Menuju konten utama

PS TNI & PSMS Medan: Ketika Jenderal Berbisnis Sepakbola

Gatot Nurmantyo dan Edy Rahmayadi menerabas aturan sumpah prajurit demi ambisi memiliki klub sepakbola.

PS TNI & PSMS Medan: Ketika Jenderal Berbisnis Sepakbola
Gatot Nurmantyo & Edy Rahmayadi. tirto.id/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Joko Driyono dan Gede Widiade (Persija), Glenn Sugita (Persib Bandung), Pieter Tanuri (Bali United), Iwan Budianto (Arema FC), dan Azrul Ananda (Persebaya) adalah nama-nama pengusaha pemilik klub sepakbola yang kerap muncul di media.

Namun, dari nama-nama itu, ada dua profil lain yang menjadi pusat pemberitaan di lapangan non-sepakbola tetapi jarang disebut sebagai pemilik klub. Dari 18 klub yang berlaga di Liga 1 musim 2018/2019 ini, ada dua klub yang dimiliki mantan jenderal. Ya, Anda sudah menduga: Dua klub itu PS TNI dan PSMS Medan.

Pemilik sah PS TNI (musim ini ganti nama menjadi PS TIRA) adalah Gatot Nurmantyo, mantan panglima TNI (2015-2017). Gatot memiliki saham mayoritas 63 persen atau senilai Rp6,93 miliar di PT Cilangkap TNI Jaya, legal dari PS TIRA.

Sementara pemilik saham mayoritas PT Kinantan Indonesia, legal PSMS Medan, adalah Edy Rahmayadi, mantan panglima Kostrad (Juli 2015-Januari 2018). Edy memegang 51 persen saham di perusahaan tersebut.

Selain pemilik saham dominan, keduanya adalah komisaris utama perusahaan.

Kedekatan dua perwira tinggi ini dengan klub sepakbola sudah diketahui publik, tetapi jarang mengenalkan diri sebagai pemilik klub, alih-alih menyebut diri sebagai "dewan pembina".

Konsekuensi sebagai pemilik sebuah perusahaan yang menguasai bisnis sepakbola bisa panjang. Salah satunya, dan mungkin yang terutama, mereka bisa dinilai melanggar pasal 39 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang mengatur tugas seorang prajurit TNI.

Dalam pasal itu prajurit TNI seperti Gatot dan Edy dilarang terlibat dalam: 1. Kegiatan menjadi anggota partai politik; 2. kegiatan politik praktis; 3. kegiatan bisnis; 4. dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.

Dalam perkara ini, mereka berdua sangat mungkin melanggar aturan terlibat dalam kegiatan bisnis.

Gatot Nurmantyo dan Edy Rahmayadi memang sudah bukan tentara aktif lagi. Usai pergantian panglima pada Desember 2017, Gatot tinggal menunggu hari pensiun per 31 Maret nanti.

Sedangkan Edy resmi pensiun per 4 Januari 2018. Dengan umur masih 57 tahun, Edy sebetulnya masih punya satu tahun masa dinas di TNI. Namun, ia pensiun dini untuk mengejar ambisi politik sebagai gubernur Sumatera Utara dalam Pilkada serentak 2018.

Meski begitu, sewaktu memiliki PS TNI (nama klub saat itu) dan PSMS Medan, mereka masih perwira aktif. Artinya, mereka melakukan kegiatan bisnis di bidang sepakbola.

Dalam dokumen PT Kinantan, nama Edy Rahmayadi tercatat sebagai pemilik saham sejak Juli 2015. Saat itu legal yang dipakai PSMS masih bernama PT Ayam Kinantan Medan. Edy menguasai 55 persen saham di perusahaan tersebut.

Sementara kiprah Gatot Nurmantyo mengurusi sepakbola belum terlalu lama. Namanya baru tercatat sebagai pemilik saham PS TNI sejak Januari 2017.

Kalangan internal TNI melazimkan bahwa setahun sebelum pensiun, prajurit dibolehkan berbisnis asalkan atas sepengetahuan atasan. Meski demikian, hal macam ini dibantah Connie Rahakundini Bakrie, seorang pengamat militer.

"Enggak ada itu. Mau pensiun sekalipun selama masih bertugas itu enggak boleh. Tetapi kalau dalam organisasi seperti koperasi, ya boleh. Kalau untuk kepemilikan saham di perusahaan, enggak boleh," katanya kepada Tirto.

Meski kedua perwira tinggi itu kini pensiun dan bebas tugas, pengusutan atas keterlibatan bisnis mereka dalam sepakbola semestinya tetap diusut oleh pengadilan militer karena saat itu keduanya masih aktif sebagai personel TNI. "Pengadilan militer TNI mestinya dapat berfungsi dengan fair dan mau menegakkan hukum," ucap Connie.

Kami mengonfirmasi potensi pelanggaran ini kepada Gatot Nurmantyo sejak pekan lalu. Namun ia tak merespons sampai artikel ini dirilis.

Sementara Edy Rahmayadi baru merespons Kamis pagi kemarin, 22 Maret. Ketika disodorkan pertanyaan bahwa ia memiliki saham di PSMS Medan, Edy menjawab:

"Kalau saham, kan, [logikanya] industri. Jadi pembinaan sepakbola itu ada dua: pembinaan olahraga dan pembinaan industri. Tolong dipisahkan. Kedua itu enggak bisa sama," ujar Edy.

Ia juga menilai bahwa keterlibatannya dalam perusahaan yang menaungi PSMS Medan bukan sebuah masalah. "Tunjukkan kepada saya bahwa saya melanggar (undang-undang)," katanya.

Setelah kami menyebut bahwa ada celah pelanggaran dalam pasal 39 UU TNI, Edy menjawab: "Apanya bisnis? Ini bukan bisnis? Ampun, deh. Ini menangani industri pengaturan membantu persepakbolaan. Kalau bisnis itu ada untung rugi. Coba saya tanya: bisnis bola ini untung atau rugi? Anda belum tahu ini."

Edy terus menekankan pernyataan yang sama setelah kami mendesak soal potensi pelanggaran seorang prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis. "Saya tanya kamu tahu dulu: industri bola itu bisnis atau bukan? Kamu belum tahu. Kamu sudah protes seperti itu."

"Saya beritahu kamu, kamu coba tanya ke klub yang paling gede sahamnya itu ada di Persib. Coba kamu tanya ke salah satunya adalah Umuh [Muchtar]. Tanya sama dia: untung atau rugi? Atau mau saya beritahu lagi, mau klub apa yang kamu tanya? Karena semua klub di bawah saya, kan saya Ketum PSSI," ujar Edy.

Umuh yang dimaksud Edy adalah salah satu pemilik saham di PT Persib Bandung Bermartabat. Di perusahaan yang menaungi klub Persib ini, Umuh dkk (atau dikenal "geng Bandung") memiliki 30 persen saham, sementara konsorsium Glenn Sugita dkk memegang 70 persen saham.

Awal Mula Edy Rahmayadi menjadi Pengurus PSMS Medan

Campur tangan Edy Rahmayadi di PSMS sudah diketahui publik sejak Maret 2015 saat ia masih menjadi Panglima Kodam Bukit Barisan (Januari 2015-Agustus 2015). Sebulan sebelum kompetisi Divisi Utama 2015 digelar, Edy mengambil alih klub berjuluk Ayam Kinantan itu.

Saat itu kepengurusan PSMS dipegang oleh Indra Sakti. Edy mendepak Indra dan memasukkan orangnya, Mahyono, sebagai ketua umum. Edy hanya menyelip sebagai dewan pembina. Hingga kini di media pun ia selalu mengklaim sebagai dewan pembina PSMS.

Sejarah PSMS Medan adalah hikayat keruwetan pengelolaan sepakbola di Indonesia. Berbeda dari klub lain yang memakai perseroan yang sama dan ajek sejak beralih dari perserikatan (seperti Persib lewat PT Persib Bandung Bermartabat atau Persebaya lewat PT Persebaya Indonesia), perusahaan yang mengorkestrasi PSMS Medan acap berbeda saban musim kompetisi berganti. Semua tergantung pada investor baru yang masuk-keluar mengurusi klub yang bermarkas di Kota Medan itu.

Saat 2008, PSMS memakai legal PT Pesemes Medan, lalu berganti jadi PT Togos Gopas ketika Sihar Sitorus jadi pemodal pada 2009. Perusahaan berubah lagi jadi PT Bintang Medan Metropolitan ketika PSMS Medan di bawah Idris dalam kisruh kompetisi Indonesia Premier League (IPL) pada 2011.

Perusahaan berubah kembali ke PT Pesemes Medan saat orang-orang IPL tersingkir. Pada 2013, Indra Sakti menguasai PSMS Medan dan memakai perusahaan PT Perintis Raya Sakti.

Fase sesudah Indra Sakti inilah Edy Rahmayadi mulai terlibat bersama Mahyono, dengan memakai legal baru lewat PT Ayam Kinantan Medan. Terakhir, ketika Kodrat Shah dan Dodhy Thahir masuk, nama perusahaan berganti menjadi PT Kinantan Medan Indonesia.

"Ganti-ganti PT gini sebenarnya bingung. Tapi anggota klub perlu diakomodasi, terwakili oleh pemegang saham tertinggi," kata Julius Raja, Sekretaris PSMS yang juga perwakilan klub, kepada Tirto pada Senin lalu, 19 Maret.

Anggota klub yang dimaksud Julius adalah 40 klub persatuan yang bernaung di bawah PSMS. Sebagai klub eks-perserikatan, PSMS dulunya memang gabungan dari 40 klub internal di Kota Medan.

Berbeda dari Persib saat suara 36 klub internal tersingkir, transisi dari perserikatan ke pengelolaan yang "profesional" di PSMS Medan tetap mengukuhkan ke-40 klub persatuan mereka.

Mereka cenderung berkuasa dan menuntut investor semau mereka. Meski sudah menggelontorkan uang, kedatangan investor tak secara otomatis memiliki PSMS. Hak kepemilikan tetap di tangan 40 klub. Inilah mengapa ke-40 klub bisa leluasa mengalihkan pengelolaan "profesional" kepada siapa saja yang mereka kehendaki. Pendeknya, kedekatan relasi bisnis dan politik menjadi faktor penting.

Lihat juga Tirto Visual Report:PT. Persib: Blunder Dada Rosada

Dalam konteks itulah Edy Rahmayadi sepakat ditunjuk oleh perwakilan ke-40 klub untuk mengurus PSMS, ujar Julius Raja. Penunjukan ini direalisasikan lewat kepemilikan saham 51 persen pada legal PSMS lewat nama Edy.

"Dalam rapat, beliau diundang. Ia mengusulkan, 'Udah dibungkus aja jadi satu' lewat beliau. Saat rapat, anggota kami pun sepakat. Kami yakin dan percaya beliau tidak akan menjual PSMS karena itu kami pun memberikan," cerita Julius.

Direktur PT Kinantan, Dhody Thahir, bercerita bahwa kepemilikan saham Edy di PSMS sebetulnya sudah dilakukan ketika PSMS masih dikelola oleh PT Ayam Kinantan Medan. Pada perusahaan itu nama Edy muncul sebagai pemegang saham bersama Parlin Siagian dan Mahyono.

Saat beralih ke PT Kinantan Medan terjadilah akuisisi oleh Dhody dan Kodrat Shah. Dhody adalah pengusaha yang terkenal di Medan. Sementara Kodrat adalah politisi lokal, Ketua DPD Hanura Sumatera Utara dan Ketua Pemuda Pancasila Sumut.

"Saham dari Pak Parlin dijual ke Pak Kodrat, sedangkan Pak Mahyono dijual ke saya. Kalau Pak Edy, tetap enggak berubah," kata Dhody kepada Tirto, Selasa kemarin, 20 Maret.

Klaim Dhody sesuai akta perusahaan PT Ayam Kinantan Medan. Dalam komposisi saham perusahaan, Edy Rahmayadi menguasai 55 persen saat ia menjabat Pangdam Bukit Barisan pada 2015.

Edy berkata kepada kami bahwa ia terlibat di PSMS sebagai bentuk relasi yang emosional. "Aku, kan, dulu pemain PSMS, tahun 1975 jadi pemain PSMS junior. Tahun 1998 jadi pengurus. Memang PSMS tak berpisah dengan Edy Rahmayadi. Ini hanya motivasi aku sebagai anak Medan, " ujarnya.

Infografik HL Indepth Bolamania

PS Gatot Nurmantyo atau PS TNI?

Pada musim kompetisi 2017/2018, ada dua klub peserta Liga 1 membawa bendera pemerintah: PS TNI dan Bhayangkara FC. Keduanya punya perbedaan mendasar dalam perkara bentuk kepemilikan.

Di Bhayangkara FC, mayoritas 90 persen saham dimiliki oleh Koperasi Zebra Jaya, yang menaungi pegawai dan eks-karyawan Korps Lalu Lintas Mabes Polri. Koperasi ini beralamat di Jalan Letjen M.T. Haryono Kaveling 37-38, satu alamat dengan Korlantas Polri. Tidak ada individu polisi aktif yang memiliki saham.

Itu berbeda dari PS TNI. Dalam susunan saham PT Cilangkap TNI Jaya terbaru per 12 Agustus 2017, masing-masing ketiga matra dan induk TNI memiliki 1 persen saham, yakni Induk Koperasi TNI AD, TNI AU, TNI AL, dan Pusat Koperasi Mabes TNI. Masing-masing dari mereka memegang saham senilai Rp110 juta.

Saham kedua terbesar di perseroan yang menguasai PT TNI dipegang oleh PT Mulia Talenta Sukses, dengan nilai saham Rp3,63 miliar. Saham yang paling besar, sebagaimana kami tulis pada awal artikel ini, dimiliki oleh Gatot Nurmantyo sebesar 63 persen.

Musim ini PS TNI ganti nama menjadi PS TIRA—singkatan dari "TNI Rakyat". Mereka juga pindah markas dari Bogor ke Bantul, Yogyakarta. Saat acara peluncuran klub di Stadion Sultan Agung pada Minggu, 18 Maret lalu, Gatot hadir di sana.

Di depan media, Gatot diperkenalkan sebagai "Ketua Dewan Pembina" padahal sebetulnya pemilik klub. Sebelum kompetisi tahun lalu bergulir, Gatot menyambangi skuat PS TNI saat berlatih di Markas Kopassus, Cijantung. Ia juga menyempatkan datang pada laga perdana PS TNI musim lalu saat bersua dengan Borneo FC.

Mengingat konfirmasi kami kepada Gatot tak direspons hingga artikel ini dirilis, kami kesulitan untuk mengetahui cerita awal mula dan alasan apa yang melatari sang mantan panglima terjun ke PS TNI. Hanya saja, Sekretaris Umum PS TNI, Yandri, mengatakan pada kami bahwa Gatot adalah pendiri klub ini.

"Beda dari Bhayangkara FC. Kalau PS TNI boleh cenderung secara perorangan, tidak terikat dengan TNI. Tapi karena membawa nama TNI, biar gimana untuk pembina dan pengurus pasti dari TNI," katanya.

Hal ini dibenarkan oleh Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Mayor Jenderal Sabrar Fadhilah. "Kalau di sana orang TNI yang mengurus itu benar. Tapi tidak ada dikontrol langsung oleh Mabes," katanya.

Artinya, meski posisi Panglima TNI sudah berganti ke Marsekal Hadi Tjahjanto, posisi Gatot sebagai pemilik saham klub tak akan tergantikan sampai ada perubahan kepemilikan. Yandri mengatakan bahwa wacana melibatkan Marsekal Hadi memang muncul, tetapi posisinya adalah jabatan nonstruktural.

"Ya seperti pelindung atau apalah. Kalau soal saham, belum bisa. Itu hak Pak Gatot," ujarnya.

Gatot memang pemilik saham mayoritas di PT Cilangkap TNI Jaya. Namun, bagaimana ia menjalankan sebuah bisnis sepakbola? Dari mana sumber uang PT TIRA untuk melicinkan mesin operasional, gaji pemain dan pelatih, perawatan stadion, biaya kompetisi dan sebagainya? Siapa pengusaha di belakang sang jenderal?

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan & Felix Nathaniel
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam