Menuju konten utama

Akal-akalan DP Nol Persen

Sejumlah pengembang memasang iklan DP nol persen, meski BI jelas-jelas melarang. Aslinya, DP nol persen merupakan hasil "kreativitas" pengembang untuk menggaet konsumen. DP tetap dibayar dengan cara menggelembungkan nilai KPR.

Akal-akalan DP Nol Persen
Kawasan perumahan bersubsidi di kawasan Aceh Besar. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

tirto.id - Down Payment atau Uang Muka rumah sebesar nol persen sedang ramai diperbincangkan. Ini bermula dari pernyataan calon Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan saat debat pada 10 Februari lalu.

Dalam debat tersebut, Anies sebenarnya menyatakan bahwa jika ia terpilih sebagai gubernur, maka akan dibuat sebuah program agar masyarakat bisa ringan saat menyediakan DP kredit perumahan.

“Bagi semua warga Jakarta, kendalanya bukan tidak mampu kreditnya, tapi beban untuk membayar down payment yang besar sekali,” kata Anies.

Sayang, penjelasan Anies tidak terdengar dengan baik karena microphone-nya mati. Di segmen berikutnya, Anies diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan seputar program DP nol persen itu, sebagai kompensasi karena microphone-nya mati.

Anies menjelaskan, bahwa program yang dimaksud adalah dengan memberikan fasilitas kredit khusus untuk DP perumahan. Fasilitas itu akan disediakan oleh Bank DKI, dan masyarakat bisa mencicilnya selama enam bulan, sehingga bisa terkumpul dana yang mencukupi untuk DP rumah sebesar 10 persen.

“Mereka menabung selama enam bulan secara konsisten sehingga saldonya sampai dengan 10% (untuk DP),” jelasnya.

Di kesempatan terpisah, Sandiaga Uno, pasangan Anies Baswedan memberikan penjelasan soal program tersebut. Untuk mendapatkan rumah tanpa DP, masyarakat diminta untuk menabung. Skema “tabungan” 6-12 bulan dibuat untuk melihat kemampuan bayar nasabah yang bersangkutan.

“Dilihat cicilannya, dia sanggup enggak, karena dia punya sumber income yang jelas. Begitu sudah dilihat polanya, maka secara prudent bank akan bilang, oke dia layak, maka bisa diberi pinjaman untuk KPR. Karena KPR itu kan punya value, value-nya itu ya rumahnya itu,” jelas Sandiaga dalam wawancaranya dengan Tirto.

Sandi menjelaskan, program tersebut bukan merupakan pemberian hibah untuk uang muka, melainkan pinjaman. Polanya adalah dengan secondary mortgage. Untuk program ini, Pemprov tidak akan menggandeng pengembang-pengembang besar.

This is not program untuk Pemprov DKI nyari untung. Bukan. Tapi untuk membantu warga Jakarta mendapatkan housing,” urai Sandiaga.

Marak DP Nol Persen

Terlepas dari simpang siurnya program DP nol persen dari pasangan Anies-Sandiaga, perihal DP rumah memang sangat memberatkan masyarakat yang ingin memiliki rumah. Ini terutama berlaku bagi kaum muda yang baru saja mapan dan belum memiliki banyak tabungan untuk DP rumah.

Dengan harga rumah di kota satelit seperti Depok, Bekasi, Tangerang ataupun Bogor yang kini paling murah sebesar Rp300 juta, maka DP yang disiapkan minimal Rp30 juta. Ini belum termasuk biaya-biaya KPR, BPHTB, dll yang tidak kecil. Besarnya DP inilah yang kemudian menyurutkan minat masyarakat untuk membeli rumah.

Sadar dengan permasalahan DP ini, para pengembang akhirnya “kreatif” dengan menawarkan DP nol persen. Coba saja berselancar di internet, Anda akan mendapati banyak sekali pengembang yang menawarkan rumah tanpa uang muka. Begitu juga dalam berbagai pameran properti, Anda akan mendapati banyak sekali pengembang yang menawarkan DP nol persen ini.

Reza, salah satu karyawan di Jakarta termasuk salah satu yang tergoda dengan program DP nol persen ini. Ia mendapatinya dalam sebuah pameran properti di Senayan yang digelar Agustus tahun lalu. Salah satu pengembang tengah membangun beberapa perumahan di Citayam, Depok. Ada dua tipe cluster yang ditawarkan waktu itu, ada yang harganya Rp300-an juta, ada pula yang Rp600-an juta. Perbedaan harga ini dikarenakan perbedaan lokasi dan tipe rumah.

Promo tersebut benar-benar tanpa uang muka. Jadi, cukup dengan membayar booking fee sebesar Rp2,5 juta saja, seseorang sudah bisa memiliki rumah, tentu saja kalau penngajuan KPR disetujui bank. Yang lebih menarik lagi, ada promo cashback Rp20 juta. Jadi, biaya proses KPR bisa ditutupi dengan cashback tersebut.

Reza akhirnya memutuskan mengambil satu unit rumah dengan luas tanah 105 meter persegi dengan luas bangunan 45 meter persegi. Hargnya Rp655 juta. Lokasi perumahan ini dekat dengan stasiun Citayam, hanya 3 menit naik sepeda motor. Si calon pembeli cukup membayar booking fee Rp2,5 juta, lalu proses pengajuan KPR pun dimulai. Dia mengajukan tenor maksimal 20 tahun, tetapi dari bank menyetujui 25 tahun.

Biaya KPR, asuransi, dan lain-lain mencapai Rp24 juta. Karena ada cashback Rp20 juta, Reza hanya harus mengeluarkan Rp4 juta untuk biaya lain-lain tersebut. Untuk dua tahun pertama, dia mendapatkan promo bunga 5,2 persen. Reza hanya perlu mengeluarkan cicilan Rp3,7 juta sebulan.

Tetapi, di tahun ke tiga, bunganya menjadi 12,5 persen. Cicilannya membengkak menjadi Rp6,9 juta per bulan. Tahun-tahun berikutnya, sampai dengan tahun ke 25, besaran bunga akan mengikuti suku bunga yang berlaku pada bank, floating, istilahnya.

Sekilas, tidak ada yang aneh dari skema tersebut. Reza terlihat beruntung karena tak perlu mengeluarkan dana untuk uang muka, dan biaya-biaya lain sebagian ditanggung oleh adanya cashback. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, Reza sebenarnya tidak begitu untung. Harga rumah yang dibeli Reza ternyata lebih mahal. Berdasarkan informasi yang diperolehnya dari tenaga marketing, harga asli rumah itu bukanlah Rp655 juta. Harga itu “digelembungkan” oleh pengembang untuk mendapatkan uang yang lebih besar dari bank. Uang itu digunakan sebagai penutup uang muka kepada bank.

Hasil yang sama diperoleh saat Reza berselancar di internet. Di perumahan yang sama, harga rumah tipe 45 dengan luas tanah 84 meter persegi hanya Rp450 juta, berbeda Rp200 juta dengan harga rumah yang akan dibelinya. Tetapi memang, harga Rp450 juta itu adalah harga tahun 2015 dan saat itu, pengembang masih mematok uang muka, walaupun hanya 10 persen. Meski KPR sudah disetujui bank, Reza akhirnya membatalkan pembelian rumah itu karena setelah dihitung-hitung terasa sangat mahal. Ia memilih bersabar mengumpulkan uang muka sehingga kalaupun KPR, tidak akan terlalu rugi.

Gimmick Marketing

Membebaskan konsumen dari DP merupakan salah satu trik marketing untuk menggaet konsumen. Padahal, hal itu jelas-jelas menyalahi aturan. Sesuai ketentuan Bank Indonesia (BI) KPR mewajibkan adanya uang muka atau DP. Besarnya tertuang dalam PBI No 18/16/PBI/2016. BI mengatur soal ketentuan tentang loan to value (LTV) 85 persen atau DP minimal KPR rumah pertama adalah 15 persen.

INFOGRAFIK Aturan uang muka BI

BI terus melakukan penyempurnaan aturan LTV kredit properti untuk meningkatkan kemampuan masyarakat memiliki perumahan, sekaligus menggairahkan kredit. Sayangnya, aturan BI ini masih saja diterobos oleh para pengembang yang sedemikian “kreatif” dalam menggaet konsumen.

Sekjen Realestate Indonesia (REI) Totok Lusida mengatakan, para pengembang sangat sadar betul bahwa ketentuan DP atau uang muka nol persen dilarang oleh BI.

Ia mengakui bahwa dalam konteks sebuah acara-acara pameran, seorang pengembang properti dalam rangka untuk kepentingan pemasaran atau marketing proyek perumahan atau apartemen menerapkan berbagai strategi agar bisa menjual. Salah satunya dengan gimmick-gimmick marketing “DP nol persen”. Padahal, jika dihitung secara rinci, DP nol persen sebenarnya tak pernah ada.

“Enggak ada itu beli rumah tanpa DP. DP nol persen hanya kemasan marketing saja, dalam konteksnya pameran itu gimmick semua ada perhitungan dan risikonya, termasuk soal ketentuan dari BI,” kata Totok.

“Sampai saat ini DP nol persen itu dilarang, itu hanya gimmick saja,” tegasnya.

Biasanya menurut Totok pengembang akan “mensubsidi” atau memanfaatkan biaya administrasi lainnya dari program DP nol persen. Setiap pengembang punya strategi dan skema masing-masing yang mereka bisa lakukan untuk mengkompensasi, seperti memasukan “DP” ke dalam biaya-biaya lain-lain seperti biaya administrasi, biaya notaris, biaya asuransi dan lainnya.

Intinya, “DP Nol Persen” adalah hasil dari kreativitas dari para pengembang. Jika dihitung lebih cermat, konsumen tetap membayar DP, meski tidak langsung. Terlihat meringankan pada awalnya, meski jika dihitung-hitung akan terasa sangat mahal. Tapi, ini pilihan yang sulit ditolak ketimbang pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya.

Baca juga artikel terkait KPR atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra & Suhendra
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti