tirto.id - Bila ada pertanyaan klub Indonesia mana yang keuangannya paling kuat, jawabannya bisa bermacam-macam. Klub-klub sepakbola di Indonesia lebih mudah dikenali lewat aset tak berwujud seperti suporter, misalnya, ketimbang aset tetap berupa gedung, stadion, dan sebagainya.
Meski begitu, patokan objektif yang lebih terukur tetap bisa digunakan. Misalnya, modal dasar perusahaan yang mengelola klub bersangkutan. Dari situlah lebih mudah dicarikan jawabannya: Bali United yang memiliki modal dasar paling kuat.
Dalam profil PT Bali Bintang Sejahtera (selanjutnya ditulis PT Bali) yang mengelola Bali United, tercantum modal dasarnya mencapai Rp60 miliar. Angka ini sangat timpang dibandingkan, misalnya, PT Persela Jaya, pemilik Persela Lamongan, yang hanya menyisipkan Rp50 juta. Rata-rata klub lain sekitar Rp1 miliar sampai Rp10 miliar. Klub besar macam Persib Bandung dan Arema FC tak lebih dari Rp5 miliar.
Saat disodorkan data hasil temuan Tirto ini, Komisaris PT Bali yang juga pemilik Bali United, Pieter Tanuri, memperagakan rasa kaget. "Terima kasih, malah saya enggak tahu," kata dia pada 17 Februari lalu.
Sejarah kepemilikan klub yang bermarkas di Kabupaten Gianyar ini dimulai saat Pieter membeli klub Persisam Putra Samarinda dari Harbiansyah Hanafiah pada akhir 2015. Harbiansyah dalam situasi terjepit saat itu. Selain kesulitan mencari sponsor, keberadaan klubnya terusik oleh meroketnya Pusamania Borneo FC yang promosi ke Liga Super Indonesia 2015, satu level kompetisi dengan Persisam.
Pieter datang menawarkan diri. Perpindahan kepemilikan ini tentu saja tidak gratis. Harbiasnyah menerima uang pembelian, dan selama setahun ia diberi kursi gratis sebagai komisaris klub.
Rencana awal Pieter: klub baru ini akan dimerger dengan satu klub yang bermarkas di Yogyakarta. Namun, rencana ini urung karena rumitnya proses akuisisi dan sarana latihan yang masih minim.
Saat itu problem fasilitas latihan pun terjadi di Bali. Namun, Pieter mengambil risiko. "Di Bali, kami memilih membangun dari nol, termasuk soal stadion yang biaya renovasinya juga cukup besar," kata Yabes Tanuri, adik Pieter, yang juga pendiri dan pemilik Bali United.
"Membangun dari nol" ini bisa dibaca sebagai perbandingan dengan ketika Pieter masih aktif mengurusi Persib, klub pertama yang memunculkan nama Tanuri dalan kancah sepakbola Indonesia.
Bejibun Sponsor Sebenarnya dari Pemilik Klub
Saat membeli dan membangun Bali United, Pieter Tanuri tak sendirian. Beberapa konglomerat lain turut menyetor uang. Setidaknya hal itu terlihat dari angka yang tertera dalam akta terbaru PT Bali Bintang Sejahtera pada 16 November 2017.
Pemilik saham terkecil PT Bintang adalah Veronica Colondam, istri Pieter Tanuri. Ia diberi 4,75 persen saham atau senilai Rp1,5 miliar. Veronica adalah pendiri lembaga amal Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB). Itu sebabnya pada jersey Bali United, di bagian depan pinggir bawah-kanan, ada logo yayasan tersebut.
Persentase 4,75 persen saham juga dimiliki Roy Himawan, pendiri PT Syailendra Capital, perusahaan yang bergerak dalam bidang pasar modal. Himawan mendirikan perusahaan ini bersama Jos Parengkuan dan David Tanuri. David adalah saudara kandung Pieter. Sementara Parengkuan adalah salah satu pemegang saham PT Suria Eka Persada, pilar utama konsorsium kelompok Glenn Sugita yang menguasai Persib Bandung. Syailendra Capital termasuk sponsor utama Bali United.
Syailendra Capital ini, berikut Joss Parengkuan, adalah irisan kedua antara Bali United dan Persib setelah nama Tanuri itu sendiri. Syailendra Capital pernah menjadi sponsor atau partner Persib Bandung.
Jumlah saham yang sama juga didapatkan Yabes Tanuri, direktur utama klub, yang juga adik kandung Pieter.
Sedangkan angka 4,75 persen lain juga dikamuflasekan melalui PT Nuansa Indah Kreasi. Perusahaan ini merupakan anak perusahaan dari PT Paramita Bangun Sarana Tbk, sebuah perusahaan ternama yang bergerak di bidang jasa kontruksi. Perusahaan ini dimiliki oleh klan Tanuwidjaja.
Jika pemegang saham PT Nuansa Indah Kreasi ini dibedah lagi, maka di dalamnya muncul nama Yonggi Tanuwidjaja dengan 98 persen saham, dan ibunya, Tjia Kartika Casrawati dengan dua persen saham. Dua nama ini cukup ternama, sampai profilnya tercatat dalam Bloomberg. Yonggi diketahui sering terlibat aktif dalam klub.
Nama besar lain yang muncul adalah Ayu Patricia Rachmat. Ayu adalah anak dari Theodore Permadi (TP) Rachmat, pendiri dari Grup Astra dan Grup Triputra. Tahun lalu, Teddy masuk dalam jajaran 20 orang terkaya di Indonesia versi Forbes, ditaksir kekayaannya mencapai 1,73 miliar dollar.
Ayu memang masuk di Bali United. Ia memiliki saham sebanyak 11,9 persen. Selain Ayu, angka sama, 11,9 persen, juga dimiliki sosok lain yakni Miranda. Kami kesulitan melacak sosok ini (editor: tentang Ayu dan Miranda dalam kaitannya dengan Persib melalui Glenn Sugita, baca bagian akhir laporan ini).
Di atas Ayu dan Miranda, baru muncul Pieter Tanuri dengan 25,4 persen. Namun, Pieter bukanlah yang terbesar, di atasnya ada lagi, tetapi disamarkan lewat PT Bali Peraga Bola. Perusahaan ini memiliki 31,6 persen saham atau menanam 10 miliar modal dasar di Bali United.
Saat dibedah, perusahaan ini ternyata sudah berdiri sejak 15 Januari 2015 atau dua tahun sebelum PT Bali Bintang Sejahtera disahkan. Dari maksud tujuan perusahaan, tercantum bahwa PT Bali Peraga Bola memang diciptakan untuk berkecimpung di bidang jasa olahraga khususnya sepakbola. Di akta, pemilik saham perusahaan ini hanya Heri Santoso dan Jusup Handoko. Dua-duanya membagi saham 50:50. Dua orang ini namanya relatif sukar dijejaki.
Saya coba mendatangi ke rumah Heri Santoso. Ia tinggal di jalan Halimah, Ulujami, Ciledug. Akses jalan ini amat sempit dan hanya bisa dilalui satu mobil berukuran kecil. Janggal jika pemilik Bali United tinggal di kampung ini. Lagipula warga sekitar tidak ada yang mengenal Heri Santoso.
Sedangkan saat mendatangi rumah Jusup Handoko di Villa Tomang Mas, dua kali datang, tak ada yang membukakan pintu gerbang. Warga sekitar tak tahu menahu saat disebut nama Jusup Handoko.
Saya lalu mengunjungi alamat kantor yang terletak di Rukan Pondok Indah Plaza 5, Jalan Margaguna Raya Blok C No.16. Kantor ini nyatanya tak ditempati PT Bali Peraga Bola. Kantor itu dipakai marketing dari perusahaan jaringan Prime Plaza Hotels & Resorts. Saat disodorkan dua nama pemilik saham PT Bali Peraga Bola, yakni Heri Santoso dan Jusup Handoko, sang resepsionis menggeleng tak kenal.
"Kami di sini sudah lama mas," kata Ratna.
Duo bos Bali United, Pieter dan Yabes Tanuri enggan berkomentar saat diminta menjelaskan nama-nama di atas.
Jika ditelaah lebih dalam, pemilik jaringan Prime Plaza Hotels dan Resort adalah Yoseph Franciscus Bonang. Sang resepsionis membenarkan temuan ini.
Munculnya nama Frans Bonang semakin menguatkan bahwa kemungkinan besar ada pemain besar yang ikut menyokong Bali United, dan sosok itu adalah Anthony Salim lewat kekuatan Salim Group.
Ada Kepemilikan Salim Grup dan Sinar Mas di Bali United?
Diketahui Frans Bonang dikenal dekat dengan Anthony Salim. Ia sempat menjadi manajer SDM di PT Inti Salim Corp. Saat ini, Frans duduk sebagai board PT Indomarco Prismatama, anak usaha Salim Group yang mengelola bisnis retail Indomaret. Sejak 1992, Frans Bonang diberi jabatan sebagai direktur perusahaan agrobisnis Salim Group di Singapura bernama Organic Centre Plt.
Jejak Salim Group di Bali United memang kentara. Dalam industri sepakbola lokal saat ini, salah satu tren yang mencuat adalah pemilik klub menjadikan klub sepakbola sebagai ujung tombak promosi perusahaan lain yang dia miliki.
Tren yang kali pertama dipopulerkan oleh Persib Bandung ini juga dilakukan di Bali United. Selain YCAB dan Syailendra Capital yang disebut di atas, ada juga Corsa, Achiles, Buana Capital, Cat Envy, Bareksa, dan Gojek yang secara secara tidak langsung masih dimiliki Pieter Tanuri.
"Yang lebih utama dipercaya itu, kan, keluarga kita sendiri. Itu lebih gampang lihat dan pantaunya. Bisnis apapun harusnya ya mulai dari terdekat dulu. Kalau Jokowi jadi presiden juga yang diperkerjakan pertama orang-orang dia, bukan orang Pak Prabowo," kata Pieter.
Menarik dicermati, selain perusahaan milik Pieter, Bali United juga didominasi produk yang dimiliki Salim Group. Sebut saja seperti Indofood, asuransi ACA, Bank INA, Datsun, asuransi online Jagadiri dan Deterjen Total.
Pada 2015 lalu bahkan Anthony Salim bahkan sempat berkunjung ke Stadion Kapten I Wayan Dipta Gianyar. Ini adalah sesuatu hal yang tak pernah dilakukannya pada klub-klub lain.
Keterlibatan Salim Group dalam pengelolaan klub sepakbola bukan terjadi kali ini saja. Pada 8 Juli 1991, mereka mengakuisisi klub Galatama di Surabaya, Assyabaab dan mengubah namanya menjadi Assyabaab Salim Group Surabaya (ASGS). Kiprah ASGS ini hanya bertahan hingga 1998, saat krisis ekonomi melanda Indonesia, dan Salim Group terseok-seok terancam bangkrut.
Inilah irisan ketiga antara Bali United dan Persib. Produk-produk Salim Group lama menghiasi jersey Persib Bandung. Jenama Indofood dan Datsun, misalnya, bertahun-tahun menempel di jersey Sang Pangeran Biru dari Jawa Barat itu.
Terkait hubungan mesra Bali United dengan Salim Group, Pieter enggan menjawab. Hanya saja ia memaparkan tidak sulit sebetulnya mengajak taipan kelas atas berbisnis di sepakbola.
"Selama ini yang dilakukan Pak Nirwan Bakrie udah bener, tapi dia belum berhasil ajak pengusaha yang lain. Begitu saya yang ajak dan membuktikan bahwa bisa untung, ya semuanya pada ikut. Di Indonesia, kan, jadi kebiasaan selalu nimbrung pada sesuatu hal yang ramai. Begitu di sini ramai kafe kopi semua ikut bikin," paparnya.
Mengapa Tanuri Lebih Memilih Mengurus Bali daripada Persib?
Sistem cross-benefit antar-anak perusahaan yang diterapkan di Persib dan kini diuji di Bali United menarik dikulik. Sudah hampir sembilan tahun kepemilikan Persib ia kelola bersama Glenn Sugita, toh tiap tahun Persib belum meraup keuntungan signifikan. Bisa dibilang masih untuk menopang laju klub dari musim ke musim saja.
Pieter menjawab: "(Kalau dividen) Persib, ya, belum. Enggak selalu mulus seperti ini, kan, selalu ada proses. Bangunan yang sudah megah seperti Persib (lebih rumit). Pada saat mau diotak atik sedikit aja, prosesnya lebih lama ketimbang saat saya bangun Bali United dari nol," kata dia.
Ia menganalogikan mengurus Persib dan Bali United ibarat seperti membangun rumah. Sebagai tim raksasa dengan sejarah panjang dan basis pendukung besar, Persib ibarat rumah megah. Saat ia masuk dan ingin merekonstruksi ulang rumah megah itu, ia selalu merasa mendapat hambatan dan gangguan. Saat disodorkan pertanyaan apakah hambatan itu datang dari internal Persib sendiri, Pieter hanya tersenyum.
Kesulitan ini tak dialaminya di Bali. Sebab dialah yang membangun kultur dan pondasi Bali itu dari nol. "Bangun Bali United jauh lebih gampang, seperti bangunan kalau mau ada renovasi saya paham betul. Berbeda dengan Bandung. Dari sana saya bisa pelajari karena saking besar Persib maka untuk buat yang ideal yang kita inginkan itu susah, selalu saja ada gangguan, karena itu saya lebih memilih bangun dari nol," katanya.
Rangkap Kepemilikan Bali United dan Persib?
Menilik komposisi komisaris PT Persib Bandung Bermartabat, sejak akhir tahun lalu nama Uthan Mokhamad Arief sudah tidak muncul lagi.
"Saya juga bingung, kenapa foto Pak Uthan diturunkan," kata Yoyo S Adireja, komisaris sekaligus shareholder PT Persib, kepada Tirto pada 12 Februari lalu.
Berdasarkan akta perubahan terakhir PT PBB per 11 Oktober 2017, nama Uthan memang sudah tak muncul lagi sebagai komisaris. Padahal namanya selalu muncul di akta PT PBB sejak 2009 lalu, saat Glenn Sugita cs., masuk ke Persib.
Uthan adalah representasi Pieter Tanuri di Persib. Jabatan komisaris Persib adalah pekerjaan sampingan. Job utamanya adalah direktur di PT Multistrada Arah Sarana Tbk, perusahaan produsen ban Corsa yang dimiliki Pieter Tanuri. Sampai sekarang Uthan masih tetap di Multistrada. Pieter membenarkan instruksi penarikan Uthan itu datang dari dirinya.
"Biarlah masing-masing saja sekarang. Kalau boleh dibilang (sekarang) punya kerajaan sendiri-sendiri biar ada garis pemisah yang jelas. Kalau temenan sama Pak Glenn, ya, masih. Tetap komunikasi, kok."
Meski begitu jika dikomparasikan antara nama-nama yang muncul di PT Persib Bandung Bermartabat dan PT Bali Bintang Sejahtera beserta anak-anak perusahaan turunanannya, masih banyak ditemukan nama-nama dobel muncul di dua klub ini.
Misal sosok Jos Parengkuan di Persib. Dia adalah pemegang saham PT Suria Eka Persada, pemilik terbesar PT Persib dengan 70 persen. Di PT Suria, Jos memiliki 6 persen. Dia adalah pendiri Syailendra Capital bersama David Tanuri dan Roy Himawan (Komisaris Bali United). Disodorkan temuan ini, Pieter tidak menampiknya.
"Ya sebagai shareholder lah, investasi kecil-kecilan. Bukan kepengelolaan. Hanya tanam saham saja. Enggak apa-apa, kan," ujarnya.
Irisan kepemilikan antara Persib dan Bali United juga terdapat pada Otniel Korompis. Ia salah satu pemilik saham terbesar secara individu di PT Suria Eka Persada dengan 9 persen saham atau Rp10,7 miliar -- bahkan lebih besar dari Jos. Korompis pemilik gerai Bengkel Oli Service (BOS) yang tersebar pada 19 titik di Jabodetabek. Kepemilikannya di PT Persib tak lepas dari opsi barter saham antara dia dan PT Multistrada Tbk. Pada November 2017, BOS diakuisisi oleh PT Multristrada yang dimiliki Pieter Tanuri. Gantinya, Korompis diberi saham dalam konsorsium PT Persib.
Dengan demikian, Otniel Korompis masih jadi bagian dari PT Multistrada. Secara tidak langsung, Multistrada -- yang sahamnya dimiliki oleh Tanuri sebesar 18,68% -- masih ada di tubuh konsorsium Persib.
Koneksi Persib dan Bali United via Ayu dan Miranda
Membaca hubungan Persib dan Bali United tak semata hanya kedudukannya di Liga Indonesia. Lebih jauh, mereka memiliki hubungan bisnis yang erat. Selain nama-nama yang sudah diuraikan pada bagian sebelumnya, muncul lagi dua nama sebagai jembatan antara Persib dan Bali United, yaitu Ayu Patricia Rahmat dan Miranda.
Berdasarkan profil PT Bali per 6 Oktober 2017, Miranda maupun Ayu masing-masing memiliki 12,6 persen saham atau setara dengan Rp3,78 miliar dengan harga per lembar saham sebesar Rp100. Pada akta perubahan per 9 November 2017, porsi saham yang dimiliki keduanya berkurang menjadi 11,97 persen dengan nilai yang tetap, yaitu Rp3,78 miliar. Perubahan porsi kepemilikan saham ini dikarenakan kenaikan modal disetor yang tadinya berjumlah Rp30 miliar pada 6 Oktober 2017 menjadi Rp31,58 miliar pada 9 November 2017.
Dari penelusuran yang dilakukan Tirto, selain memiliki saham di PT Bali, Ayu juga tercatat sebagai pemegang saham sebesar Rp10 juta atau setara dengan 0,01 persen di PT Atma Astama yang berkedudukan di Jl RS Fatmawati. Selain itu, ia pun menjadi komisaris di PT Sukses Perdana Mandiri. Dua perusahaan ini berada di layer kelima dan keempat kepemilikan PT Suria yang mengendalikan Persib. Perusahaan ini berkedudukan di Gedung Cyber 2 Lantai 27, Setiabudi, Jakarta Selatan (lihat laporan: Menguliti Lapis Demi Lapis Konsorsium Glenn Sugita di Persib).
PT Sukses Perdana Mandiri tercatat memiliki saham sekitar 50 persen pada PT Sugi Global Persada. Proporsi ini setara dengan Rp124,73 miliar atau kepemilikan atas 124.733 lembar saham dengan harga Rp1 juta per lembar. PT Sugi Global Persada berkedudukan di Gedung Cyber 2 Tower Lantai 28 dan dipimpin oleh Glenn Timothy Sugita sebagai direkturnya.
Salah satu perusahaan yang sahamnya dimiliki PT Sugi Global Persada adalah PT Suria Eka Persada. Pada perusahaan yang merupakan pemegang saham mayoritas di Persib ini, PT Sugi Globa Persada memiliki Rp48,34 miliar atau setara dengan 42 persen saham. Menariknya, kedua perusahaan ini berkedudukan di alamat yang sama, Gedung Cyber 2 Tower Lantai 28, namun direktur dari PT Suria Eka Persada adalah Isenta.
Di PT Persib Bandung Bermartabat, PT Suria Eka Persada mulai tercatat sebagai pemegang saham sejak 18 November 2009 dengan nilai Rp700 juta. Sejak saat itu, hingga data terakhir, yaitu 5 Oktober 2017, PT Suria Eka Persada selalu menjadi pemegang saham mayoritas, yaitu 70 persen. Meskipun, nilai kepemilikannya meningkat dari Rp700 juta menjadi Rp2,66 miliar.
Senada dengan Ayu, Miranda pun menjadi jembatan antara Persib dan Bali United. Selain tercatat sebagai pemegang saham di Bali United, ia juga menjabat sebagai Komisaris di PT Wahana Tri Karya. Sebuah perusahaan yang dipimpin Glenn Sugita sebagai direktur dan berkedudukan di Menara Kadin Indonesia Lantai 7, Jalan HR Rasuna Said, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Selain menjadi komisaris, Miranda pun tercatat sebagai Direktur PT Bintang Sakti Mulia. Perusahaan yang berkedudukan di Cyber 2 Tower Lantai 26, Setiabudi, Jakarta Selatan ini menempatkan Glenn Sugita sebagai komisaris. Pemilik saham terbesarnya, yaitu 99,83 persen, adalah PT Wahana Tri Karya. PT Bintang dan PT Wahana ini berada di lapis kelima kepemilikan PT Suria yang mengendalikan Persib ((lihat laporan: Menguliti Lapis Demi Lapis Konsorsium Glenn Sugita di Persib).
Melihat koneksi Ayu dan Miranda dalam Persib dan Bali United, sosok Glenn Sugita menjadi kunci rangkap kepemilikan tidak langsung antara Persib dan Bali United. Ia sendiri masuk dalam akta perusahaan PT Persib Bandung Bermartabat sejak 7 Juni 2011. Di bawah kepemimpinannya, dalam hal bisnis, PT Persib memang terlihat lebih agresif.
Dalam hal kedudukan perseroan, hampir seluruh perusahaan ini terletak di Gedung Cyber 2, mulai dari lantai 26 (PT Bintang Sakti Mulia), 27 (PT Sukses Perdana Mandiri) dan 28 (PT Sugi Global Persada dan PT Suria Eka Persada). Kesamaan lainnya: satu-satunya pejabat notaris yang menangani perubahan-perubahan akta ini adalah Hasbullah Abdul Rasyid, SH, M.Kn, yang berkedudukan di Jakarta Selatan.
Mengapa berkali-kali muncul Gedung Cyber 2?
"Ini semua kantor sudah disewa Adaro, mas," ucap sang resepsionis. Adaro dimiliki oleh keluarga Thohir, dan Erick Thohir adalah Komisaris di PT Persib.
Masih di situ-situ juga, bukan?
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Zen RS