tirto.id - Bupati Lamongan Fadeli, Bupati Kepulauan Yapen Tonny Tesar Rouw, dan Walikota Jayapura Benhur Tommy Mano sering mendaku diri sebagai "ketua umum" klub sepakbola. Fadeli di Persela Lamongan, Benhur Mano di Persipura Jayapura, dan Tonny Tesar di Perseru Serui.
Klaim jabatan "ketua umum" masih relevan jika sekarang adalah dekade 1980-an atau 1990-an. Ketika itu mayoritas klub bola di Indonesia masih berbentuk perserikatan dan disokong pemerintah daerah. "Ketua Umum" biasa berkonotasi pemimpin daerah. Setiap kepala daerah pasti jadi ketua umum klub perserikatan di daerah tersebut.
Namun, sejak 2009, klub dipaksa berbentuk perseroan, menyusul peraturan Menteri Dalam Negeri yang melarang APBD dipakai untuk mendanai klub. Ini adalah masa transisi pengelolaan sepakbola di Indonesia dari perserikatan menjadi "profesional". Dari sanalah jabatan "ketua umum" ditinggalkan menjadi sebutan lebih keren seperti "CEO", "Presiden Klub", atau "Direktur Klub".
Alhasil, pendakuan tiga pejabat daerah ini sebagai "ketua umum" hanyalah kamuflase. Merekalah pemilik klub-klub tersebut.
"Memaksa" PNS untuk Membantu Persela Lamongan
Di tengah gempuran besar-besaran belasan klub yang dibekingi para konglomerat, Persela Lamongan mampu bertahan di kompetisi tertinggi sepakbola nasional selama 14 tahun. Sejak pertama promosi dari Divisi Dua ke Liga Indonesia pada 2004, klub dari wilayah utara Jawa Timur ini tak pernah sekali pun degradasi.
Secara finansial, klub berjuluk Joko Tingkir ini didanai alakadarnya. Postur keuangannya amat timpang jika dibandingkan tim lain macam Persib Bandung, Bali United, Arema FC, atau PS TNI.
Dari 18 klub peserta Liga 1, Persela termasuk tim termiskin jika ditilik dari modal dasar yang tercatat dalam akta perusahaan. Modal dasar PT Persela Jaya, legal Persela, hanya Rp50 juta dengan modal yang disetor cuma Rp12,5 juta.
Angka itu sangat jomplang ketimbang klub lain seperti Persib dengan modal dasar Rp4 Miliar, PS TNI yang bermodal Rp35 miliar, atau Bali United sebesar Rp60 miliar.
Meski begitu, selama ini finansial Persela relatif stabil. Setidaknya mereka jarang terdengar terbelit tunggakan gaji pemain seperti dialami Persija Jakarta atau Arema FC.
Di tengah berita positif ini, ada satu kebobrokan yang minim diungkap publik. Nyatanya kepemilikan dan kepengurusan Persela dikontrol oleh orang-orang yang berafiliasi dengan Pemerintah Kabupaten Lamongan.
Kepemilikan saham PT Persela Jaya hanya dipegang dua orang: Bupati Lamongan Fadeli dan Sekretaris Daerah Yuhronur Efendi. Keduanya memiliki saham Persela masing-masing 50 persen atau senilai Rp6.250.000.
Dalam akta, posisi Direktur Utama diisi oleh Debby Kurniawan, anak kandung Fadeli. Debby menjabat sebagai Ketua DPD Partai Demokrat yang merangkap Ketua KNPI Kabupaten Lamongan.
Komisaris Utama dipegang Ujik Silvian Effendi, anggota DPRD Lamongan dari Fraksi Golkar sekaligus adik kandung Sekda Lamongan.
Posisi direksi dan komisaris diisi oleh Edy Yunan Achmadi dan Munif Syarif. Meski tak ada ikatan saudara dengan Bupati Fadeli dan Sekda Yuhronur, kedua orang ini berstatus pegawai negeri sipil Pemkab Lamongan.
Nama Yunan lebih populer ketimbang Munif. Selain direktur, Yunan merangkap manajer tim. Yunan semula adalah camat Turi, tetapi sejak awal 2017 menjabat Kabag Pembangunan.
Jika Yunan mengurusi tim, Munif mencari dana. Munif dulu menjabat Direktur Utama BPR Bank Daerah Lamongan, sekarang menjabat Kabag Perekonomian Pemkab Lamongan.
Dari Munif inilah pintu masuk Bank Daerah Lamongan selalu mensponsori Persela setiap musim. Selain itu, instansi Pemkab yang kerap mensponsori Persela adalah RSUD dr. Soegiri.
Seorang pegawai rumah sakit berkata kepada kami bahwa tiap tahun manajemen Persela selalu "memalak" mereka, besarannya berkisar Rp100 juta. Imbalannya, banner RSUD muncul saat laga Persela.
Pada kasus lain, beberapa pengakuan lain berkata bahwa proposal juga diajukan ke sekolah-sekolah negeri. Besaran dana yang diminta antara Rp3-5 juta. Penggalangan dana dikoordinasi oleh pejabat Pemkab Lamongan.
Sekda Lamongan Yuhronur Efendi membantah temuan kami. Katanya, meski bupati dan dia memiliki saham, ia mengklaim tak pernah memaksa PNS menyumbang bagi Persela.
Namun "pemaksaan" itu kata dia dilakukan lewat pola berbeda. "Ya sebenarnya gimana ya, biasanya kami jual tiket berlangganan di kalangan PNS. Tapi itu, kan, beli," ujar dia.
"Intinya, kami ambil uang di muka. Uang itu kami pakai modal. Bagi saya, ini tidak masalah. Toh, mereka juga tidak komplain," ujar Yuhronur kepada kami, pekan lalu.
Yuhronur bercerita awal mula ia terlibat di Persela, "Waktu itu Pak Fadeli menjadi Sekda dan saya menjadi Dirut PAM Daerah, ditawari masuk oleh Bupati sebelumnya, Pak Masfuk."
Menyambut musim Liga 1 2018/2019, pada peluncuran skuat Persela di Alun-Alun Lamongan, 20 Maret lalu, klub ini mendapatkan sponsor dari PayTren, salah satu bisnis investasi Yusuf Mansur. Acara ini dihadiri oleh Bupati Lamongan Fadeli dan Manajer Persela Edy Yunan Achmadi.
Di masa mendatang, kepemilikan saham Persela secara individu sangat mungkin menyimpan perkara bila orang-orang ini tak lagi memegang jabatan di lingkungan birokrat. "Kalau misalkan ganti bupati, nanti ada anaknya. Atau, ya nanti kami jual saja. Itu bagaimana nanti," tukas Yuhronur.
Mengakali Bantuan bagi Perseru dengan Dana Promosi
Kepemilikan saham di PT Perseru Serui hanya dikuasai tiga orang: Yance Banua, Edward Norman Banua, dan Tonny Tesar Rouw.
Berdasarkan akta perusahaan per 4 Mei 2017, komposisi saham mereka: Yance dan Tonny 40 persen (masing-masing Rp15 juta), sisanya Edward 20 persen atau senilai Rp7,5 juta. Total modal yang disetor hanya Rp37,5 juta.
Yance adalah pengusaha terkenal di Kota Serui, ibu kota Kabupaten Kepulauan Yapen. Sementara Edward adalah anak Yance; usianya 25 tahun, umur yang relatif muda sebagai pemegang saham dan direktur klub.
Sementara Tonny Tesar sekarang menduduki kursi Bupati Kepulauan Yapen, jabatan politik yang disandangnya sejak 2012. Sebelumnya Tonny adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Tonny membantah ia terlibat dalam struktur kepemilikan saham PT Perseru Serui. "Perseru itu perseroan terbatas, saya tak terlibat dalam badan hukum di sana. Saya hanya ada dalam pengurus cabang PSSI Kabupaten Kepulauan Yapen yang mengurus sepakbola amatir," ujarnya.
Kami memperlihatkan akta perusahaan PT Perseru Serui untuk membantahnya. "Bapak mungkin tidak merasa, tapi di akta ini muncul nama bapak," kata kami.
Tonny menjawab singkat, "Saya malah baru tahu malam ini, nanti saya cek."
Sikap mengelak juga dilakukan Yance. Namun, ia mengaku setelah kami menunjukkan dokumen, "Sebelum jadi bupati, dia [Tonny] sudah urus Perseru."
Selain pemilik saham, Tonny tercantum sebagai komisaris klub. Ini jelas melabrak undang-undang. Mendengar pertanyaan ini, Yance berkelit, "Makanya saya bilang tadi sudah tidak ada, karena setahu saya memang sudah dikeluarkan. Mungkin akta yang baru, kamu belum dapat."
Kami mengakses akta PT Perseru di Ditjen AHU Kemenkumham per 5 Februari 2018. Berdasarkan data Kemenkumham ini, akta yang kami simpan adalah perubahan yang terbaru. Kali terakhir PT Perseru memperbaharui akta pada 4 Mei 2017. Mereka tak pernah mengubah akta sampai kami mengakses pada Februari lalu.
Setelah ditunjukkan dokumen itu, Tonny tak membantah atau membenarkan. Hanya saja, ia menyebut dalam konteks ini tidak aturan yang dilanggar.
"Punya saham di perusahaan itu boleh," kata Tonny via telepon pada Rabu kemarin, 21 Maret lalu. "Yang tidak boleh itu memiliki saham di perusahaan yang mengerjakan proyek kegiatan yang dibiayai APBN dan APBD. Sepanjang dia tidak bekerja dengan dana dari APBN atau APBD, ya tidak apa," bantahnya.
Jika merujuk ucapannya, Tonny menjilat ludahnya sendiri. Perseru diketahui memiliki relasi bisnis dengan Pemkab Kepulauan Yapen. Klub ini terindikasi beberapa kali mendapatkan dana APBD dengan cara yang halus.
Pemkab Kepulauan Yapen menjadikan Perseru sebagai ujung tombak kegiatan promosi pariwisata dan bisnis. Itulah mengapa pada seragam klub Perseru di Piala Presiden 2018 muncul label "Pemerintah Kepulauan Yapen".
Soal ini dibenarkan Yance saat kami wawancara via telepon pada 7 Maret lalu, "Ya, Pemkab menjadikan Perseru untuk promosi pariwisata dan lain-lain."
Pernyataan itu bertolak belakang dari ucapan sang bupati. Soal jersey, kata Tonny, tak usah dibesar-besarkan. "Kami setiap tahun diperiksa BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), tidak mungkin APBD dipakai untuk olahraga pro termasuk sepakbola."
Soal kostum dengan label sponsor pemerintah kabupaten, Tonny berkilah itu hanya kebetulan. Manajemen Perseru ingin berbalas budi kepada Pemda karena sudah memberikan fasilitas penggunaan lapangan kepada klub secara cuma-cuma, ujarnya.
"Mereka ingin menunjukkan rasa kebanggaan. Lagi pula sewa lapangan dan renovasi stadion pakai uang APBD," katanya.
Yance tak menampik selama ini bantuan Pemda membuat Perseru eksis. Slot anggaran operasional sebesar Rp12 miliar dinilai cukup.
"Kalau main di luar Serui akan lebih mahal karena harus sewa stadion dan hotel. Kalau di sini gratis. Lapangan gratis dari Pemda dan hotel, kebetulan seluruh official menginap di hotel saya," kata Yance.
Fasilitas cuma-cuma bagi Perseru tentu bermasalah sebab ada dana retribusi sewa stadion yang tak masuk kas negara.
Memakai Kekuasaan Wali Kota untuk Menekan Bank Papua
Secara legal, PT Persipura Jayapura dimiliki oleh empat orang: Rudi Maswi, Herat Alexander Kalengkongan, Benhur Tomi Mano, Menase Robert Kambu. Dari akta terakhir per 22 September 2016 yang kami simpan, modal dasar perusahaan sebesar Rp100 miliar, dengan modal yang ditempatkan sebesar Rp2,5 miliar.
Dalam jabatan pengurus dan pemegang saham, Maswi berposisi sebagai komisaris. Ia dikenal publik sebagai manajer Persipura. Maswi memiliki 30 persen saham atau Rp750 juta di PT Persipura.
Di Jayapura, Maswi tersohor sebagai pengusaha minuman keras terbesar di Papua. Ia adalah distributor tunggal miras di beberapa daerah seperti Jayapura, Jayawijaya, dan Biak.
Selain Maswi, ada pengusaha lain yakni Herat Kalengkongan, yang memiliki 10 persen saham atau Rp250 juta di PT Persipura. Kalengkongan lebih dikenal sebagai pengusaha lokal Jayapura. Kepada media, ia memperkenalkan diri sebagai Direktur Utama PT Persipura. Bersama Maswi, Kalengkongan seringkali muncul di media mewakili manajemen Persipura.
Itu berbeda dari dua pemilik saham lain, yakni Benhur Tomi Mano sebagai komisaris utama dan Menase Robert Kambu sebagai komisaris. Kedua orang ini tak terlibat mengurusi tim. Keduanya masing-masing memiliki 30 persen saham di PT Persipura.
Kambu adalah mantan Wali Kota Jayapura selama dua periode (2000-2010). Ia mencalonkan diri sebagai gubernur pada Pilkada Papua 2013 tetapi kalah oleh Lukas Enembe. Setelah kalah, namanya jarang terdengar. Jabatan Kambu sebagai Wali Kota Jayapura digantikan oleh Mano sejak 2011. Saat ini Benhur Mano memasuki jabatan periode kedua hingga 2022.
Saat ditemui Tirto pada acara manajer meeting yang digelar PT Liga Indonesia Baru, operator Liga 1, pada 1 Maret lalu, Rudi Maswi membenarkan posisi Benhur Mano. "Memang, dia di Persipura sebagai ketua umum," katanya.
Benhur terlibat di Persipura sudah cukup lama, menurut Maswi. "Sebelum jadi wali kota, dia sudah masuk."
Benhur, kata Maswi, masuk ke klub Jayapura saat proses peralihan dari perserikatan ke perseroan pada 2011.
Ketika dihubungi lewat telepon, Benhur Mano membenarkan kepemilikan saham di PT Persipura. Tetapi ia menampik telah melanggar aturan.
Meski begitu, ia membenarkan memakai kekuasaannya sebagai Wali Kota Jayapura untuk menekan swasta mengucurkan dana bagi Persipura. Salah satunya lewat Bank Papua. Setiap musim, Bank Papua menjadi sponsor utama Persipura. Musim ini Persipura mendapatkan kucuran dana dari Bank Papua sebesar Rp8,5 miliar.
"Pemda Kota Jayapura ini juga salah satu pemegang saham terbesar di Bank Papua. Kami banyak titip saham di sana. Karena Persipura itu mengangkat harga diri Papua dan Bank Papua, saya meminta mereka untuk membantu Persipura," ujar Mano.
Kehadiran Pejabat Daerah di Klub Membuka Celah Korupsi
Kepemilikan saham Bupati Fadeli di Persela, Bupati Kepulauan Yapen Tonny Tesar Rouw di Perseru, dan Wali Kota Jayapura Benhur Mano di Persipura tidaklah dilarang secara hukum.
"Sah-sah saja kalau kepala daerah punya saham," ucap Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Arief M. Edie, kepada Tirto, Rabu lalu (21/3).
Namun, pejabat ini tak sekadar memiliki saham; mereka terlibat sebagai komisaris klub. Celah ini bisa berpotensi melanggar pasal 76 ayat (1) huruf c dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Pasal ini menyebutkan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah "dilarang menjadi pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah atau pengurus yayasan bidang apa pun."
Hukuman bagi yang melanggar dibahas dalam Pasal 77 ayat (1) berupa sanksi pemberhentian sementara selama tiga bulan oleh presiden untuk gubernur/wakil gubernur serta oleh menteri dalam negeri untuk bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.
Artinya, ketiga pejabat daerah ini mesti berhenti sebelum jabatannya di klub dilepas.
"Prinsipnya, kalau dia melanggar, kami akan tegur. Kalau nekat, kami akan berhentikan," kata Arief.
Ia mengatakan Kemendagri memang sudah melarang penggunaan APBD untuk sepakbola, tetapi instansinya tak bisa melarang kepala daerah mengurusi sepakbola.
Hanya saja, pola yang dilakukan oleh Perseru dengan menggandeng sponsor pemerintah kabupaten sebagai kerja sama "promosi", atau cara "pemaksaan" oleh Persipura dan Persela dengan dalih "membantu tim kebanggan", dapat membuka protensi praktik korupsi.
Pola itulah yang dilakukan oleh Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi yang terjaring operasi tangkap tangan KPK pada September 2017.
Modusnya, Iman meminta klub memberikan dana sponsor dengan dalih tanggung jawab sosial perusahaan ke Cilegon United. Barternya, si pemberi dana bakal dibikin mudah untuk izin lingkungan.
"Uang yang mesti diwaspadai itu sebetulnya bukan APBD. Tapi suap dari swasta yang memakai klub sepakbola. Nah, Kalau itu sudah bukan ranah kami, tapi penegak hukum," ujar Arief.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam