Menuju konten utama

Kisruh PSSI, Dualisme Arema, dan Tak Ada Saham Yayasan di Arema FC

Kepentingan Jakarta via Ketum PSSI dan pengusaha telah melahirkan dua klub Arema sekaligus menyingkirkan dinasti politik lama di Kota Malang.

Kisruh PSSI, Dualisme Arema, dan Tak Ada Saham Yayasan di Arema FC
Arema FC, klub di Malang yang berhak berlaga di Liga 1. Tirto/Sabit

tirto.id - Saat ini Arema FC memakai legal PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia (AABBI). Perusahaan ini kali pertama diperkenalkan ke publik pada 2 Januari 2016. Saat itu Arema FC masih bernama Arema Cronus. (Pergantian nama dari Arema Cronus ke Arema FC terjadi pada 20 Desember 2016, atau beberapa pekan jelang kompetisi Liga 1 musim lalu bergulir).

Dalam dokumen akta perusahaan, PT AABBI didirikan pada 3 Maret 2015, atau 10 bulan sebelum dirilis ke media.

Merunut kegaduhan persepakbolaan nasional pada 2015, pemicu awal pembekuan PSSI bisa dibilang bermula dari laporan Jawa Pos yang rilis pada 26 Februari 2015.

Temuan Jawa Pos mengungkap bahwa Arema Cronus, saat itu mendaku pemilik sah dari PT Arema Indonesia, tak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).

NPWP itu dimiliki oleh Arema Indonesia, klub lain di Malang yang dikontrol Novi Acub Zaenal, istri pendiri Arema. Sejak 2011 ada dualisme Arema: Arema Cronus dan Arema Indonesia. Kedua klub ini sama-sama saling mengklaim sebagai pemilik sah PT Arema Indonesia. Berbeda dari Cronus, posisi Arema Indonesia yang bertentangan dengan pengurus PSSI, membuatnya vakum sejak 2012 seiring kompetisi Indonesian Premier League yang bubar.

Kegaduhan soal NPWP antara Arema Cronus dan Arema Indonesia membuat Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI), yang ditugasi memverikasi klub-klub peserta ISL, akhirnya melarang Arema Cronus ikut kompetisi. Larangan BOPI tak digubris oleh PSSI, yang saat itu dipimpin La Nyalla Mattalitti. Kemenpora kemudian membekukan PSSI pada 17 April 2015.

Pembekuan ini bertahan cukup lama. Kevakuman kompetisi resmi PSSI dimanfaatkan orang-orang yang disokong Kemenpora untuk menggelar turnamen singkat macam Piala Presiden, Piala Jenderal Sudirman, Piala Bhayangkara, dan liga sementara bertajuk Indonesia Soccer Championship (ISC). Alhasil, klub-klub yang semula jadi loyalis La Nyalla berbalik meninggalkannya. Puncaknya, saat Panglima Kostrad Edy Rahmayadi terpilih jadi Ketua Umum PSSI pada November 2016.

Merunut kronologis di atas dan mengaitkannya dengan pembentukan PT AABBI, artinya ada jeda lima hari antara pemberitaan di Jawa Pos dan berdirinya PT AABBI. Pada 27 Februari 2015, masih di koran Jawa Pos, CEO Arema Cronus, Iwan Budianto, mengakui bahwa Arema Cronus memang tak memiliki NPWP PT Arema Indonesia.

Lantas, apakah PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia (PT AABBI) lahir dari kepanikan? Mengingat PT AABBI mulai dipakai sejak awal 2016 padahal sudah dibentuk sejak Maret 2015 (saat konflik dengan BOPI belum memanas dan PSSI belum dibekukan oleh Kemenpora).

Kenapa butuh proses lama untuk mengenalkannya ke publik? Apa karena pihak klub masih menunggu sengketa antara PSSI dan Kemenpora selesai, dan berharap kemenangan ada di pihak Cronus lewat kembalinya legal PT Arema Indonesia?

Saat disodorkan pertanyaan ini, Iwan Budianto hanya menjawab dua poin. "Pertama, tidak ada kewajiban untuk memperkenalkan PT.”

"Kedua, ada banyak PT kami buat ketika kami nge-run Arema mulai 2011, masing-masing punya tugas dan target bisnis dari perencanaan awal, seperti khusus mengelola merchandise satu PT sendiri, yang mengelola tiket satu PT sendiri, dan lain-lain," terang Iwan kepada redaksi Tirto pada 21 Februari 2018.

"Ketika terjadi masalah dengan BOPI, kami memilih saja salah satu dari PT yang sudah kami miliki. Dan PT AABBI-lah yg terpilih. Lalu di mana masalahnya?" katanya.

Ia mengatakan, Jika Arema Cronus tetap bersikukuh memakai PT Arema Indonesia, bahaya lebih besar akan mereka dapat. "Landasannya, kalau tidak membuat PT baru, Arema dilarang mengikuti kompetisi oleh BOPI . Kalau Anda mengikuti berita tahun 2015, pasti Anda memahaminya," katanya, lagi.

Kompetisi di sini dalam artian kompetisi Indonesian Soccer Championship. Setelah menggelar tiga turnamen secara beruntun pada 2015—Piala Presiden, Piala Jenderal Sudirman dan Piala Bhayangkara—muncul tuntutan agar diadakan kompetisi penuh, walaupun kompetisi ini tidak diakui oleh FIFA karena pembekuan FIFA kepada Indonesia belum dicabut. Transisi kekuasaan di PSSI mau tak mau membuat Arema Cronus mematuhi kehendak BOPI.

HL Arema FC

Tak ada Yayasan Arema di PT AABBI

Menilik komposisi saham dalam akta PT AABBI, tak tercantum Yayasan Arema. Saham Arema FC hanya dikuasai dua orang: Iwan Budianto (70 persen) dan Agoes Soerjanto (30 persen).

Padahal, klub sepakbola Arema tak pernah lepas dari Yayasan Arema. Saat berkompetisi di Galatama tahun 1987, legal yang kali pertama dipakai sang pendiri, Acub Zaenal dan Lucky Acub Zaenal, adalah Yayasan Arema. Yayasan inilah yang menaungi Persatuan Sepakbola Arema.

Abdul Muntholib dalam Arema Never Die (2009: 164) menulis bahwa sejak 1987 hingga 2003, Yayasan Arema mampu membuat PS Arema tetap eksis tanpa menyusu APBD—sesuatu yang bertolak belakang dengan persatuan klub-klub bola lain di era perserikatan.

Namun, seiring waktu, dinasti Acub Zaenal tumbang pada 2003. Krisis finansial memaksa Lucky Acub menjual kepemilikan PS Arema ke PT Bentoel Prima Tbk. Meski beralih kepemilikan, pengelolaan PS Arema tetap dipegang oleh Yayasan Arema.

Kiprah Bentoel dan Arema hanya bertahan enam tahun. Masuknya perusahaan rokok multinasional British American Tobacco, yang mengakuisisi Bentoel pada 2009, membuat sokongan finansial itu bubrah. Di sisi lain, saat itu PSSI sedang menggiatkan pengelolaan klub lebih profesional. Para peserta Indonesia Super League (ISL)--kini bernama Liga 1—diwajibkan berbadan hukum perseroan terbatas.

Jauh sebelum aturan ini ditetapkan, Arema sudah berbentuk perseroan lewat PT Arema Indonesia yang dilegalkan pada 3 September 2004. Di PT ini, komposisi saham mayoritas dipegang oleh Yayasan Arema. Sejak beralih dari Bentoel, Arema Malang dikelola langsung oleh PT Arema Indonesia.

Namun, dualisme PSSI sejak 2011 membuat kepemilikan perusahaan diperebutkan dua pihak: Arema Indonesia yang berkancah di Indonesia Premier League dan Arema Cronus yang bermain di ISL (Liga 1). Buntutnya, ketika kubu La Nyalla Mattalitti tersingkir, dan kubu Edy Rahmayadi naik, Arema Indonesia ikut terbuang. Saat penyatuan Liga, Arema Indonesia harus menjalani kompetisi kasta terendah.

Pemberitaan Jawa Pos soal NPWP membuktikan setidaknya legalitas PT Arema Indonesia memang di tangan Arema Indonesia.

Dalam akta PT Arema Indonesia yang disimpan redaksi Tirto, Yayasan Arema masih diberi porsi saham, meski jumlahnya hanya 13 persen. Mayoritas 80 persen dipegang oleh Winarso, pengusaha asal Jakarta, perwakilan dari Grup Ancora milik mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Sementara 7 persen dikendalikan oleh (alm) Lucky Acub yang kini diserahkan kepada istrinya, Novi Acub Zaenal.

“Saham Yayasan berkurang karena memang dibeli investor. Tapi, setidaknya, kami masih mending memasukkan Yayasan Arema sebagai pemilik klub. Kalau yang sebelah, kan, tidak," kata Novi kepada Tirto merujuk “yang sebelah” adalah pihak Arema Cronus yang berubah nama Arema FC.

Iwan Budianto, Dirut Arema FC, memaparkan alasannya kenapa dia tak memasukkan Yayasan Arema dalam komposisi PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia. "Inginnya melibatkan, tapi Yayasan itu sekarang siapa? Masih dispute di Kementerian Hukum sampai hari ini. Kalau mengikuti dispute itu dan kami tidak mengambil terobosan membuat PT baru, Arema sudah degradasi tahun 2015 karena tidak bisa ikut kompetisi," kata Iwan.

Di situsweb Kemenkumham, data Yayasan Arema tak bisa ditampilkan. Kemungkinan besar memang dalam proses sengketa. Bagian legal PT Arema Indonesia, Erpina, membantah bahwa Yayasan dalam status sengketa. "Yayasan enggak ada masalah. Semua baik-baik saja, enggak ada yang gugat-menguggat, kok. " katanya pada 21 Februari 2018.

Saat kami bilang bahwa profil Yayasan Arema tak bisa diakses, Erpina menjawab singkat, "Itu paling ada oknum yang tidak bertanggung jawab," tanpa bisa menjelaskan siapa “oknum” yang dia maksud.

Iwan Budianto masih pikir-pikir untuk memberikan saham kepada Yayasan Arema. "Nanti kami bicara lagi setelah dispute Yayasan tuntas," katanya.

Kepemilikan PT AABBI, yang hanya dikuasai dua orang, menimbulkan pertanyaan: Kenapa Iwan tak memasukan stakeholder Malang lain ke dalam komposisi saham PT AABBI dan hanya Agoes Soerjanto—notabene rekan satu kerjanya di perusaaan properti Ijen Nirwana?

"Saat itu saya berharap Ijen Nirwana sebagai sponsor untuk pembiayaan Arema yang cukup besar. Satu-satunya supaya saya tidak disalahkan oleh perusahaan, ya pemiliknya saya ajak ke pengurus direksi Arema. Hanya sesimpel itu," kata Iwan.

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam