut Anies. Bukankah Maluku adalah kepulauan? Jangankan menjangkau Istanbul atau Hadramaut, menjangkau Makassar pun tidak bisa dijangkau dengan perjalanan darat.
Keempat, yang juga absen dalam uraian Anies adalah: perdagangan rempah yang memperkenalkan Maluku kepada dunia adalah perdagangan rempah tahap kesekian. Jauh sebelum itu, ada kawasan lain yang menjadi produsen rempah.
Salah satunya dikenal sebagai Land of Punt (sebagian menyebutnya di Afrika, ada juga yang percaya di Arab selatan) yang dihidupkan oleh Laut Eritrea, nama kuno untuk perairan yang meliputi area dari Tanjung Harapan di Afrika hingga Teluk Arab. Sebelum itu, kawasan Kerala di India menjadi produsen penting rempah-rempah, sampai-sampai Kerala disebut sebagai "spice garden of India". Sisi barat dan selatan Kerala berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.
Kelima, Jalur Rempah sulit menggantikan istilah Jalur Sutra. Bukannya rempah tidak pernah diperdagangkan di jalur daratan Asia, karena India juga mengirim rempah ke Cina melalui darat, namun karena sutralah yang memang menjadi komoditas andalan Cina di awal pembukaan jalur itu. Untuk rute yang memang diinisiasi oleh Cina ini, rempah memang bisa dinomorduakan.
Ini tidak sesederhana, atau dalam istilah Anies, "cepat-cepatan klaim". Ini pertarungan diskursus, perihal dunia wacana yang sesungguhnya tidaklah netral, namun ikut ditentukan oleh konstelasi kekuasaan.
Tentu Anies tahu hal ini. Maka, dalam uraian di Petamburan ia menyebut "Barat Tengah" untuk apa yang lebih lazim disebut “Timur Tengah”. Ia mengerti istilah "Timur Tengah" memuat bias Eropa. Sebab “timur” dalam “Timur Tengah” berarti diukur berdasar posisi berdiri dari Eropa. Anies menggunakan Barat Tengah untuk menjelaskan bahwa jazirah Arab memang berada di barat jika dipandang dari Indonesia.
Edward Said, penulis yang berupaya membongkar nalar eurosentrisme, menyebut hal ini sebagai "imaginative geography" di dalam buku klasik Orientalism.
TENTANG KETURUNAN ARAB DAN POLITIK INDONESIA
Anies: [D]ulu orangtua kami itu dulu pendiri Partai Arab Indonesia, yang Partai Arab Indonesia itu mendeklarasikan; satu, tanah airnya Indonesia. Dan mengatakan tanah air Indonesia di tahun '34. Bapak-bapak ibu sekalian, orang Arab mengatakan tanah airnya Indonesia tahunnya '34.
Anies benar bahwa pada 1934 (tepatnya 4 Oktober 1934) memang ada semacam pertemuan keturunan Arab, didominasi anak muda, yang menyatakan tanah airnya adalah Indonesia, bukan lagi Arab (lebih tepatnya: Hadramaut). Namun pada 1934 tidak ada yang namanya Partai Arab Indonesia (PAI). Yang ada adalah Persatoean Arab Indonesia. PAI sebagai partai baru muncul dalam Kongres PAI IV yang berlangsung pada 18-25 April 1940.
Kelupaan tentu dapat dimaklumi. Ini hal biasa. Namun agar tidak menyepelekan perbedaan antara “Persatuan” atau “Partai”, perlu diterangkan bahwa perubahan dari “Persatuan” menjadi “Partai” memuat cerita yang tidak sepele. Banyak hal terjadi dari 1934 sampai 1940, baik di luar masyarakat keturunan Arab maupun di dalam masyarakat keturunan Arab. Di antara sesama keturunan Arab sendiri berlangsung dinamika yang tidak ringan.
Dinamika ini terkait banyak isu, namun salah satunya adalah perdebatan alot yang tidak tuntas pada 4 Oktober 1934: orientasi keturunan Arab itu harus diarahkan pada tanah asal, homeland, yaitu Hadramaut ataukah kepada Indonesia?
Perdebatan internal ini yang tidak disebutkan dalam pidato Anies. Agar lebih lengkap, supaya tidak simplisistis pada detail cerita, perlu disampaikan bahwa ada keturunan Arab yang memilih tetap merujuk Hadramaut sebagai orientasi kesetiaannya.
Memang benar bahwa deklarasi 1934 mendeklarasikan PAI bertanah air Indonesia. Juga benar bahwa Abdul Rahman Baswedan, kakek Anies sebagai tokoh utamanya, sangat bersungguh-sungguh menganggap Indonesia sebagai tanah air. Namun tidak semua keturunan Arab menyepakati itu. Penolakan ada, bahkan ramai.
A.R. Baswedan bahkan merasakan sendiri tantangan dari sesama keturunan Arab. Disertasi Husein Haikal, profesor sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia, mengisahkan ancaman kepada A.R. Baswedan bahkan sampai berupa ancaman fisik. Husein Haikal bahkan menyebut para penentang A.R. Baswedan nyaris berhasil melaksanakan niatnya namun urung dilakukan karena melihat fisik A.R. Baswedan yang kurus (baca laporan Tempo edisi 15 Desember 2008).
PAI jelas tidak begitu saja menjadi suara mayoritas. Bahkan, pada 1938 lahir Indo Arabisch Beweging (IAB) yang diinisiasi oleh M.B.A Alamudi. Delapan tahun sebelumnya, orang yang sama mendirikan Indo Arabisch Vereniging (IAV). Orientasi keduanya sama: menjunjung tinggi homeland, Hadramaut, alih-alih menjunjung nasionalisme Indonesia. Di kemudian hari, Alamudi bahkan menjadi semakin dekat dengan Belanda, bahkan berada di sisi Belanda, walaupun proklamasi sudah dinyatakan. Dan ia tentu tak sendiri, ada segmen keturunan Arab yang berada di belakangnya.
Jika lebih rinci lagi, isunya lebih kompleks dari sekadar pro Hadramaut atau Indonesia atau PAI vs IAB. Ada soal sayyid dan non-sayyid hingga soal pernikahan beda “kasta”, hingga konflik antara Al-Irsyad dengan Arrabitah.
Namun hal-hal di atas rasanya sudah cukup untuk memperbaiki apa yang disampaikan Anies sebagai: “Dan ini (mendeklarasikan Indonesia sebagai tanah air) yang melakukan siapa? Seluruh kelompok (keturunan Arab)“. Pernyataan Anies itu, sejujurnya, terlalu simplisistis—jika bukan keliru.
Anies: Apa sih yang terjadi itu? Nekat. Tahun 34 nekat. Apakah Indonesia sudah ada. Belum. Belum. Kalau orang Jawa mengatakan “saya Indonesia”, ternyata Indonesia tidak terjadi dia tetap Jawa. [...] Lha ini orang Arab mengatakan saya Indonesia barangnya belum ada. Kalau ternyata Indonesia tidak terjadi, mau ngaku Jawa gak bisa, mau ngaku Arab dia bilang “ente udah bilang Indonesia, cari aja sana Indonesia di mana”. Ndak ada barangnya.
Indonesia tentu saja belum eksis sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Bahkan bagi Belanda, 17 Agustus 1945 itu tak membuat Indonesia ada. Belanda baru mengakui Indonesia pada 1949 melalui Konferensi Meja Bundar.
Namun, agar tidak menjadi glorifikasi asal-usul sendiri, bolehlah disampaikan bahwa soal nekat-nekatan ini sesungguhnya juga terjadi pada nasionalis beretnis Jawa atau Minang atau Makasar sekalipun. Bahkan Sukarno, Hatta, atau Tan Malaka pun tak tahu apakah Indonesia akan merdeka, sementara mereka sudah bersikap radikal dan terbuka menentang Belanda.
Belum lagi pejuang-pejuang anonim, atau yang bukan profil kelas atas, yang nasibnya benar-benar tak menentu jika tertangkap Belanda. Orang seperti Mas Marco atau Haji Misbach yang dibuang ke Papua itu tak pernah tahu mereka bisa kembali ke Jawa atau tidak. Mereka bisa berharap bebas jika Indonesia merdeka, tapi tak ada yang tahu itu akan terjadi kapan.
Menjadi Indonesia alias memutuskan berpihak pada gagasan tentang tanah air Indonesia, saat kolonialisme masih menancap dalam, hampir selalu membutuhkan kenekatan. Tanpa kecuali.
Siapa bilang nasionalis Indonesia dari Jawa tidak memikul risiko jika Indonesia akhirnya tidak merdeka? Perdebatan tentang kesetiaan harus diarahkan kepada Jawa ataukah kepada identitas baru bernama Indonesia juga bukannya tidak sengit. Dan yang berpihak pada identitas baru Indonesia ini, selain harus bersiap dipenjara, seringkali juga dianggap sudah bukan lagi Jawa di mata orang-orang konservatif.
Anies: Mereka menyatakan sumpah tanah air Indonesia sebelum Indonesia-nya ada. Tidak ada yang lain yang melakukan itu kecuali keturunan Arab di indonesia. Enggak ada. Dan ini yang melakukan siapa? Seluruh kelompok. [...]
Sebelum PAI berdiri dan mendeklarasikan kesetiaan pada tanah air Indonesia, sekelompok orang Tionghoa sudah lebih dulu mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 25 september 1932. Sebagaimana PAI, PTI adalah organisasi yang mempromosikan pandangan agar warga keturunan Tionghoa (yang lahir) di Indonesia menjunjung tinggi tanah air Indonesia. Bagi PTI, Indonesia adalah tanah airnya serta menuntut persamaan hak dan kewajiban dengan orang pribumi yaitu mau berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan percaya bahwa nasib mereka terikat dengan nasib orang Indonesia pribumi.
PTI didirikan oleh Liem Koen Hian. Siapa dia? Dia mentor A.R. Baswedan dalam jurnalisme dan politik. Liem yang mengundang A.R. Baswedan untuk bergabung dengan Sin Tit Po yang dipimpin Liem. Bahkan PAI sendiri terinspirasi dari PTI. Hanya beda “A” dan “T” dari penamaan dalam bentuk singkatan.
Natalie Mobini Kesheh, dalam The Hadrami Awakening: Community and identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942 (hal. 135) menulis: [L]iem's ideas were an important influence upon his own, and that the PTI was a model for PAI which Baswedan founded two years later.”
PTI sendiri terinspirasi dari Indische Partij, sebuah organisasi radikal yang, saking radikalnya, tidak pernah disahkan oleh pemerintah kolonial. Kendati juga berisi orang-orang bumiputera, dengan Soewardi dan Tjipto sebagai tokoh utamanya, tapi anggota Indische Partij yang berlatar belakang keturunan Belanda atau Eropa lima kali lipat lebih banyak dari orang bumiputera.
Kendati berdarah Eropa, biasa disebut Indo(-Eropa), mereka menganggap Hindia sebagai tanah airnya, bukan Belanda atau Eropa. Bukan hanya menganggap Hindia sebagai tanah air belaka, mereka juga meyakini bahwa tanah Hindia ini “bukan negeri milik Anda (penjajah Belanda). Negeri ini adalah negeri milik kami, Tanah Air kami. Kelak negeri akan bebas selamanya”.
Kalimat itu milik Douwes Dekker, seorang Indo-Eropa. Orang ini juga yang pada 1913 menulis sebuah surat dukungan saat Soewardi dan Tjipto dibuang Belanda. Katanya: “Sekarang akhirnya kita merasakan bahwa kita tidak saling lawan; kita, bangsa Hindia, tidak juga bersebelahan satu sama lain, melainkan bersatu. Dengan terkejut kita menyadari apa yang terjadi: urusan mereka adalah urusan kita. Penderitaan mereka adalah penderitaan kita. Serentak segalanya menjadi begitu tajam dan jelas bagi kita: Kita bersaudara: kita adalah satu.”
Apakah Liem Koen Hian atau Douwes Dekker dan sesama rekan-rekan yang mendukungnya tidak mengambil risiko dan tidak nekat? Tentu tidak.
Risiko mereka juga terang: sebagai Cina, tentu Liem tahu bahwa stereotipe dan kebencian terhadap mereka itu ada, sedangkan Dekker jelas akan selalu dianggap oleh bumiputera sebagai “orang-sana” karena berkulit putih dan berhidung mancung. Liem dan Dekker juga sama-sama menganut agama minoritas.
Mengikuti penalaran Anies, jika Indonesia tidak merdeka, mereka akan dianggap bukan Tionghoa dan Eropa (karena sudah mendukung tanah air Hindia/Indonesia). Jika Indonesia merdeka, belum tentu mereka diakui sebagai sepenuhnya WNI oleh bumiputera.
Seperti halnya ada keturunan Arab pendiri IAV yang menolak menjunjung Indonesia sebagai tanah air, tentu saja keturunan Cina dan Indo juga sangat banyak yang tidak mau bergabung dengan nasionalisme Indonesia. Mayoritas keturunan Indo bisa dikatakan sangat ragu, bahkan menolak, mendukung gagasan Dekker.
Namun cukuplah dikatakan: kalimat Anies yang berbunyi “Tidak ada yang lain yang melakukan itu kecuali keturunan Arab di Indonesia” jelas keliru.
Anies: Apa yang terjadi? Begitu Indonesia merdeka partainya membubarkan diri. Bapak-bapak ibu sekalian cari di dunia mana ada sebuah partai membubarkan diri karena tujuan telah tercapai. [...] Membubarkan diri, bukan dibubarkan. [...] mengambil sikapnya non-kooperatif. gabungan sesudah itu dengan MIAI, Majelis Islam A’la Indonesia.
Membubarkan diri ini problematis atau masih sumir. MIAI jelas dibubarkan oleh Jepang, lalu dibentuklah Masyumi. Bagaimana dengan PAI? Hamid Algadri, salah seorang tokoh keturunan Arab, dalam buku Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab Indonesia menulis di halaman 130: “Setelah bermanis-manis dengan Indonesia beberapa waktu, semua partai politik dibubarkan oleh Jepang, di antaranya PAI.”
Kemungkinan “membubarkan diri” dalam istilah Anies adalah setelah kemerdekaan, ketika Maklumat X yang menyerukan pendirian partai-partai diparaf Hatta pada 3 November 1945, PAI sempat dibentuk lagi. Namun, karena partai-partai yang ada sudah membuka diri kepada keturunan Arab, maka tidak diperlukan lagi PAI. PAI pun dibubarkan.
Anies keliru ketika menyebut PAI (atau juga MIAI di mana PAI akhirnya bergabung—dalam hal ini Anies benar) berkiprah dalam politik masa itu dengan berhaluan non-kooperatif. Istilah non-kooperatif merujuk sikap/pendirian yang tidak bersedia bekerja sama dengan pemerintah kolonial. PKI dan PNI-Baru jelas non-kooperatif, tapi PAI tidak pernah bersikap non-kooperatif.
Jika bersikap non-kooperatif, mustahil PAI diizinkan berdiri. Pada 1934, konservatisme pemerintah kolonial sedang kuat-kuatnya. Sukarno, Hatta, dan Sjahrir dibuang. Tidak ada lagi main-main dengan partai-partai progresif dan revolusioner.
Kalau mau eksis dan aman, berpolitiklah dalam kerangka sistem kolonial—yang untuk sebagian berarti mengakui dan bersedia bergabung di Volksraad. A.S. Alatas, Ketua PAI yang terpilih menggantikan AR Baswedan yang sakit pada 1938, adalah anggota Volksraad.
Sikap non-kooperatif terkesan lebih heroik, atau mengesankan sikap keras dan tanpa kompromi kepada Belanda. Tentu Anies tidak ingin sedang mengatrol level heroisme keturunan Arab ketika menyebut PAI sebagai partai non-kooperasi. Anies, sekali lagi, sepertinya lupa, atau barangkali luput soal detail.
Penulis: Zen RS
Editor: Maulida Sri Handayani