tirto.id - Ridwan Saidi meyakini, pasukan gabungan Demak-Cirebon pimpinan Fatahillah telah membantai penduduk Betawi pada 1527. Maka itu, sejarawan Betawi ini tidak sepakat jika tanggal 22 Juni diperingati sebagai hari lahir Jakarta, merujuk pada hari ketika Sunda Kelapa beralih-tangan dan diganti namanya menjadi Jayakarta.
"Tanggal 22 Juni bukan (hari) ulang tahun Jakarta," tukas Ridwan Saidi. "Di saat orang-orang merayakan, kami orang Betawi sedih karena di hari itu Mbah Item nenek moyang kami dibantai," imbuhnya (Merdeka, 28 Mei 2012).
“Mereka membakar rumah kami (penduduk Betawi saat itu), mengusir kami sehingga kami harus menyingkir ke balik-balik bukit, kok malah dijadikan hari jadi kota?" kata mantan Ketua Umum Partai Masyumi Baru ini dalam kesempatan lainnya (Kompas, 23 Juni 2011).
Baca Juga: Benarkah Fatahillah Membantai Rakyat Betawi?
Sebelum pasukan Fatahillah tiba, Sunda Kelapa adalah kota pelabuhan milik kerajaan Hindu bernama Pakuan Pajajaran yang berpusat di Bogor. Warga Sunda Kelapa kala itu tentu saja juga merupakan penduduk Pajajaran, selain orang-orang dari berbagai tempat lainnya yang datang untuk berdagang, atau kemudian menetap.
Lantas, apakah warga Sunda Kelapa yang kata Ridwan Saidi telah dibantai Fatahillah itu adalah orang-orang Betawi yang kemudian dipercaya sebagai pribumi atau penduduk asli Jakarta? Padahal, dilihat dari berbagai faktor, masyarakat Betawi tidak sepenuhnya sama dengan orang Sunda.
Jejak Panjang Orang Jakarta
Jauh sebelum Pajajaran berdiri, sudah ada Kerajaan Salakanegara pada abad ke-2 Masehi. Salakanegara kerap dianggap sebagai pendahulu Tarumanegara dan kerajaan-kerajaan Sunda lain setelahnya.
Masih menjadi perdebatan di mana lokasi pusat Kerajaan Salakanegara sesungguhnya. Ada yang berpendapat berada di Pandeglang (Banten), Bogor (tepatnya di kaki Gunung Salak), juga di daerah yang kini bernama Condet (Jakarta Timur). Tapi, yang lebih pasti, Salakanegara adalah kerajaan leluhur orang Sunda.
Kerajaan Salakanegara diduga kuat sudah menjalin relasi perdagangan dengan bangsa Tiongkok, yang menyebutnya dengan nama Kerajaan Holotan. Bahkan, Kerajaan Salakanagara pernah mengirim utusan dagang ke negeri Cina pada 432 M (Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, 2008).
Baca Juga: 13 Hari Pembantaian Orang Cina di Jakarta
Abdurrahman Misno & Bambang Prawiro (2016:327) dalam buku Reception Through Selection-Modification: Antropologi Hukum Islam di Indonesia, menyebut bahwa Jakarta saat itu telah didiami oleh sekelompok warga Salakanegara. Meskipun begitu, mereka ini belum bisa disebut Suku Betawi.
Letak permukiman mereka yang berada di dekat pantai membuat terjadinya interaksi dengan orang-orang luar, semisal para nelayan atau pelaut yang datang dari Jawa atau Madura. Maka, muncul keyakinan bahwa cikal-bakal penduduk Betawi tersebut ada yang memakai bahasa Kawi atau Jawa Kuno, juga telah mengenal aksara Jawa, selain bahasa Sunda.
Riwayat penduduk pesisir Jakarta ini berlanjut hingga Salakanegara runtuh dan dilanjutkan Tarumanegara, sampai era Pajajaran. Nama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan dagang mulai dikenal. Sampai akhirnya, Pajajaran meminta bantuan Portugis untuk menangkal serangan dari Jawa pada 1527 kendati berakhir dengan kekalahan.
Magnet Sunda Kelapa
Sanusi Pane (1955:27) dalam Sedjarah Indonesia menuliskan, Sunda Kelapa pada masa Pajajaran sudah dikenal sebagai kota pelabuhan internasional. Ia menjadi tempat bertemunya kaum pedagang dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Eropa dan Arabia (Timur Tengah).
Tentunya tak hanya orang-orang Eropa dan Timur Tengah, kaum saudagar lintas bangsa dari negeri-negeri Melayu, India, Jepang, juga Cina, juga sering berkunjung ke Sunda Kelapa. Bandar dagang yang selalu ramai ini memang dikenal sebagai segitiga emas Nusantara bersama Malaka dan Maluku.
Dengan jatuhnya pesisir Jakarta alias Sunda Kelapa dari Pajajaran dan Portugis, tambah beragam pula jenis orang yang menjamahnya, yakni orang-orang Jawa dari Kesultanan Demak, juga dari Cirebon. Atas komando Fatahillah, Sunda Kelapa dibumi-hanguskan kemudian dibangun kota baru di atasnya dengan nama Jayakarta yang berarti “kota kemenangan”.
Pada awal abad ke-17, wilayah Jayakarta dikelola oleh pejabat dari Kesultanan Banten seiring runtuhnya Kesultanan Demak. Namun, kedatangan orang-orang VOC dari Belanda yang dipimpin Jan Pieterszoon Coen berhasil mengambil-alih Jayakarta pada 1619. Nama Jayakarta pun kemudian dihilangkan dan diganti menjadi Batavia (Windoro Adi, Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi, 2010:345).
Baca Juga: Adriaan Valckenier, Gubernur Pembantai Cina di Batavia
Batavia kemudian menjadi pusat pemerintahan VOC yang juga menguasai sebagian besar wilayah Nusantara lainnya. Untuk membangun Batavia, didatangkanlah pekerja atau budak dalam jumlah besar dari berbagai tempat, termasuk Jawa, Bali, Sumbawa, Sulawesi, Maluku, bahkan dari Cina dan India. Mereka berinteraksi dengan orang-orang yang sudah menetap sebelumnya.
Pribumi Jakarta Adalah Kita
Perpaduan masyarakat dari berbagai unsur inilah yang sebenarnya telah membentuk suku baru yang lantas dikenal dengan nama Betawi, dan proses ini semakin kental selama masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Komposisi penduduk Batavia sangat beragam. Tersusun atas orang-orang Sunda, Melayu (dari Sumatera dan Borneo), Jawa, Bali, Sulawesi, Timor (Nusa Tenggara, Maluku, dan lain-lain), hingga orang-orang mancanegara beserta keturunannya (semisal Portugis, Belanda, Cina, Timur Tengah, India, Moor, dan seterusnya).
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, pembauran lintas suku bangsa di Jakarta (nama untuk menggantikan Batavia) semakin menghebat. Migrasi besar-besaran terjadi setelah Jakarta ditetapkan sebagai ibukota negara. Orang-orang dari berbagai daerah berdatangan ke Jakarta.
Kelompok-kelompok etnis pendatang itu pun berbaur dengan kelompok masyarakat majemuk yang sudah ada sebelumnya. Mereka membentuk masyarakat metropolitan dengan bahasa Betawi yang diperbarui sebagai alat komunikasi antarkelompok penduduk Jakarta (Muhadjir, Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya, 2000:53).
Maka, tidak mudah menunjuk siapakah pribumi Jakarta jika identitas dibayangkan sebagai hal yang monolitik. Apabila yang dimaksud penduduk Jakarta “asli” adalah mereka yang tinggal di wilayah ini sebelum masuknya kolonial Belanda, maka sebagian orang Cina dan beberapa suku bangsa lain dapat dianggap sebagai penduduk Jakarta “asli” (Edi Sedyawati, dkk., Sejarah Kota Jakarta 1950-1980, 1986:42).
Baca Juga: Melayu, Islam, dan Politisasi Pribumi ala Kolonial
Sebagai jalan tengah, simak nukilan dari buku Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya karya Muhadjir (2000:53) berikut ini:
“… komponen penduduk yang berasal dari berbagai tempat dan golongan itulah yang pada akhirnya merupakan cikal-bakal pembentuk masyarakat yang mewujudkan ‘suku’ baru yang kita kenal sebagai Kaum Betawi, pemilik bahasa dan budaya Betawi, dengan ciri khasnya yang kita kenal sekarang.”
Itu artinya, pribumi alias penduduk asli Jakarta, tidak lain dan tidak bukan, adalah kita.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS