tirto.id - Pengamat sepak bola nasional, Budiarto Shambazy, menilai, multistatus Edy Rahmayadi di kancah sepakbola nasional menimbulkan konflik kepentingan. Hasilnya, Edy tidak berhasil menjalankan tugasnya sebagai Ketua Umum PSSI secara maksimal.
Edy, sembari bertugas membenahi sepakbola nasional yang kadung carut-marut, juga merupakan pembina PSMS Medan sekaligus Ketua Umum PS TNI. Di luar jabatannya di ranah sepak bola itu, Edy juga masih berstatus sebagai tentara aktif dengan jabatan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) per 25 Juli 2015 lalu.
"Sebaiknya Edy Rahmayadi jangan lagi duduk di posisi tidak penting seperti sekarang. PSSI saja. Sebaliknya mundur sebagai Ketua Umum PS TNI dan pembina PSMS karena ada konflik kepentingan, meskipun tidak langsung," kata Budi kepada Tirto, Sabtu (14/10/2017).
Baca juga:"Suporter Ditonjok, Ditendang, dan Dipukul Pakai Bambu"
Ada faktor historis yang membuat Edy bisa memperoleh jabatan penting di dua klub tersebut. Tahun 2014 lalu, ketika konflik internal melanda PSMS Medan, Edy tampil menyelesaikan semua berkat posisinya sebagai Panglima Kodam Bukit Barisan. Malah setahun setelah timbul konflik, Edy semakin terikat dengan PSMS sebagai pembina.
Adapun PS TNI, awalnya adalah gabungan dari pemain PSMS Medan dan TNI untuk berlaga di Piala Jenderal Sudirman 2015. Tercatat ada 15 tentara, termasuk Abduh Lestaluhu dan Manahati Lestusen, yang bermain untuk klub tersebut. PS TNI kemudian memisahkan diri dari PSMS setahun setelahnya. Mereka membeli lisensi Persiram Raja Ampat agar bisa reguler bertanding di kompetisi sepak bola profesional.
Meski pisah, akan tetapi Edy tetap mempertahankan posisinya di dua klub tersebut.
Baca juga:Catatan Bentrok Suporter Olahraga yang Melibatkan Tentara
Tugas Edy sebagai Ketua Umum PSSI dengan tanggungan jabatan-jabatan itu akan semakin berat dengan kasus pengeroyokan suporter PSMS Medan kepada suporter Persita di Stadion Mini Persikabo, Cibinong, Rabu (11/10) kemarin. Dalam kasus itu, seorang suporter Persita bernama Banu Rahman meninggal dunia karena pendarahan otak. Diketahui bahwa pelaku pengeroyokan tersebut adalah gerombolan tentara dari Kostrad.
Dengan demikian, pengeroyokan hingga menyebabkan tewasnya satu orang warga sipil itu sangat berkaitan dengan sebagian besar jabatan yang sedang Edy emban (Pangkostrad, Ketum PSSI, pembina PSMS).
"Sudah tiga kejadian dalam berapa bulan terakhir ini. Di dunia ini sepertinya hanya Indonesia di mana suporternya tewas di dalam stadion (Catur Yuliantono, dalam laga Timnas Indonesia vs Fiji, September lalu). Itu semua artinya pengamanan di stadion sama sekali tidak maksimal. Sudah tidak beres dan harus ditinjau ulang," ujar Budi.
Semua tahu, soal keamanan adalah satu dari sekian tugas Edy yang faktanya belum juga bisa dibenahi.
Sementara itu, Akmal Marhali, Koordinator Save Our Soccer (SOS), menjelaskan hal yang hampir serupa. Ia menyarankan PSSI dan pemerintah, dalam hal ini Kemenpora, melakukan evaluasi total terhadap kompetisi yang mulai berjalan. Akmal juga meminta PSSI dan Kemenpora mengevaluasi keikutsertaan lembaga negara di kompetisi sepakbola profesional.
Menurutnya, sangat riskan jika aparat penegak hukum (TNI dan Polisi) ikut terlibat dalam kompetisi sebagai peserta. Potensi terjadi gesekan sangat besar. "Aparat keamanan lebih baik dikembalikan ke fungsi utamanya. Termasuk menjaga keamanan dan kenyamanan dalam pertandingan sepakbola," kata Akmal dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto.
Baca juga:Suporter Persita Tewas, Pangkostrad: Jangan Menyudutkan TNI
Tirto telah menghubungi Edy untuk menanyakan bagaimana tanggapannya soal kerusuhan tersebut, Jumat (13/10) kemarin.
Awalnya Tirto mengajukan pertanyaan: "Sejak 2016 ada setidaknya 9 suporter sepakbola tewas baik di dalam maupun luar stadion. Apa tanggapannya?" Letjen Edy malah menjawab dengan nada membentak. "Tanggapannya saya mau mundur saja jadi umum PSSI! Kamu [saja yang] jadi ketua PSSI, mudah-mudahan tidak ada yang tewas, deh."
Nada suara Edy agak melunak saat Tirto menjelaskan bahwa seorang wartawan tidak mungkin mengutip informasi dari narasumber berdasarkan pengetahuan subyektif. Selain itu, dijelaskan juga bahwa pernyataan Edy penting sebagai bentuk klarifikasi atas berbagai opini yang menyudutkan dirinya di media sosial.
"Ya emosional, pendidikan yang tidak pas, keterbelakangan," kata Edy saat mencoba menjelaskan sebab mengapa kerusuhan yang berujung tewasnya suporter masih terjadi.
Menurut Edy, kekerasan hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang terbelakang yang tidak mengenal peradaban kemajuan zaman. "Angkat kayu, angkat batu, tembak-menembak, ini kan orang-orang primitif," ujar Edy. Ironisnya Edy juga mengakui bahwa prajuritnya lah yang terlibat dalam pengeroyokan suporter tersebut.
Saat ini Kostrad tengah menginvestigasi prajuritnya yang terlibat dalam bentrokan. Edy memastikan akan memberi sanksi kepada prajurit yang terbukti bersalah. Namun, ia tidak merinci hukuman seperti apa yang akan diberikan.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti