tirto.id - Karanggayam adalah tempat sakral bagi Bonek, sebutan pendukung Persebaya Surabaya. Letaknya tepat di belakang Stadion Tambaksari. Di Karanggayamlah terdapat Mess Persebaya yang dulu tempat tinggal para pemain Persebaya.
Namun, sejak nasib Persebaya diombang-ambingkan oleh PSSI, kondisi mes kini kumuh. Di ruang depan, plakat dan piala penegas kejayaan Persebaya di masa lalu terbalut debu. Foto-foto usang, langit-langit ruangan penuh jelaga, menggambarkan kondisi bahwa praktis sejak Persebaya vakum, tak ada yang merawat bangunan ini.
Namun, Karanggayam juga adalah gagasan perlawanan. Ia jadi tempat menempa para Bonek memperjuangkan Persebaya agar hak dan statusnya kembali diakui oleh PSSI. Semua komando gerakan dipusatkan di Jalan Karanggayam Nomor 1 itu. Markas Persebaya tak pernah sepi dari Bonek.
Jhonnerly Simanjuntak adalah pentolan Bonek. Nama akrabnya Joner. Badannya besar dan cara bicaranya tergesa-gesa. Dengan logat kental Surabaya, Joner mengatakan bahwa sejak Karanggayam difungsikan sebagai sentral perjuangan pada 2013, tempat itu adalah aset sekaligus benteng pertahanan terakhir Persebaya dan Bonek.
“Banyak ide-ide dimulai dari sini,” katanya.
Ide-ide itu beragam. Dari menggalang demonstrasi sampai kegiatan ringan macam menanam pohon, jalan sehat, ataupun jambore nasional Bonek. “Meski sepele, hal itu membuat persatuan kami makin erat,” ucapnya.
Dualisme Persebaya otomatis bikin kubu Bonek terbelah. Joner menyebut kondisi itu makin diperparah ketika kekacauan melibatkan paramiliter yang dekat dengan pengurus PSSI.
Kekalutan itu memanas pada pertengahan 2013. Sekelompok orang menyerang dan menduduki Mess Persebaya dan memukuli beberapa Bonek yang kebetulan ada di sana. Pada April 2013, ketua Presidium Persebaya 1927, Andie Peci, dibacok oleh orang tak dikenal.
“Saya sempat diingatkan lewat SMS agar tak ikut campur soal kasus Persebaya. Saya balas, Persebaya 1927 bukan lagi persoalan tim, melainkan sejarah," ujar Andie.
Andry Firdaus, salah seorang Bonek, mengatakan bahwa perjuangan Bonek selama hampir enam tahun adalah sebuah aksi murni. “Kami berjuang hanya untuk melihat Persebaya yang sah menurut hukum, yang telah memenangkan nama dan logo dalam UU HAKI, mendapatkan haknya berkompetisi. Persebaya yang sah adalah yang berada di Karanggayam. Kami rindu mendukung Persebaya dan melihat Persebaya menang di stadion,” ujar pria penghobi Vespa ini.
“Jadi, intinya, Bonek tak hanya suporter yang berada di dalam stadion untuk mendukung Persebaya. Lebih dari itu, kami bahkan support mereka waktu bersidang di Pengadilan Negeri Surabaya. Kami berusaha memperbaiki citra ke media dengan beberapa kali mengunjungi Jawa Pos sebagai media yang setia mengiringi langkah Persebaya dan Bonek, dan sebagainya,” tuturnya. Dia menambahkan seharusnya bukan perkara sulit bagi PSSI memulihkan status Persebaya.
“Pemulihan status itu penting mengingat Persebaya adalah tim besar yang juga mendirikan PSSI pada 1930,” ujar Firdaus.
Rindu Persebaya Berlaga Lagi
“Selama 6 tahun ini harapan kami tetap sama, Persebaya harus bangkit kembali terlebih dahulu,” ujar Joner.
Aditya Nugroho, seorang Bonek, mengatakan bahwa salah satu kelompok suporter paling setia di Indonesia ini sudah berbenah. "Semua aksi yang kami lakukan selama ini adalah aksi damai," ujarnya. Ia mencontohkan aksi Bonek dalam Kongres PSSI di Surabaya pada 2014 dan 2015. Meski ada tentangan dan provokasi dari kelompok preman PSSI, massa Bonek relatif bisa menahan diri.
"Masyarakat Surabaya juga dapat melihat bahwa kami bahkan tidak menginjak taman kota ketika melakukan aksi. Kami hanya punya harapan yang sama dari seluruh Bonek, melihat Persebaya kembali berjaya,” ujar Aditya.
Sudirman, warga Surabaya yang bekerja di Pelabuhan Tanjung Perak, mengapresiasi langkah yang dilakukan Bonek. “Saya rasa Bonek sudah berbenah menjadi lebih dewasa. Ini yang harus terus dilakukan. Saya kira masyarakat juga akan mendukung dan semua memang sudah kangen Persebaya berlaga. ”
Aksi Bonek yang kerap lekat dengan kekerasan, perlahan bisa "tertib dan taat aturan" demikian Suprapto, mantan humas KAI Surabaya yang ikut mengamankan ratusan Bonek menuju Jakarta selama demontrasi mendatangi Kantor Pusat PSSI. “... Saya sangat kagum dengan teman-teman Bonek demi Persebaya,” ujar pria yang kini berdinas di Kantor Pusat KAI di Bandung tersebut.
“Salah bila menganggap teman-teman Bonek ini cuma tukang rusuh. Mereka naik kereta juga beli tiket. Mereka sanggup menjaga keamanan dan ketertiban sesuai peraturan dalam kereta api. Mereka juga pelanggan kereta api dan ini benar-benar situasi yang baru. Ratusan Bonek naik kereta ke Jakarta dan semuanya membayar tiket dan hampir seluruh dari mereka tampil bersepatu,” ujar Suprapto.
Kerinduan Bonek menyaksikan Persebaya bisa digambarkan dalam kompetisi usia remaja sekali pun.
Beberapa bulan lalu, saat Laga Persebaya usia 16 tahun, sebuah gelaran Piala Menpora untuk kelompok umur Sekolah Menengah Pertama, tribun lapangan selalu penuh penonton.
Bahkan, pada 18 Agustus 2016 di Lapangan Karanggayam, tempat laga penyisihan Piala Menpora itu, pertandingan ditunda hingga keesokan hari lantaran kelebihan kapasitas penonton, sekalipun lapangan tersebut bisa menampung sekitar 2.500 orang. Sekitar 10 ribu Bonek tumpah ke pinggir lapangan dan laga mustahil dilanjutkan dalam kondisi macam itu.
“Ini bukti perjuangan kita murni untuk Persebaya. Tak akan pernah ada di mana pun pertandingan anak SMP bisa mengumpulkan sekitar 5 sampai 10 ribu penonton,” kata Joner.
Dari data pertandingan final antara Persebaya U-16 versus Persib U-16, dimenangkan tim Persebaya dengan skor 4-0, kapasitas Gelora Delta Sidoarjo sebanyak 25.000 penonton dipenuhi lautan manusia. Choirul Ramadani, seorang Bonek yang ikut hadir tiap laga Persebaya U-16, mengatakan bahwa selain ungakapan rindu melihat Persebaya berlaga, dukungan membeludak itu adalah ungkapan harapan Bonek kepada Young Guns Persebaya bila kelak masuk dalam tim senior Bajul Ijo.
“Rasanya ya enggak kebayang bisa seramai dan bahkan ditunda karena kapasitas Lapangan Karanggayam tak mampu menahan rasa kangen di dada,” ujar Choirul.
Sebelumnya, Bonek bahkan sudah terlebih dulu memaksa para legenda Persebaya menangis haru. Pasalnya, Stadion Gelora 10 Nopember tak bisa menampung semua penonton di eksebisi antara Persebaya Legend versus Indonesia All Stars pada Mei 2016. Para pemain veteran itu mengenang bahwa antusiasme macam itu adalah antusiasme yang sama puluhan tahun lalu di masa jaya mereka.
“Saya terharu. Terakhir kali seperti ini di era Perserikatan, di masa bakti saya untuk Persebaya,” ujar Soebodro, salah satu veteran Persebaya. “Inilah cinta. Cinta Bonek yang benar-benar untuk Persebaya.”
Ekspresi Bonek agar PSSI segera memulihkan Persebaya diungkapkan di jalanan Kota Surabaya. Gaya ungkap jalanan bertebaran. Itu mengundang keluhan dari pengguna jalan dan Satpol PP. Akhirnya, pentolan Bonek termasuk Joner berinisiatif melepas semua spanduk bernada kasar, dan mengadakan sayembara untuk desain yang kreatif, untuk dipasang di titik-titik strategis Kota Surabaya.
“Kami bahkan dapat dukungan dari Pemkot Surabaya melalui camat-camat dan Satpol PP untuk menampung aspirasi kami dalam bentuk spanduk itu,” kata Joner.
Firdaus bersyukur pada akhirnya langkah perjuangan Bonek mendapat dukungan dari banyak pihak, terutama Pemkot Surabaya. “Selain Bonek, saya rasa tidak ada suporter yang hampir enam tahun yang tak punya tim tapi tetap solid dan setia terhadap klubnya ... Laga Persebaya Legend bahkan harus selesai sebelum waktu normal karena Stadion Gelora 10 Nopember tak bisa menampung Bonek.”
Akhir minggu ini Bonek akan berbondong-bondong ke Bandung untuk menagih janji PSSI mengembalikan status klub Persebaya. “Sekali lagi, kami ingin Persebaya kembali berlaga,” ujar Firdaus.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan & Felix Nathaniel
Editor: Fahri Salam