Menuju konten utama

Hat-trick Zlatan dan Perayaan Gol yang Amat Kalem

Mengapa Ibrahimovic amat kalem merayakan hat-trick pertamanya untuk Man United?

Hat-trick Zlatan dan Perayaan Gol yang Amat Kalem
Selebrasi striker Manchester United, Zlatan Ibrahimovic setelah mencetak tiga gol ke gawang St Etienne. FOTO/Getty Images

tirto.id - Sekalipun menang dengan skor mencolok, 3-0, tak ada yang terlalu istimewa dari kemenangan Manchester United atas Saint Etienne di Old Trafford (17/2). Siapalah itu St. Etienne yang “hanya” mampu memakai dana transfer tak sampai 1% dari dana belanja pemain yang dihabiskan United di awal musim lalu?

Jika ada yang membuat kisah kemenangan ini cukup layak dibicarakan, maka itu hanyalah cerita soal hat-trick pertama Zlatan Ibrahimovic untuk United. Apalagi hanya dari kakinya saja United bisa mencetak gol pada pertandingan tersebut.

Gol-gol Ibra pada laga leg pertama babak 32 besar Liga Europa itu sebenarnya cenderung biasa saja, bahkan bisa dibilang hambar. Tidak ada gol-gol ajaib yang kerap muncul dari kaki atau kepalanya. Tidak ada salto dari jarak 45 meter seperti saat mencetak gol ke gawang Joe Hart, tendangan voli ke gawang Prancis, atau melewati separuh pemain lawan seperti saat masih bermain di Ajax Amsterdam.

Tiga gol yang terjadi lahir dari tendangan bebas yang memantul pagar betis, sepakan bola rebound tendangan Marcus Rashford, dan eksekusi penalti hasil diving Ibrahimović sendiri, tentu tidak bisa disebut sebagai kreasi yang ajaib. Lebih-lebih, Ibrahimović juga tidak merayakan ketiga golnya dengan berlebihan. Hanya berdiri di posisi ia mencetak gol, membentangkan kedua tangannya, dan rekan-rekan setim datang menyelamatinya. Itu saja. Tak lebih.

Saat mencetak gol, tubuh pesepakbola akan mempercepat produksi hormon testosteron dan adrenalin. Gairah yang keluar begitu meluap-luap dan menjadikannya agresif. Hal inilah yang tidak terlihat dari perayaan di ketiga gol Ibrahimović.

Cara Ibrahimovic merayakan hetrik pertamanya di United dengan ekspresi yang biasa-biasa saja ini berkebalikan dengan pengakuan Ronaldo Nazario Luis Da Lima soal bagaimana rasanya mencetak gol. Legenda yang oleh Ibrahimović dijadikan role model sepanjang kariernya sebagai pesepakbola ini punya kesan sendiri bagaimana rasanya mencetak gol: “Seperti seks.”

Tentu berbeda dengan gol yang dicetak ketika bermain sepakbola di lapangan kampung atau pematang sawah. Sepakbola yang dibicarakan di sini adalah sepakbola yang dimainkan dengan tensi penuh tekanan, atmosfer yang mengintimidasi, dan perasaan takut kalah yang lebih mengancam. Itulah yang membuat perayaan gol bisa sangat liar dan brutal, bahkan sampai melukai diri sendiri, karena euforia yang begitu membahagiakan sehingga nyaris tak terkendali.

Itulah mengapa banyak perayaan gol yang dilakukan dengan sangat berlebihan, berakhir konyol (seperti menerima kartu kuning), atau bahkan berakhir dengan cedera, sampai mengakibatkan kematian.

Seperti yang terjadi pada Peter Biaksangzuala pada 2014 lalu. Pemain Bethlehem Vengthlang FC yang berkompetisi di Mizoram Premier Legue, sebuah liga kelas amatir di India, menghembuskan napas terakhirnya karena terlalu agresif merayakan gol.

Bermaksud melakukan salto setelah mencetak gol ke gawang Chanmari West FC, Biaksangzuala malah keliru timing. Pada lompatan pertama pemain 23 tahun ini sukses saat masih menggunakan tangannya. Sayangnya, pada lompatan pamungkas, tubuh Biaksangzuala memutar sedikit dan ia hanya menggunakan kaki sebagai pelontar tenaga. Tenaga lompatan yang kedua inilah yang jadi petaka. Tenaganya tidak cukup besar untuk memberi daya putaran berbalik 360 derajat. Mendarat dengan bagian kepala terlebih dulu, Biaksangzuala langsung tak sadarkan diri. Dua hari kemudian, di Rumah Sakit New Delhi, nyawa Biaksangzuala tak bisa diselamatkan karena mengalami patah tulang belakang.

Adrenalin yang mengucur begitu deras karena terlalu bahagia usai mencetak gol memang acap membuat pemain lupa diri. FIFA sempat merespons dengan berencana mengeluarkan imbauan agar pemain tidak melakukan perayaan berlebihan. Sekalipun sempat berencana untuk menjadikannya sebagai aturan resmi, FIFA akhirnya sadar sangat sulit mengatur perayaan gol.

Ibrahimović memang bukan pemain yang dikenal dengan perayaan gol yang aneh-aneh. Ia bukanlah Miroslav Klose yang suka melakukan salto tanpa menggunakan tangan, Obefermi Martins yang bisa melakukan salto dalam 5-6 putaran, atau Luis Nani yang kerap melakukan salto ke arah belakang. Namun, Ibrahimović juga bukanlah pemain yang biasa saja menyambut golnya.

Infografik Selebrasi Ibrahimovic

Ada alasan sendiri kenapa Ibrahimović juga tidak merayakan golnya secara emosional, mengingat ini bukan hanya hetrik pertamanya untuk United, tapi juga hetrik pertamanya pada laga di Europa League.

“Kami memainkan laga yang bagus tapi sebenarnya kami bisa melakukan hal yang lebih baik dari itu,” tutur Ibrahimović.

Hasil ini memang modal yang bagus untuk menyambut laga kedua di kandang St. Etienne. Namun mengingat Europa League bukanlah habitat United, maka kemenangan ini bukanlah sesuatu yang patut dirayakan berlebihan. United belum mendapatkan apa-apa. Ini baru babak 32 besar. Baru awal.

Dengan usia yang sudah 35 tahun, Ibrahimović yang terbiasa berlaga di laga-laga besar sekelas Liga Champions, Piala Eropa, atau bahkan Piala Dunia, lebih memilih fokus menghadapi pertandingan berikutnya yang lebih penting dari sekadar catatan hetrik. Tuntutan United ke pundaknya jauh lebih besar daripada jumlah gol. Kemampuannya mencetak gol ketika menghadapi pertandingan-pertandingan sulit adalah alasan Jose Mourinho memilihnya.

Meminjam mulut Mario Balotelli, “Seorang tukang pos tidak merayakannya saat ia berhasil mengantarkan surat, kenapa saya harus melakukannya (juga) ketika mencetak gol?”

Baca juga artikel terkait EUROPA LEAGUE atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Olahraga
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS