Menuju konten utama

Proyek Rusun di Stasiun Kereta yang Panen Masalah

Hunian vertikal di tepi stasiun kereta menjadi nilai jual yang menarik. Ini coba dijawab dengan TOD yang dikembangkan BUMN. Namun berbagai masalah justru timbul.

Rini Soemarno bersama Bambang Triwibowo melihat maket rusun saat "ground breaking" pembangunan rumah susun dengan konsep Transit Oriented Development (TOD) di Stasiun Pondok Cina, Depok, Jawa Barat, Senin (2/10/2017). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - Puluhan tiang pancang teronggok di pinggiran pagar Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Paku bumi yang "menganggur" itu bagian dari kesiapan proyek TOD Tanjung Barat yang pada Agustus 2017 diresmikan dalam acara seremoni pemancangan tiang pertama oleh Menteri BUMN Rini Soemarno.

TOD atau Transit Oriented Development, sebuah konsep pengembangan tata ruang kota yang menekankan mobilitas publik memakai angkutan massal menjadi cara baru pemerintah menyediakan hunian terjangkau, dengan menggandeng para BUMN. Lokasi pembangunan TOD Tanjung Barat di atas lahan "hanya" seluas 1,5 hektare awalnya sebagai lahan parkir stasiun.

TOD Tanjung Barat terdiri dari satu menara Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) 23 lantai dan dua menara Apartemen Sederhana Milik (Anami) dengan 29 lantai. Total tiga menara rumah vertikal ini memiliki 1.232 unit, mencakup 298 unit di menara Rusunami bersubsidi dan 934 unit di menara Anami atau segmen komersial. Konsep ini memang patut diapresiasi karena masih menyediakann ruang bagi calon penghuni berpenghasilan rendah (MBR).

"Untuk MBR itu kan biasanya porsinya 25 persen, tapi kami sekarang menekankan, BUMN itu harus minimal 30 persen. Apalagi di sejumlah lokasi premium, jarang ada yang mau berikan (jatah) MBR. Nah kami mau menekankan kalau yang konstruksinya dari BUMN, kita mengharuskan harus 30 persen," kata Rini seperti dikutip dari Antara.

Perum Perumnas, selaku pengembang mengklaim Nomor Urut Pemesanan (NUP) sudah melebihi dari kapasitas unit yang akan dijual. Menurut salah satu sales TOD Tanjung Barat, Sinda Hasian Siadari, saat ini NUP untuk unit subsidi sudah ditutup, hanya menyisakan unit komersial. Perumnas berkomitmen akan menyelesaikan pembangunan pada 2019 hingga 2020 mendatang.

Bagi konsumen yang masih berminat akan diarahkan membeli unit komersial. Saat ini unit komersial dijual Rp19 juta per meter persegi, sedangkan unit subsidi dijual Rp7 juta - Rp9 juta per m2. Harga ini memang cukup bersaing dengan harga yang ditawarkan proyek apartemen Meikarta, Bekasi.

Rusun TOD Tanjung Barat hanya salah satu dari lokasi TOD yang akan dibangun antara lain Pondok Cina, Stasiun Pasar Senen, Stasiun Juanda, dan Stasiun Tanah Abang. TOD Stasiun Pasar Senen yang akan dikerjakan kontraktor PT Wijaya Karya Tb, Stasiun Juanda dan Stasiun Tanah Abang yang akan dikerjakan PT Pembangunan Perumahan (PP) Tbk, dan PT Brantas Abipraya (Persero) di Stasiun Tanjung Barat.

Respons konsumen yang antusias terhadap proyek TOD seperti yang tergambar di Stasiun Tanjung Barat, memang sangat wajar. TOD yang mengedepankan pembangunan hunian “menempel” pada stasiun di Jakarta dan sekitarnya, jadi nilai jual yang menggiurkan. Namun, di balik itu, banyak persoalan yang membayangi proyek ini termasuk konsekuensi bagi konsumen.

Masalah Tata Ruang dan Izin

Pengembangan TOD di Jakarta sudah punya landasan hukum. Pada era Gubernur DKI Jakarta di bawah Joko Widodo, Pemprov DKI Jakarta telah membuat landasan hukum TOD melalui Perda Nomor 1 tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Dokumen setebal 444 halaman tersebut tertulis 7 lokasi kawasan TOD diantaranya Kecamatan Gambir; Harmoni, Kecamatan Senen, Kecamatan Grogol, Kecamatan Setia Budi, Kecamatan Tebet dan Kecamatan Jatinegara.

Pada era Gubernur Djarot Saiful Hidayat pemda DKI menerbitkan kembali kawasan baru untuk pengembangan TOD yang tertuang dalam Pergub DKI No 140 tahun 2017 tentang Penugasan Pengelolaan Kawasan TOD Koridor (Utara-Selatan) Fase I Mass Rapid Transit Jakarta. Dalam aturan tersebut disebutkan beberapa titik kawasan TOD yakni Bundaran HI, Dukuh Atas, Setiabudi, Bendungan Hilir, Istora, Senayan (underground), Blok M dan Lebak Bulus (elevated).

Namun, antara pelaksanaan yang dilakukan pemerintah pusat dalam hal ini kementerian BUMN dan Pemprov DKI Jakarta belum satu napas soal TOD. TOD yang dibangun pemerintah pusat, lokasinya belum masuk Pergub atau Perda Pemprov DKI Jakarta, bahkan tata ruang yang ada.

Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) DKI Jakarta Dhani Muttaqin mengatakan pembangunan TOD oleh pemerintah pusat belum sesuai dengan tata ruang DKI Jakarta. Ia mengklaim lokasi pemancangan tiang perdana di beberapa stasiun belum ada izin peruntukkan TOD. Dhani telah melakukan pengecekan ke Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) dan Dinas Tata Ruang Kota DKI Jakarta.

Menurutnya, izin pembangunan kawasan atau TOD harus memuat sejumlah unsur yang sudah ditetapkan pemerintah. Sebab, saat ini setiap lahan yang akan digunakan untuk TOD baru mengantongi izin peruntukan stasiun. Oleh karenanya jika dipaksakan dilakukan pembangunan tanpa menimbang konsep tata ruang justru akan menimbulkan kerugian dalam masa depan seperti pembentukan kawasan kumuh baru.

"Belum lagi lahan parkir dan infrastruktur dasar seperti ketersediaan air yang harus dipenuhi kawasan TOD itu. Kalau yang saya tahu Pemprov juga memiliki 7 lokasi bakal TOD seperti di Blok M," katanya.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/11/14/sisi-gelap-dunia-gemerlap--mild--fuad.jpg" width="860" alt="Infografik TOD" /

Menurutnya, TOD yang dikembangkan oleh BUMN di lahan stasiun kereta memang jadi program pemerintah pusat, tapi bukan berarti mengabaikan prosedur yang sudah berlaku. Hal ini tentu akan memicu kecemburuan pengembang swasta yang selama ini terkenal dengan kesulitan mendapat izin membangun karena membutuhkan waktu yang lama.

"Ada potensi pelanggaran tata ruang. Di satu sisi pemerintah membongkar pihak yang melanggar tata ruang atau tidak memiliki IMB. Tapi di sisi lain membiarkan pembangunan baru yang tidak sesuai dengan tata ruang. Bangunan tak sesuai disegelin tapi ini sudah tidak sesuai dibangun juga,” tegasnya.

Masalah tata ruang ini akhirnya tercermin dari perizinan lokasi pembangunan TOD yang umumnya belum beres. Direktur Keuangan PT PP Properti TbkIndaryanto membeberkan perusahaan memang masih menunggu proses izin pembangunan yang dikeluarkan oleh dinas terkait di Pemprov DKI Jakarta. Sehingga membuat TOD Stasiun Juanda dan Tanah Abang yang digarap perseroan, belum ada kelanjutan aktivitas konstruksi usai seremoni tiang pancang Agustus lalu.

"Biasanya sampai 4 bulan (pengurusan izin). Mungkin kuartal I-2018 baru mulai penjualannya dan soft launching. Pokoknya, setelah perizinan dan desain kita selesai," kata Indaryanto saat dihubungi, Jakarta, Senin (13/10/2017).

Nasib TOD di Lahan HPL

Persoalan lain dari proyek hunian di bawah Presiden Joko Widodo ini adalah status lahan lokasi TOD. Di Stasiun Tanjung Barat misalnya, berdiri di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik Kementerian Perhubungan. Memang pengembang seperti Perumnas tetap bisa membangun rusun di lokasi TOD Tanjung Barat dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) minimal 25 tahun di atas HPL. Lalu apa konsekuensinya.

Ketua Asosiasi Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (Aperssi) Ibnu Tadji mengatakan langkah pemerintah membangun TOD di stasiun kereta patut diapresiasi karena mendekatkan masyarakat dengan transportasi massal dan lokasi kerja. Namun, pembangunan TOD dengan status HGB di atas HPL ini biasanya akan menimbulkan masalah di masa mendatang.

Menurut Ibnu, masyarakat bisa belajar dari masalah Mangga Dua yang tak bisa diperpanjang izinnya oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ia menjelaskan pada kasus ITC Mangga Dua dan Apartemen Mangga Dua Court, konsumen tertipu karena unit yang mereka beli dari pengembang berada di atas tanah HPL milik Pemda DKI sehingga tak bisa memperpanjang kepemilikan pada 2006. Merasa tertipu, para pemilik unit mengambil langkah hukum, tetapi mereka kalah di Pengadilan.

"Jadi risiko harus sudah diukur oleh mereka yang mau membeli unit HGB di atas HPL. Kewajiban pengembang juga harus bersih memberitahukan hak apa yang akan mereka dapatkan, jangan sampai ini proyek baru jadi masalah baru," kata Ibnu.

Selain itu, perbankan yang telah memberi pinjaman kepada pemilik rusun atas bisnis usahanya dengan agunan properti di atas HPL terancam tak bisa mengembalikan pinjamannya. Ini yang menyebabkan lembaga perbankan berhati-hati memberikan kredit pemilikan apartemen (KPA) yang status lahannya HGB di atas HPL.

Aperssi mengimbau kepada konsumen untuk berhati-hati dalam pembelian rusun di atas HPL. Seharusnya menurut Ibnu, rusun TOD di atas HPL lebih baik untuk rusun sewa, bukan rusun milik.

"Konsekuensi konsumen berada pada ketidakpastian. Benar untuk tempat tinggal tapi ada ketidakpastian yang lebar atas keputusan pemerintah. Timbul persoalan dulu baru aturan disesuaikan. Ini akan merugikan konsumen," kata Ibnu.

Konsep TOD yang menyediakan hunian dekat dengan pusat kota berharga terjangkau memang positif. Namun, pemerintah dan BUMN juga harus mulai berpikir menyediakan rusun milik pada TOD membuka peluang merugikan konsumenn di kemudian hari.

Pengembangan TOD dengan menjual rusun milik berpotensi dimanfaatkan oleh para spekulan sehingga hanya menambah daftar persoalan. Gagasan TOD memang mulia untuk mendekatkan urusan papan terjangkau dekat dengan pusat kota dan moda transportasi massal tapi perlu dipastikan pembangunannya tak menuai masalah.

Baca juga artikel terkait RUSUN atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Bisnis
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Suhendra