tirto.id - Sepakbola Inggris memang selalu menarik untuk dibahas, dari kesebelasan nasional yang kerap jadi bulan-bulanan di ajang internasional, klub, pemain, hingga para pemangku kepentingannya. Di balik kegemerlapan sepakbola Inggris, ada banyak cerita yang bisa membuat kita berdecak kagum hingga menggelengkan kepala.
Kegiatan melatih klub besar dan mendatangkan prestasi melimpah seperti Jose Mourinho di Chelsea atau Pep Guardiola di Barcelona ihwal yang lumrah. Namun, bagaimana jadinya bila berbagai trofi prestisius sukses didaratkan tatkala melatih klub berlevel gurem? Rasanya tentu sangat istimewa dan itu dilakukan oleh sosok Brian Clough.
Bagi publik Inggris, Brian Clough merupakan perwujudan banyak hal. Ia pelatih berbakat, bisa memanfaatkan sumber daya yang ada secara maksimal, seorang motivator ulung, serta kesayangan media-media lokal yang komentarnya dinanti untuk headline. Clough, sebagaimana ditulis The Guardian, adalah perpaduan kesombongan, kemurahan hati, dan keraguan yang membawa klub semacam Nottingham Forest berjaya di panggung Eropa sebanyak dua kali.
Hancur dan Jaya di Klub Semenjana
Sebelum alih profesi jadi pelatih, Clough dikenal sebagai penyerang haus gol. Ia tercatat pernah membela Middlesbrough dan Sunderland. Berdasarkan catatan UEFA, sewaktu di Middlesbrough, Clough menjaringkan 197 gol dari 213 pertandingan. Saat di Sunderland, ia mencetak 54 gol dari 61 laga. Sayangnya, statistik moncer tersebut tidak berlangsung lama. Di usia yang masih bisa dikatakan matang pada 29 tahun, Clough musti pensiun dini akibat cedera lutut parah pada 1962. Namun, musibah itu justru membuat namanya semakin melambung.
Selepas gantung sepatu, Clough diminta menangani tim junior Sunderland barang sejenak. Tak lama kemudian, pada Oktober 1965, ia direkrut Hartlepool United dan menjadi manajer termuda, usianya 30 tahun kala itu. Guna melancarkan misinya, ia mengajak rekannya saat di Middlesbrough, Peter Taylor untuk duduk di bangku asisten. Clough-Taylor menjadi dynamite duo dalam kancah sepakbola Inggris. Mirip John Lennon-Paul McCartney di The Beatles atau Mick Jagger-Keith Richards di The Rolling Stones.
Masa-masa di Hartlepool tidak berlangsung mulus. Dia dipecat usai setahun menjabat manajer. Namun, ia tak butuh waktu lama menganggur. Pada 1967, ia pindah ke Derby County. Di klub inilah, Clough memperoleh momentum kejayaan pertama: promosi ke Divisi I dengan rekor 22 kali bertanding tanpa kalah, juara liga utama setahun selanjutnya dengan mengalahkan Liverpool dan Leeds United, serta mencapai babak semifinal Piala Eropa—sekarang Liga Champions—sebelum akhirnya dikalahkan Juventus. Kunci kesuksesan Clough di Derby ialah strategi transfer pemain yang jitu dan determinasi juang para pemain di lapangan.
Kendati begitu, kesuksesan tersebut turut membawa dampak buruk bagi relasi Clough-Taylor. Benih-benih permusuhan antara keduanya mulai muncul akibat akumulasi perang ego, miskomunikasi, dan sikap bebal merasa paling benar yang dijunjung satu sama lain. Contohnya ialah Clough tidak memberitahu Taylor ketika dirinya mendapatkan kenaikan gaji sebesar £5.000. Akhirnya, pada 1973, mereka mengundurkan diri. Aksi turun ke jalan meminta mereka bertahan yang dilakukan publik Derby tidak membuat Clough-Taylor berubah pikiran.
Usai cabut dari Derby, Clough mengalami fase terendah dalam karier kepelatihannya yang baru saja dirintis. Dari Derby ia menuju klub Divisi III, Brighton and Hove Albion. Di klub ini, Clough benar-benar merasakan bagaimana sepakbola tidak seindah yang dibayangkan.
Mengutip These Football Times, di Brighton and Hove Albion, Clough merasakan kerasnya kultur bola yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ia dihadapkan pelbagai situasi pahit: persaingan keras sesama tim gurem di kompetisi, sumber daya yang jauh dari ekspektasi, hingga buruknya tata kelola manajemen.
These Football Times menuturkan, enam bulan jabatan Clough di Brighton dapat dibagi ke tiga periode: dua bulan pertama (November-Desember) yang memalukan akibat serangkaian kekalahan telak, dua bulan penuh harapan (Januari-Februari), serta dua bulan (Maret-April) inkonsistensi. Berkaca dari kondisi tersebut, Clough gagal membawa Brighton ke posisi lebih layak.
Bukannya berupaya keras membenahi situasi, Clough malah mengambil langkah sembrono dengan menyetujui tawaran klub besar yang bermarkas di Elland Road, Leeds United. Fakta pindahnya Clough ke Leeds sangat mengagetkan mengingat, pertama, ia pernah mengatakan Leeds adalah “klub sekelompok pencuri” dan yang kedua, ekspektasi di Leeds begitu tinggi sebab saat ditinggal Don Revie—manajer sebelumnya—Leeds berstatus klub papan atas.
Jika menangani klub gurem saja gagal, lantas bagaimana dengan klub high-profile macam Leeds?
Ia tetap ngeyel dan meninggalkan sejumlah pekerjaan rumah di Brighton. Mulanya, ia mengajak Taylor. Namun, Taylor menampik serta memilih bertahan di Brighton atas nama loyalitas. Bukannya membaik, Clough justru kian terpuruk. Waktunya di Leeds dihabiskan dengan acara ribut bersama pemain dan direksi, alih-alih meningkatkan prestasi. Ujung-ujungnya, Clough didepak setelah hanya 44 hari bekerja.
Namanya hidup tak selalu bernasib buruk. Pada musim panas 1976, Clough melatih Nottingham Forest. Ia kembali reuni dengan Taylor setelah keduanya berbaikan. Perlahan, apa yang ia lakukan dulu di Derby, ia tularkan bersama Nottingham Forest. Bermodalkan semangat tinggi, kejelian jual-beli pemain, dan kekompakan, Clough mengubah Nottingham jadi klub tahan banting serta berdaya saing.
Pada 1977, Nottingham dibawa naik kasta. Setahun kemudian, mereka juara liga. Selain itu, berbekal pemain macam Archie Gemmil, Martin O’Neill, John Robertson, Peter Shilton, hingga Trevor Francis, pada 1979 dan 1980, Nottingham Forest sukses juara Piala Eropa usai mengalahkan Malmo dan Hamburg SV. Clough juga membawa Nottingham mengangkat Piala Liga sebanyak empat kali.
Bagaimanapun juga, kejayaan tak serta merta berlangsung lama. Memasuki era 1980-an, prestasi Nottingham Forest mulai seret. Mereka lebih sering menghabiskan waktu di papan tengah dibanding bersaing merebut mahkota juara.
Keadaan tersebut diperparah dengan defisitnya kas keuangan klub serta konfliknya bersama Taylor yang lagi-lagi memanas sehingga membuat keduanya berpisah pada 1982 dan tak pernah bertegur sapa setelahnya hingga kematian Taylor pada 1990. Merasa tak punya arah, pada 1993, Clough memutuskan berhenti melatih Nottingham usai 17 tahun mengabdi.
Yang Dicinta dan Dibenci
Sosok Clough tak bisa dilepaskan dari kontroversi, rasa cinta, dan pengaruh baik di dalam maupun luar lapangan. Perangai serta kata-katanya selalu jadi senjata dan santapan empuk orang-orang. Misalnya, pada 1989, ia menyerang beberapa pendukung Nottingham Forest yang masuk ke lapangan saat hendak merayakan kemenangan melawan Queen Park Rangers. Akibat hal itu, ia didenda £5.000.
Kemudian, saat Derby dari Juventus di babak semifinal Piala Eropa, ia menghardik reporter media lokal yang tengah hamil dengan kalimat, “Saya tidak akan berbicara dengan bajingan yang curang,” lantas menutup pintu ruang ganti.
Lebih dari itu, pasca tragedi Hillsborough di Sheffield yang menewaskan 96 orang pada 1989 akibat suporter berjejalan di stadion, Clough mengatakan bahwa penyebab tragedi adalah karena ulah suporter Liverpool yang mabuk. Tragedi Hillsborough terjadi saat pertandingan semifinal Piala FA antara Liverpool melawan Nottingham Forest. Saat itu, Clough merupakan pelatih Nottingham.
Pernyataan Clough membekas bagi para pendukung Liverpool. Dampaknya, saat Liga Inggris memberikan penghormatan untuknya sebelum kick-off pertandingan Manchester United dan Liverpool di Old Trafford, pendukung Liverpool banyak yang menyorakinya.
Di balik segala kontroversinya, Clough punya sisi lain juga. Semasa menukangi Derby County, ia dikenal dekat dengan pekerja tambang. Kala demonstrasi besar-besaran yang diinisiasi para penambang merebak pada 1970-an, Clough beberapa kali tertangkap mata turut serta dalam aksi tersebut.
Selain itu, dalam sejumlah kesempatan, Clough juga memberikan tiket gratis menonton pertandingan Derby pada beberapa penambang di samping memberikan sejumlah donasi untuk serikat pekerja.
Clough sempat ditawari Partai Buruh untuk menjadi kandidat di Parlemen Inggris. Sebetulnya ia bisa saja menerima tawaran menggiurkan tersebut. Namun, Clough kadung cinta dengan sepakbola dan dua kali tawaran Partai Buruh ia tolak.
Clough memang bukan Rinus Michels—pelatih Ajax Amsterdam—yang revolusioner dan meninggalkan panduan dasar total football bagi sepakbola dunia. Bukan pula Bill Shankly, yang membentuk cetak biru karakter permainan Liverpool. Clough hanya pelatih biasa yang membuat sepakbola menjadi nyawa bagi masyarakat kota kecil seperti Derby County hingga Nottingham. Ia juga hanya ingin orang-orang di sekitarnya merasa senang dengan apa yang ia beri lewat sepakbola.
“Saya tidak ingin ada julukan sejarah atau sejenisnya [kepada saya],” ungkap Clough. “Saya berkontribusi. Saya berharap mereka akan mengatakan itu dan, saya berharap seseorang bisa menyukai saya.”
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Suhendra