Menuju konten utama

Plus Minus Ikut Program DP 0 Rupiah ala Anies-Sandi

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memulai realisasi program pembiayaan perumahan DP 0 Rupiah. Apa konsekuensi bagi pembeli?

Plus Minus Ikut Program DP 0 Rupiah ala Anies-Sandi
Pekerja beraktivitas di area proyek pembangunan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) Tingkat Tinggi Pasar Rumput, Jakarta, Kamis (21/12). Rumah susun yang terintegrasi dengan moda transportasi umum dan pasar diharapkan dapat menjadi solusi menggerakan perekonomian dan memenuhi kebutuhan tempat tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/kye/17.

tirto.id - “Sebanyak 41 persen warga Jakarta tidak punya rumah sendiri. Karena itu, kami siapkan solusi dari sisi pembiayaan. Supply itu datang dari pemerintah atau masyarakat, dan aksesnya buat masyarakat miskin yang tidak punya rumah.”

Jawaban Anies Baswedan saat ditanya oleh lawan debatnya, Basuki Tjahaja Purnama pada satu sesi Debat Pilkada Putaran Kedua DKI Jakarta tahun lalu, mengingatkan kembali ihwal program pembiayaan hunian DP 0 Rupiah yang sempat jadi wacana yang cukup menyedot perhatian masyarakat Jakarta kala itu. Ada yang pesimistis, tapi ada juga yang berharap janji tersebut dapat benar-benar terjadi.

Anies dan Sandi pun akhirnya terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Berselang sekitar tiga bulan sejak dilantik, Anies-Sandi mulai merealisasikan janji. Peletakkan batu pertama rusun Kelapa Village di Jalan H Naman, Kelurahan Pondok Gede, Duren Sawit, Jakarta Timur pada 18 Januari 2018, menjadi tonggak awal untuk mendukung program pembiayaan DP 0 Rupiah.

Rusun itu dibangun di atas lahan milik BUMD DKI Jakarta, yakni PD Pembangunan Sarana Jaya. Rusun berlantai 20, dan dengan total 703 unit hunian yang terdiri dari 513 unit tipe 36 dan 190 unit tipe 21. Untuk unit rusun tipe 36, Pemprov DKI Jakarta menawarkan harga hunian senilai Rp320 juta. Sementara tipe 21 dihargai sebesar Rp185 juta. Apabila tidak ada aral melintang, rusun itu akan baru bisa dihuni pada 2019.

Apa saja syarat yang harus dipenuhi agar masyarakat dapat memiliki hunian tersebut dengan DP 0 Rupiah?

Untuk mendapatkan pembiayaan DP 0 Rupiah tersebut, sedikitnya ada empat syarat yang harus dipenuhi masyarakat. Pertama, pembeli harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. Kedua, pembeli telah berusia 21 tahun atau telah menikah, dan belum memiliki rumah. Selain itu, pembeli juga belum pernah menerima subsidi dari pemerintah terkait dengan kepemilikan hunian.

Ketiga, pembeli harus memiliki gaji atau penghasilan pokok tidak lebih dari Rp7 juta setiap bulan. Pembeli juga harus memegang surat keterangan sebagai masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Keempat, pembeli wajib memiliki masa kerja atau usaha minimal satu tahun, dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Syarat-syarat yang diberikan Pemprov DKI Jakarta itu hampir mirip dengan program pembiayaan rumah subsidi oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang biasa disebut Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).

Besaran bunga kredit dan tenor cicilannya pun sama yakni bunga flat 5 persen per tahun dan tenor maksimal 20 tahun. Pemprov DKI Jakarta memang menggunakan fasilitas FLPP dari pemerintah pusat dalam mewujudkan DP 0 Rupiah. Bedanya, peserta FLPP pemerintah pusat masih harus membayar uang muka atau DP sebesar 1 persen.

“Kami bekerja sama dengan bank nasional yang telah menyediakan fasilitas FLPP. Untuk DP-nya, kami subsidi 1 persen,” kata Agustino Dharmawan, Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta dikutip dari Antara.

Kendati DP 0 Rupiah, kebijakan Anies-Sandi itu dipastikan tidak melanggar Peraturan Bank Indonesia (BI) No. 18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value (LTV) untuk Kredit Properti dan Rasio Financing to Value (FTV) untuk pembiayaan properti.

Dalam aturan itu, DP untuk pembelian rusun dibatasi sebesar 10-15 persen dari harga rusun. Namun, pada pasal 17 PBI No. 18/2016, disebutkan apabila pembiayaan rusun berasal dari program pemerintah pusat/daerah, maka aturan dari BI itu tak berlaku.

infografik akhirnya rusun juga

Konsekuensi Program DP 0 Rupiah

Program pembiayaan perumahan Pemprov DKI dengan mensyaratkan penghasilan maksimal Rp7 juta maka, konsekuensi pertamanya adalah hunian yang akan dibeli berbentuk rusun. Ini karena sudah tak mungkin dengan penghasilan sebesar itu bisa mendapatkan rumah tapak di Jakarta yang harga tanahnya sudah sangat tinggi. Sedangkan untuk FLPP, karena berlaku di seluruh Indonesia, masih memungkinkan membiayai rumah tapak karena harga lahan masih terjangkau.

Di sisi lain, meski bebas dari uang muka, tentunya ada sejumlah hal yang harus diperhatikan para calon pembeli rusun. Salah satunya adalah adanya biaya pemeliharaan umum (service charge) secara berkala.

Iuran ini tidak terlepas dari upaya memelihara hal-hal yang menjadi hak bersama, seperti Bagian Bersama, Benda Bersama dan Tanah Bersama, seperti biaya manajemen pengelolaan rusun, pajak, kebersihan, asuransi dan lain sebagainya.

Untuk itu disarankan bagi calon penghuni rusun untuk mencermati perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Pasalnya, masalah iuran pemeliharaan ini sudah dicantumkan secara tertulis saat pembelian.

Selain itu, bagi pemilik rusun juga akan menghadapi biaya atau perpanjangan hak guna bangunan (HGB) dari lahan yang mereka tempati bersama. Saat membeli rusun, penghuni nantinya akan memiliki sertifikat hak milik satuan atas rumah susun (SHM Sarusun).

Namun, selain SHM Sarusun, para pembeli rusun juga memiliki hak atas sertifikat HGB rusun itu karena menggunakan tanah secara bersama-sama. Sayangnya, sertifikat HGB memiliki masa berlaku, dan bisa diperpanjang.

“Jadi, apabila sertifikat HGB tanah bersama habis masa berlakunya, maka SHM Sarusun juga diganti karena akan merujuk pada sertifikat HGB,” kata Erwin Kallo, pengacara properti dari Erwin Kallo & Co. kepada Tirto.

Berdasarkan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, jangka waktu maksimal HGB mencapai 30 tahun. Sertifikat HGB dapat diperpanjang dengan jangka waktu maksimal 20 tahun.

Untuk memperpanjang sertifikat HGB induk tentunya akan ditanggung oleh para pemilik rusun. Biasanya, untuk memperpanjang sertifikat HGB tersebut akan menggunakan dana cadangan (sinking fund).

Dana cadangan yang dimaksud adalah dana yang tersisa atau disisihkan oleh perhimpunan penghuni rumah susun (PPRS) dari dana iuran pemeliharaan rusun, di mana berasal dari para penghuni atau pemilik rusun.

Biasanya, dana cadangan ini digunakan untuk perbaikan besar rusun, seperti perbaikan lift, pengecatan dan lain sebagainya. Namun, dana cadangan ini juga bisa digunakan untuk biaya perpanjangan sertifikat HGB induk.

Meski begitu, bisa juga PPRS menetapkan lebih awal besaran iuran untuk membayar biaya perpanjangan HGB, tanpa perlu menunggu sisa dari iuran pengelolaan rusun. Tentunya, nilai besaran dana harus dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Bagaimana bila pengajuan perpanjangan sertifikat HGB atau tanah bersama tak disetujui BPN?

Sertifikat HGB memang diberikan jangka waktu tertentu, yakni maksimal 30 tahun. Setelah itu, HGB itu dapat diperpanjang maksimal 20 tahun, sesuai dengan pasal 35 ayat 1 dan ayat 2 UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Apabila HGB sudah habis masa berlaku dan sudah habis pula masa perpanjangannya, pemilik rusun masih bisa menempati huniannya dengan memperbaharui HGB itu, sesuai dengan pasal 25 PP No. 40/1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah.

Namun ada syarat yang harus dipenuhi agar HGB bisa diperbaharui, antara lain seperti tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut.

Kemudian, syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang HGB; tanah masih sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan; dan mendapat persetujuan dari pemegang hak pengelolaan (HPL).

Erwin Kallo berpendapat para calon pembeli rusun tidak perlu khawatir soal ini. Menurutnya, kecil kemungkinan sertifikat HGB itu tidak disetujui diperpanjang atau diperbaharui oleh pemerintah.

“Sangat tidak mungkin pemerintah begitu saja mengubah rencana tata ruang kotanya, tanpa mempertimbangkan hak para pemilik sarusun tersebut. Apalagi, jika rusun itu dimiliki oleh ratusan pemilik sarusun,” kata Erwin.

Namun, tetap saja tidak ada jaminan permohonan perpanjangan/pembaharuan HGB khususnya yang di atas HPL akan sangat tergantung pemegang HPL. Para subjek pemegang HPL biasanya pemerintah daerah, BUMN, BUMD, atau lembaga pemerintah lainnya.

Apabila pemegang HPL tidak memberikan persetujuan, maka jangka waktu HGB tidak diperpanjang/diperbaharui alias habis mas waktunya. Hal ini sesuai dengan pasal 35 ayat (1) huruf a PP 40/1996. Dengan demikian, tanah yang bersangkutan kembali ke dalam penguasaan sepenuhnya dari pemegang HPL yang bersangkutan.

Namun, bagi Erwin kondisi demikian kecil peluangnya karena HPL pada dasarnya untuk mengontrol peruntukan dari penggunaan lahan. Sehingga bila peruntukan lahannya tidak berubah sebagai kawasan hunian, maka tidak ada alasan izin perpanjangan/pembaruan HGB tak diberikan.

"HPL itu bukan hak kepemilikan, jadi wajib diperpanjang, kecuali ada perubahan peruntukan tanah," kata Erwin.

Semenjak pembangunan rusun gelombang pertama dibangun di Indonesia antara lain Rusun Klender, Jakarta Timur pada 1985, usia rusun itu kini baru 33 tahun. Artinya masih tahap perpanjangan HGB, belum sampai pembaruan HGB saat lahan lokasi rusun mencapai usia 50 tahun.

Namun, dalam perkembangannya saat memasuki izin HGB selesai atau 30 tahun, kondisi rusun tua di Jakarta sudah dianggap sudah tak layak. Rusun Perum Perumnas misalnya, sebagai pihak pemegang HPL dan pengembang, Perumnas berencana merevitalisasi beberapa rusun termasuk di Kebon Kacang, Jakarta Pusat, tapi menuai polemik antara para pemilik dan Perumnas.

Dalam konteks program pembiayaan DP 0 Rupiah antara lain di Rusun Kelapa Village yang dibangun di atas tanah PD Pembangunan Sarana Jaya. Alangkah baiknya calon pembeli rusun menanyakan kepada BUMD ihwal status lahan apakah statusnya tak bermasalah dan izin HGB yang dikantongi berapa lama, termasuk apakah HPL.

Semenjak peluncuran, Rusun Kelapa Village untuk DP 0 Rupiah sempat diwarnai informasi soal status lahan. Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menanggapi terkait munculnya keluhan warga soal status proyek rusun mangkrak di dekat lokasi yang akan dibangun apartemen Pondok Kelapa Village, sebagai lokasi program Rumah DP 0 Rupiah.

Seorang warga sempat meminta kejelasan atas cicilan rusun yang telah dibayarnya sejak 2015 di Pondok Kelapa Village yang mangkrak. Namun, Sandi menegaskan tanah yang akan digunakan untuk Rumah DP 0 Rupiah itu milik BUMD PD Pembangunan Sarana Jaya totalnya hampir tiga hektar dan sebanyak 1,5 hektar dikerjakan oleh pemerintah sebelumnya yang statusnya dikerjasamakan. Sandi memastikan soal status lahan untuk program pembiayaan DP 0 Rupiah tak ada masalah.

"Lahan yang akan dibangun untuk DP 0 Persen sudah 'clean and clear' sekali lagi saya katakan sudah 'clean and clear," kata Sandiaga.

Di luar persoalan pembiayaan yang ringan, masalah komitmen proses pembangunan, dan status lahan, memilih rusun sebagai hunian memang bisa jadi pilihan bagi mereka yang menghendaki kepraktisan untuk tinggal di tengah kota dan dekat dengan lokasi kerja. Namun, mengkaji lebih teliti sebelum membeli rusun termasuk dalam program DP 0 Rupiah, wajib dilakukan oleh para calon pembeli jangan sampai menyesal kemudian.

Baca juga artikel terkait RUMAH DP NOL PERSEN atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra