tirto.id - "Saya adalah menantu pertama dari Bapak Soemarno Sosroatmodjo. Sedangkan Bimbim ini cucunya," ungkap Iffet Veceha beberapa tahun lalu. Benar, Bimbim yang dimaksud adalah Bimo Setiawan Almachzumi, pendiri grup band papan atas Indonesia, Slank. Iffet Veceha sendiri kemudian lebih dikenal sebagai Bunda Iffet, yang tidak lain merupakan ibunda Bimbim.
Lantas, siapa Soemarno Sosroatmodjo? Mertua Bunda Iffet dan kakek Bimbim ini adalah Gubernur DKI Jakarta yang pernah menjabat dua kali, yakni pada periode 1960-1964 dan 1965-1966, serta sempat merangkap jabatan Menteri Dalam Negeri RI atas perintah Presiden Sukarno.
Salah satu gebrakan paling menonjol yang dilakukan Soemarno saat menjabat gubernur adalah program rumah minimum (minimalis) untuk rakyat Jakarta. Sebuah gagasan yang tujuannya kurang lebih sama dengan program rumah DP (down payment) nol rupiah ala pasangan pemimpin ibukota zaman ini, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Pengabdian Dokter Tentara
Soemarno Sosroatmodjo lahir di Jember, Jawa Timur, pada 24 April 1911. Sebelum terjun ke kancah politik, ia adalah seorang dokter militer yang kerap ditugaskan ke wilayah-wilayah pelosok.
Ada kisah seru yang dialami Soemarno semasa berdinas sebagai dokter pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dalam buku otobiografinya berjudul Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya (1981) diceritakan, pengalaman pertama Soemarno bertugas di luar Jawa adalah pada pertengahan Juni 1938. Saat itu, ia ditempatkan di Tanjung Selor (sekarang termasuk wilayah Provinsi Kalimantan Utara).
Setahun berselang, Soemarno pindah tempat dinas ke Kuala Kapuas. Seharusnya, ia hanya beberapa bulan saja bertugas di wilayah yang kini menjadi ibukota Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, itu. Namun, saat hendak pulang ke Jawa, Perang Asia Timur Raya yang melibatkan Sekutu versus Jepang sedang hebat-hebatnya.
Akbitanya, kepulangan Soemarno harus ditunda. Ia bertahan di Kalimantan dan terus melayani masyarakat selama era pendudukan Jepang. Soemarno dan keluarganya baru bisa berangkat ke Jawa setelah Indonesia merdeka tahun 1945, itu pun harus tetap waspada lantaran perang berkecamuk di mana-mana seiring kembalinya Belanda.
Soemarno bertolak dari Kalimantan dengan menumpang perahu kecil menuju Bangkalan, Madura, kemudian menetap di Malang. Selama beberapa waktu di Malang, Soemarno, dokter yang terikat dinas dengan pemerintah kolonial, menganggur karena Hindia Belanda telah runtuh.
Meletusnya perang di Surabaya atau yang dikenal dengan Peristiwa 10 November 1945 membuat Soemarno tidak bisa hanya diam. Ia memutuskan bergabung dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan sebagai dokter tentara dengan pangkat kapten.
Selanjutnya, Soemarno semakin sering menjalani tugasnya sebagai dokter militer, termasuk memimpin rumah sakit tentara di Solo selama sisa masa Revolusi. Ia lalu bertugas sebagai tenaga medis untuk militer dalam operasi penumpasan gerakan separatis di Sulawesi Selatan dan Maluku setelah penyerahan kedaulatan sejak akhir 1949.
Soemarno diangkat sebagai Kepala Pendidikan Kesehatan Angkatan Darat di Jakarta pada 1953. Tahun 1959, sebagaimana diungkap Sugihardjo dalam Peranan Wanita dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (1998), ia mengusulkan agar dibentuk Korps Wanita Angkatan Darat (KOWAD) meski sempat menjadi perdebatan alot karena peran kaum perempuan saat itu belum dianggap penting (hlm. 12).
Presiden Sukarno tertarik kepada Soemarno dengan sederet pengalaman dan sepak-terjangnya ketika menjadi Asisten III Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad). Kala itu, jabatan Kasad diemban Jenderal A.H. Nasution. Maka, sejak 29 Januari 1960, Presiden menunjuknya sebagai Gubernur Jakarta.
Membersihkan Jakarta
Soemarno Sosroatmodjo adalah gubernur pertama ketika status Kota Praja Jakarta Raya berubah menjadi Daerah Tingkat I. Penetapan Jakarta sebagai Ibukota RI, berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1964, juga terjadi pada masa kepemimpinannya. Hal itu menjadi tantangan besar bagi Soemarno untuk menjadikan Jakarta sebagai wajah Indonesia pertama yang bakal dilihat dunia.
Dari situlah Soemarno memusatkan fokus untuk menangani kebersihan, kesehatan, lapangan kerja, dan perumahan untuk rakyat. Namun, cobaan langsung datang begitu ia menjabat. Baru 5 hari dilantik, seperti diceritakan istri gubernur, Armistiani Soemarno Sosroatmodjo dalam buku Bukit Kenangan (1986), banjir besar melanda ibukota (hlm. 106).
Banjir itu membuat seantero Jakarta menjadi kotor dan kumuh, dari gedung parlemen hingga kampung-kampung. Maka, seperti ditulis Alwi Shahab dalam artikelnya berjudul “Jejak Langkah dr H Soemarno Sosroatmodjo” (2007), sang gubernur harus bergerak cepat dan cerdas untuk mengatasi masalah kebersihan tersebut.
Terlebih Presiden Sukarno beberapa kali turun langsung guna memantau kondisi ibukota pascabanjir, sekaligus memberikan tantangan bagi Soemarno Sosroatmodjo selaku gubernur. Presiden ingin menjadikan Jakarta sebagai kota teladan bagi daerah-daerah lain di Indonesia, sekaligus mercusuar dunia ketiga di kancah internasional.
Untuk itulah Presiden Sukarno menggencarkan pembangunan besar-besaran ketika Jakarta dipimpin Soemarno Sosroatmodjo. Di antaranya membangun Monumen Nasional (Monas), stadion dan kompleks olahraga Senayan, Patung Selamat Datang, Patung Pahlawan (Tugu Tani), Proyek Ancol, Proyek Senen, dan seterusnya.
Perintah Presiden Sukarno yang menghendaki Jakarta bersih juga karena akan digelarnya sejumlah event besar bertaraf dunia, seperti Asian Games dan Games of the New Emerging Forces (Ganefo) 1962. Ganefo adalah pesta olahraga dunia yang digagas untuk menyaingi Olimpiade.
Tantangan Soemarno sebagai Gubernur Jakarta semakin berat karena saat itu Indonesia sedang galak-galaknya terhadap negara-negara liberal, tengah berkonfrontasi pula dengan Malaysia. Belum lagi urusan pembebasan Irian Barat yang diserukan Presiden Sukarno.
Baja juga:
- Olimpiade Tandingan yang Menyatukan Politik dan Olahraga
- Gara-gara Malaysia, Indonesia Keluar dari PBB
- Ambisi Amerika di Balik "Pembebasan" Irian Barat
Untuk mengatasi masalah kebersihan, Soemarno menerapkan sejumlah kebijakan. Salah satunya adalah menginstruksikan petugas kebersihan beraksi menjelang subuh agar jalan-jalan di ibukota sudah bersih sebelum warga ke luar rumah untuk beraktivitas. Ia juga menggalakkan lomba kebersihan antar stasiun kereta api dan antar toko.
Nyaris semua warga dilibatkan dalam program “Gerakan Kebersihan” ini. Setiap pukul 08.00, sirene dibunyikan, dan seluruh orang, termasuk mereka yang ada di dalam mobil, harus turun untuk membersihkan jalan di sekitarnya selama beberapa menit.
Program Rumah Murah
“Marno, sebagai pemimpin kamu harus mampu berpikir tentang apa yang bisa kamu perbuat untuk rakyatmu lima puluh tahun yang akan datang. Kamu harus mampu membayangkan apa yang dibutuhkan oleh rakyatmu, rakyat Jakarta. Bukan untuk satu atau dua tahun ke depan, tapi lima puluh atau seratus tahun ke depan.”
Begitulah amanat Presiden Sukarno kepada Gubernur Jakarta, Soemarno Sosroatmodjo, seperti dikutip dari buku Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol karya Sugianto Sastrosoemarto (2010: 42).
Presiden mengatakannya ketika bersama Soemarno memantau pembangunan Proyek Ancol. Namun, pesan visioner Sukarno itu bisa juga diterapkan dalam berbagai kebijakan Soemarno lainnya. Salah satunya adalah kebutuhan rakyat Jakarta akan tempat tinggal yang layak.
Maka, Soemarno menggagas perumahan untuk rakyat, yang dikenal dengan program rumah minimum. Konsepnya adalah rumah dengan luas bangunan 90 meter persegi, terdiri dari 2 lantai, didirikan di atas tanah seluas 100 meter persegi. Sasarannya adalah masyarakat menengah ke bawah, terutama untuk kaum pekerja.
Area proyek rumah minimum, seperti dijelaskan Christopher Silver dalam Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century (2007), adalah lokasi yang berdekatan dengan tempat kerja dan area perbelanjaan. Maka itu, Soemarno mengimbau kepada perkantoran, pabrik, atau pusat perbelanjaan agar membantu penyediaan lahan untuk tujuan ini (hlm. 95).
Dalam buku Jakarta-Batavia Socio-Cultural Essays (2000) yang disusun Kees Grijns dan Peter J.M. Nas disebutkan, beberapa lokasi pertama pembangunan rumah minimum era Soemarno di antaranya adalah Raden Saleh (Jakarta Pusat), Karang Anyar (Jakarta Pusat), Tanjung Priok (Jakarta Utara), dan Bandengan Selatan (Jakarta Utara).
Pilihan itu dilakukan dengan pertimbangan, selain dekat dengan pusat aktivitas kerja rakyat dan sentra ekonomi, lokasi-lokasi tersebut juga sempat cukup lama terbengkalai karena hancur akibat kebakaran (hlm. 235).
Lantaran sasaran utamanya adalah masyarakat menengah ke bawah, maka harga yang ditetapkan pun sangat terjangkau. Pemerintah Daerah Jakarta memasok lahan murah untuk dikembangkan dengan perusahaan swasta.
Soemarno yakin, rumah merupakan kebutuhan dasar rakyat Jakarta dan tugas utama pemerintah adalah menyediakannya. Memang, ada kalanya upaya Soemarno untuk membebaskan lahan tidak selalu berhasil, salah satunya di kawasan Pulo Mas (Jakarta Timur). Namun, apa yang dirintis Soemarno ini telah memberikan manfaat bagi warga Jakarta dalam jangka waktu yang lama, seperti amanat Presiden Sukarno.
Sumarno sempat merangkap jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri RI pada 27 Agustus 1964 hingga 28 Maret 1966 atas perintah Presiden. Setelah tragedi 30 September 1965 meletus dan kekuasaan Orde Lama tumbang, karier Soemarno—yang dikenal sebagai loyalis Sukarno—turut surut.
Pada 28 April 1966, atau berselang sebulan setelah tidak lagi menjabat Mendagri, Soemarno juga lengser dari kursi Gubernur Jakarta. Ia digantikan oleh wakilnya, Henk Ngantung.
Soemarno Sosroatmodjo wafat di Jakarta pada 9 Januari 1991 dalam usia 79. Atas pengabdiannya melayani masyarakat Kalimantan selama bertugas sebagai dokter di sana, nama kakek Bimbim Slank ini diabadikan sebagai nama dua rumah sakit di Tanjung Selor dan Kapuas.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan