tirto.id - Awalnya sebuah laga di Stadion Brawijaya, Kediri, medio Agustus 2010, antara Persik Kediri melawan Persebaya Surabaya dalam kompetisi Liga Super Indonesia musim 2009-2010. Juara sudah ditahbiskan: Arema Indonesia. Jadi pertandingan ini hanya laga sisa yang tak dilirik banyak orang. Namun, inilah pertandingan yang bikin nahas Persebaya hingga hari ini.
Persebaya tinggal butuh hasil imbang untuk mengamankan satu tiket play-off agar terhindar dari degradasi ke Divisi Utama. Sementara Persik harus menang telak, setidaknya selisih lima gol agar bisa mendapat tiket yang sama. Itu nyaris mustahil. Pelita Jaya menanti hasil dua tim itu.
Pelita Jaya berharap Persebaya kalah. Tak peduli dengan skor berapa pun. Kekalahan Persebaya bisa membuat klub milik keluarga Bakrie itu melenggang ke play-off.
Jelang laga, ribuan Bonek—sebutan suporter Surabaya—mendatangi Kediri, tetapi hanya untuk melihat pertandingan mendadak dibatalkan. Panitia pelaksana tidak mendapat izin keramaian dari kepolisian. Regulasi Badan Liga Indonesia menyatakan bahwa kegagalan menggelar laga kandang berimplikasi pada sanksi terhadap tuan rumah. Sesuai regulasi, Persebaya mestinya dinyatakan menang WO dengan skor 3-0.
Namun, sesuatu yang ganjil terjadi. PSSI tidak memberikan kemenangan otomatis kepada Persebaya. PSSI justru memberi kesempatan kepada Persik menggelar laga kandang. Arena pertandingan dipindahkan ke Yogyakarta. Tetapi lagi-lagi panitia gagal menggelarnya. Sanksi tak langsung dijatuhkan. Persik diberi kesempatan lagi menggelar pertandingan di Kediri.
Beberapa hari sebelum pertandingan itu, tersebar pesan berantai melalui BlackBerry dan media sosial. Isinya singkat tapi heroik: Kosongkan Surabaya, hijaukan Kediri. Maka ribuan Bonek mengalir dari pelbagai kota di Jawa Timur menuju Stadion Brawijaya. Mereka memprotes PSSI dan tak ingin pertandingan digelar, karena seharusnya Persebaya berhak mendapat tiga angka gratis. Di sana, pertandingan ternyata kembali batal.
Sekretaris Jenderal PSSI saat itu, Nugraha Besoes, menyatakan bahwa aturan liga terhadap tim yang gagal menyelenggarakan pertandingan harus tetap dipatuhi. “Kalau memang gagal, saya serahkan sepenuhnya pada Liga sebagai pengelola kompetisi untuk menjalankan aturan. Kalau di manual Liga dinyatakan kalah, ya sudah, aturan itu harus ditaati."
"Saya belum tahu bagaimana hitungannya dari Liga, apa masih mungkin dilakukan penjadwalan ulang. Tapi, saya rasa itu sulit karena sudah mau bulan puasa dan musim kompetisi baru mau dimulai. Kalau memang tidak mungkin, ya hukum saja," kata Besoes pada 5 Agustus 2010.
Setelah tiga kali penjadwalan ulang gagal, PSSI mengambil keputusan: Pertandingan ulang digelar di Palembang. Kali ini Persebaya menolak hadir.
“Kami lelah dizalimi,” kata Manajer Persebaya Gede Widiade saat itu. Tim berjuluk Bajul Ijo itu pun dinyatakan kalah 0-3 dan terdegradasi. Pelita Jaya bertahan di Liga Super.
Perlawanan pecah. Saat Arifin Panigoro membentuk kompetisi tandingan bertajuk Liga Primer Indonesia, Persebaya memutuskan ikut kompetisi breakaway league bersama klub Liga Super lain: Semen Padang, PSM Makassar, Arema Indonesia, Persema Malang, dan Persibo Bojonegoro. Pembangkangan ini membuat semua klub itu dijatuhi sanksi.
Dibelah dalam Asuhan Berbeda
Nahas bagi Persebaya, tak hanya kena sanksi oleh PSSI yang dipimpin Nurdin Halid, tim Bajul Ijo itu juga diduplikasi secara terang-terangan. Aktornya adalah politikus Wisnu Wardhana, yang kelak menduduki ketua parlemen daerah Surabaya dan terjerat kasus korupsi.
Internal Persebaya sukses dipecah. Alhasil muncul Persebaya tandingan yang berkompetisi di Divisi Utama PSSI. Tim ini berisi para pemain dari klub Persikubar Kutai Barat. Sebagian anggota klub internal merapat dan bergabung ke Persebaya tandingan. Dualisme ini membuat Persebaya kesulitan memperoleh izin menggelar pertandingan Liga Primer pada 2011.
Dengan alasan keamanan, Kepolisian Daerah Jawa Timur mensyaratkan kepada PT Persebaya Indonesia yang menaungi Persebaya agar mengubah nama. Manajemen akhirnya memilih nama Persebaya 1927. Sementara nama Persebaya tanpa embel-embel apa pun digunakan tim replika yang direstui Nurdin Halid, yang pernah mendekam dua kali penjara lantaran kasus korupsi.
Bonek menunjukkan cara sendiri untuk melawan. Mereka menolak menonton langsung Persebaya versi PSSI di stadion Gelora 10 Nopember dan memilih memadati pertandingan Persebaya 1927. Alhasil, pertandingan Persebaya versi PSSI selalu sepi, bahkan sekalipun tiket menonton digratiskan.
Pada Persebaya-nya Wisnu versus Mojokerto Putra, penonton yang hadir hanya 800 orang. Padahal panitia mencetak 6.000 tiket dari 30.000 daya tampung stadion. Di tempat berbeda, ketika Persebaya 1927 menjamu Bandung FC, 20.000 penonton memadati stadion.
Terpilihnya Djohar Arifin yang notabene disokong Arifin Panigoro menjadi Ketua Umum PSSI pada 2011 mengubah peta politik di PSSI. Status kompetisi Liga Primer Indonesia yang diikuti Persebaya 1927 akhirnya dianggap resmi dan diakui.
Masalah mencuat saat loyalis rezim lama yang bernaung pada mayoritas klub Liga Super memberontak, dan membentuk kompetisi tandingan di bawah Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI), dengan La Nyalla Mattalitti sebagai pemimpinnya.
Konflik membuat sepakbola Indonesia terbelah. Alhasil, kubu Liga Super dan Liga Primer didesak islah, ketika menteri olahraga di bawah Roy Suryo, dengan kelompok La Nyalla sebagai penguasa, mendepak orang-orang Liga Primer dan hanya menyisakan Djohar sebagai Ketum PSSI. Untuk menggaet tim-tim Liga Primer, proses unifikasi dilakukan.
"Sudah tidak ada lagi perpecahan. Sekarang bagaimana caranya membuat Indonesia menjadi macan Asia," kata La Nyalla pada Konferensi Luar Biasa tahun 2013.
Beberapa klub lokal seperti Arema (Malang), PSMS (Medan), hingga Persija (Jakarta) dikloning. Dualisme pasca-2013 satu-persatu selesai, kecuali Persebaya.
Sejak saat itu, Persebaya 1927 menjadi tim antah-berantah dalam sepakbola Indonesia. Bajul Ijo dilarang berkompetisi dan mengikuti turnamen sepakbola nasional. Sejak itu pula ribuan Bonek mengosongkan stadion, melipat spanduk dan syal, menyongsong 'kematian suri' klub kebanggaan mereka.
Persebaya versi PSSI belakangan di bawah naungan PT Mitra Muda Inti Berlian, dan klub kloningan ini masih terus merumput. Meski begitu, mereka gagal menarik Bonek memadati stadion.
Di saat bersamaan, Liga Primer berumur pendek. Pada dasarnya kompetisi itu cuma untuk memantik berkembangnya kelompok kontra Nurdin. Setelah gerakan anti-Nurdin menguat—dan Nurdin tidak lagi memegang jabatan resmi di PSSI—setelah peleburan kedua kubu, Liga Primer mati. Dan itu tetap tak bisa menyelesaikan sengkarut Persebaya.
Berbelit di Meja Hijau
Gelombang demonstrasi Arek Bonek 1927 semakin tak terbendung. Mereka gencar protes ke PSSI karena klub kesayangannya diabaikan atau dicap ilegal. Pada 26 Februari 2014, mereka menghimpun massa di halaman depan Shangri-La Hotel, Surabaya. Arek Bonek 1927 menuntut agar Kongres Tahunan PSSI dibubarkan atau mengembalikan Persebaya pada klub anggota Persebaya Karanggayam. Kota Surabaya banjir spanduk. Isinya adalah beragam makian kepada PSSI.
Setahun kemudian, Direktur Persebaya Cholid Goromah menggugat PT Mitra Muda Inti Berlian dan PSSI ke Pengadilan Negeri Surabaya. Cholid meminta agar keduanya diadili dan majelis hakim menetapkan bahwa Persebaya versi La Nyalla cacat hukum.
Cholid menilai institusi sepakbola yang sah secara hukum ialah PT Persebaya Indonesia sesuai akte notaris 16 Juli 2009. Bukti ini dilapisi pengesahan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 11 Agustus 2009, juga telah terdaftar di Konfederasi Sepakbola Asia (AFC) plus Federasi Sepakbola Internasional (FIFA).
Pada 1 April 2015 Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI)—lembaga nonstruktural pemerintah di bawah tanggung jawab Kementerian Olahraga—menuntut PT Mitra Muda Inti Berlian untuk ganti nama klub dengan melepas embel-embel Persebaya. Awalnya PT Mitra menolak. Kisruh nama dan logo ini berjalan panjang ketika institusi PSSI sendiri bandel menuruti Kementerian Olahraga dan Badan Olahraga, hingga berujung pada pembekuan PSSI.
Selain perkara dualisme Persebaya, di saat bersamaan juga muncul dualisme pada Arema. Yang disebut terakhir adalah kisruh antara Arema Indonesia dan Arema Cronus. Cronus sendiri adalah tim merger Pelita Jaya dan Arema Indonesia, yang dimiliki oleh Bakrie. Orang lama ini dibela oleh PSSI, sementara Persebaya PT Mitra didukung kuat oleh Ketum PSSI La Nyalla.
Kemenpora dan BOPI, dalam rekomendasinya, mendesak PSSI tidak mengikutsertakan Persebaya PT Mitra dan Arema Cronus dalam kompetisi Liga Super tahun 2015. Pada akhirnya, Kemenpora membekukan PSSI pada 17 April 2015. Imbas pembekuan itu, setiap keputusan atau tindakan PSSI, termasuk Keputusan hasil Kongres Biasa dan Kongres Luar Biasa, dinilai ilegal.
Namun PSSI jalan terus. Kongres Luar Biasa tetap digelar di Hotel JW Marriott, Surabaya. La Nyalla terpilih sebagai ketua umum, didukung 92 suara dari total 106 suara pada 18 April 2015.
Itu berbuntut kisruh antara Kemenpora dan BOPI serta PSSI. Liga Super vakum. Karena desakan klub-klub, serta lobi dan kompromi, digelarlah sejumlah turnamen selama PSSI dibekukan: Piala Presiden 2015 (dimenangkan Persib Bandung), Piala Jenderal Sudirman (Mitra Kukar), Piala Bhayangkara (Arema Cronus), serta liga Indonesia Soccer Championship 2016 (Persipura).
Untuk mengikuti turnamen Piala Presiden, Persebaya PT Mitra ganti nama jadi Surabaya United. Nama itu dipakai hingga gelaran Piala Jenderal Sudirman. Menjelang Indonesia Soccer Championship, yang dipakai oleh PSSI untuk mengakomodasi klub-klub dari Liga Super, status Surabaya United diakuisisi oleh PS Polri (yang ikut dalam kompetisi Liga Bhayangkara). Proses akuisisi ini melapangkan PS Polri mengikuti ISC. Penggabungan ini mengganti nama klub menjadi Bhayangkara Football Club. Selain ganti nama, logo tim juga diubah, tidak lagi memakai ikon 'sura' dan 'baya'. Nama Bhayangkara FC secara perdana dipakai dalam laga putaran kedua ISC 2016. (La Nyalla sendiri terjerat kasus korupsi di tengah kompetisi ISC tetapi divonis bebas pada 27 Desember 2016)
Namun perubahan situasi PSSI tetap tak mengubah Persebaya 1927—yang sudah mengantungi hak legal memakai nama Persebaya Surabaya—mengikuti kompetisi. Karena itulah manajemen PT Persebaya Indonesia dan Bonek merasa dizalimi oleh PSSI.
Menunggu Kongres di Bandung
Pada Kongres Luar Biasa PSSI di Ancol, 10 November 2016, yang harusnya direncanakan membahas Persebaya ternyata tak berjalan. Hasil kongres hanya menghasilkan anggota komite eksekutif PSSI yang baru dan memilih perwira Edy Rahmayadi, panglima komando Angkatan Darat, sebagai Ketua Umum PSSI.
Amarah Arek Bonek kembali tersulut. Mereka menuntut janji Tony Apriliani, anggota komite yang mengagendakan pembahasan nasib Persebaya di Kongres, ternyata tak ditepati. Menurut Tony, prosesnya digagalkan dalam pemungutan suara menjelang agenda pembahasan Kongres. Dalih lain, kongres tersebut ialah kongres pemilihan, bukan kongres tahunan, artinya hanya untuk memilih ketua umum PSSI.
“Nah, tanggal 8 Januari inilah kongres tahunan itu," kata anggota Komite Yoyok Sukawi.
Nasib Persebaya dan enam klub lain akan bakal dibahas pada Kongres Tahunan PSSI di hotel Aryaduta, Bandung, 8 Januari mendatang. Pada kunjungan Edy Rahmayadi ke Surabaya 28 Desember lalu, Yanto Priyanto, salah satu pentolan Bonek, mengatakan "positif" bahwa nasib Persebaya akan pulih di Kongres Tahunan.
“Pak Edy ingin Persebaya bisa berkompetisi kembali dan dapat bersaing di kancah persepakbolaan Indonesia. Pak Edy belum bisa menjawab tuntutan kita semua, tapi akan dimasukkan dalam sidang kongres, dan diumumkan saat Kongres PSSI, 8 Januari 2017,” kata Yanto.
Demi menyelesaikan permasalahan ini, Menteri Olahraga Imam Nahrawi menegaskan bahwa ia akan mengawal proses pemulihan Persebaya hingga tuntas.
“Sebenarnya saya ingin masalah Persebaya dan lainnya dibahas dalam Kongres. Itu, kan, jadi komitmen bersama. Kami akan mengawal janji-janji PSSI agar dibahas sehingga tidak ada persoalan lagi. Kongres lalu adalah kongres rekonsiliasi,” ujar Imam.
Pada Kongres mendatang, Bonek dipastikan bakal mengawal. Kapolres Bandung Kombes Hendro Pandowo mengonfirmasi kedatangan Bonek sesudah rapat bersama pentolan Bonek, Andie Peci.
"Kurang lebih ada 3.000 Bonek akan datang ke Bandung," ujar Hendro.
Penulis: Oryza A. Wirawan & Felix Nathaniel
Editor: Fahri Salam