tirto.id - Saya memandang langit senja Jakarta dari lantai 52 di satu unit apartemen di Kemang, Jakarta Selatan. Pemandangan dari sini tak kalah apik dari panorama di sejumlah restoran mewah di gedung-gedung pencakar langit ibukota. Dari balkon penthouse, tempat saya berada, suasana lebih lapang karena saya tak harus berbagi ruang dengan orang tak dikenal. Saya duduk di sofa di tengah area berbentuk setengah lingkaran dan mengamati apa yang tersaji dari rentang kaca tembus pandang 180 derajat.
Jalan. Gedung. Atap rumah. Di antara atap-atap itu ada kediaman seorang warga Kemang yang dulu pemilik tanah dari apartemen Kemang Village.
“Orang Betawi kerjanya menjual tanah. Apalagi? Biasanya enggak punya usaha lain. Bukan pengusaha,” kata seorang wanita tersebut, pemilik warung di belakang apartemen.
Saya bertemu dengannya beberapa hari setelah menikmati sore di balkon lapang itu. Dari apartemen yang dibangun oleh grup Lippo milik keluarga Mochtar Riady itu—salah satu miliarder Indonesia—saya menelusuri gang di samping gerbang belakang Lippo Mall Kemang yang menyatu dengan apartemen.
Melalui jalan berliku yang digenangi air sisa hujan, saya menjumpai warung berukuran 2x3 meter persegi. “Dulu di sini semuanya kebun dan hanya ada empat orang yang tinggal di daerah sini. Kakek saya salah satunya. Tanah depan dijual ke orang Arab. Lalu orang Arab itu menjual tanah ke pembangun apartemen,” cerita si pemilik warung sambil menunjuk area mal dan apartemen. Ia tengah menyusui anak keempatnya berusia 10 bulan.
Warung itu selalu dihampiri warga sekitar dan para pekerja di mal yang sedang beristirahat. Bila enggan berjalan jauh, para pekerja itu biasanya membeli lewat lubang tembok yang menjadi pembatas area permukiman dan mal.
“Di setiap ujung gang, ada warung juga,” katanya, lagi. Kami berbincang di muka warung tempat ia berjaga.
Langit kian mendung, pertanda saya harus berpindah tempat jika tak ingin terjebak banjir. Lima tahun terakhir, jalan di ujung gang yang bermuara pada akses masuk ke kompleks perumahan dan mal telah dibuka untuk umum. Hujan deras selama lebih dari 30 menit seringkali bikin banjir kawasan Kemang.
“Kemang awalnya daerah resapan air. Pembangunan yang makin pesat berdampak terhadap lingkungan. Ada jalan-jalan di perumahan warga yang dibuka untuk umum. Saya rasa jalan milik warga Kemang seharusnya dibiarkan saja demikian. Terlebih bila ukurannya tidak terlalu lebar,” kata Engel Tanzil.
Engel tinggal di Kemang sejak akhir 1990-an. Suaminya, Hermawan Tanzil, membeli tanah untuk hunian dan kantor di kawasan Kemang Timur dan Kemang Selatan. “Dia suka Kemang karena hijau. Tempat ini bagai sebuah secluded compound—kediaman tersembunyi. Terkesan sederhana,” ujarnya.
Melalui desain kantornya, Hermawan berhasil memproyeksikan kesan tersebut. Ia membuka usaha konsultan desain grafis bernama LeBoYe yang telah berusia lebih dari 25 tahun. Kliennya adalah perusahaan-perusahaan dari pelbagai bidang. Bangunan kantor didesain oleh arsitek Andra Matin yang saat itu mulai bekerja secara independen.
Fasad itu terkesan simpel. Bentuknya persegi dan terbuat dari material beton, interiornya dipenuhi jendela masif menghadap taman. Sebuah tangga melayang, menghubungkan ke ruang kantor di lantai dua. Sekitar lima tahun lalu, lantai dasar gedung ini difungsikan sebagai galeri seni Dia.Lo.Gue. Sejak saat itu saya kerap datang ke sana untuk mencari suasana yang mampu menenangkan pikiran dari keriuhan kota.
Lima tahun sekali peraturan daerah di Kemang mengalami perubahan. Begitupun dengan tempat-tempat hiburan di sepanjang jalan Kemang Raya, Kemang Selatan, dan Kemang Timur. Nama, kepemilikan, serta bentuk bangunan kerap berubah.
Ada sejumlah ruang publik yang bertahan belasan hingga puluhan tahun. Tempat-tempat ini punya benang merah. Salah satunya kesamaan persepsi pemilik tempat tentang Kemang. Mereka sebisa mungkin menjaga kehijauan tempat ini, setidaknya di lingkungan mereka, dan mempertahankan gaya hidup yang lahir di sini pada tahun 1970-an dan 1980-an.
“It’s a humble place. Dulu di Jalan Kemang Timur banyak orang berjalan kaki. Ada toko-toko bunga, penjahit, dan toko furnitur yang memenuhi jalan. Rumah-rumah dipenuhi pohon tropis seperti mangga, sawo, rambutan. Kebunnya luas. Saya merasa Kemang ini hidup kita. Situasi ekonomi berubah, peraturan daerah berubah, dan identitas itu hilang,” lanjut Engel.
Edwin Rahardjo, pemilik Edwin’s Gallery, galeri seni yang berdiri pada 1984, memilih pindah rumah ke luar Kemang. “Di seberang rumah berdiri klub-klub malam. Musik berdentum sampai pagi dan saya khawatir dengan kenyamanan dan keamanan saat keluar masuk rumah. Bangunan-bangunan semakin tidak terkontrol, saluran air sempat tidak berfungsi dengan baik,” kata Edwin.
Saya berkunjung ke Edwin’s Gallery di pagi hari. Menjelang Natal, orang-orang berdatangan ke sana untuk membeli kartu ucapan. Sebelum aktif menjadi kolektor seni dan menggelar pameran rutin, Edwin membuka usaha pembuatan kartu ucapan dan jasa pembuatan bingkai lukisan atau foto.
“Kartu ini sumber usaha. Saya pernah melayani lebih dari 1.000 klien perusahaan. Toyota, Honda, Mercedes-Benz, Mandarin Oriental Hotel, Shangri-La Hotel. Di tahun 1990-an, kami bisa mencetak 50.000 kartu. Sekarang mungkin hanya 5.000 kartu. Tapi tetap saja ada yang pesan,” lanjut Edwin.
Hari itu seorang wanita baya sibuk melayani pembeli. Saya memilih untuk membaca buku-buku seni yang Edwin terbitkan. Rata-rata tentang perjalanan Edwin’s Gallery sebagai galeri seni kontemporer pertama di Kemang. Meski tempat ini kian riuh, Edwin tak ingin memindahkan lokasi galerinya. Ia masih punya hati pada Kemang.
Edwin juga ketua perhimpunan Kemang. Ini sebuah kelompok terdiri para warga dan pelaku usaha Kemang yang punya perhatian dan keluhan yang sama terhadap pola-pola pembangunan di Kemang.
“Kami maju ke pemerintah agar pelaku usaha di sini bersikap tertib dan menghimbau ada penataan ulang kawasan. Setelah pergantian kepemimpinan, kami belum tahu jadinya bagaimana,” kata Edwin dengan suara pelan.
Kampung di dalam Kampung
“Kemang ini penuh dengan berbagai jenis usaha yang menopang gaya hidup kaum ekspatriat. Tempat ini awalnya kebun dan sebagian seperti hutan,” kata Edy Mulyadi, penduduk Kemang, pendiri yayasan padepokan seni budaya Betawi Manggar Kelape.
Perubahan terhadap kawasan Kemang, salah satunya, ketika para pengusaha properti meliriknya untuk membangun permukiman mewah bagi para ekspatriat yang bekerja di Jakarta.
Gambaran soal perubahan itu bisa diwakili oleh cerita dan rumah Edy. Untuk sampai ke rumahnya di Kemang Selatan, saya harus melewati jalan menikung dan berliku. Akses masuknya adalah sebuah gang menurun. Rumah Edy berada beberapa meter setelah gapura bertuliskan Sanggar Manggar Kelape Kemang. Rumah-rumah di perkampungan ini bercat hijau dan berhias ornamen tradisional Betawi. Lampu warna-warni digantung di depan rumah dan selalu menyala di malam hari.
“Kami yang tinggal di kawasan ini rata-rata masih saudara,” kata Alwi Rizky, 19 tahun, ketua padepokan. Ia bertugas mengajak anak-anak muda berkreasi lewat kegiatan yang sarat budaya seperti tari, musik, kuliner, dan pertunjukan. Alwi sendiri menekuni silat Betawi sejak berusia 5 tahun. “Kami mempraktikkan jurus-jurus khas Betawi,” lanjut Alwi.
Setiap akhir pekan, puluhan anak dan remaja memanfaatkan kawasan padepokan sebagai tempat latihan. Aksi silat mereka terekam kamera, potretnya dipasang di tembok-tembok kawasan ini.
“Saya ingin membentuk kampung di dalam kampung. Kita adalah pemilik Jakarta, yang punya tempat di Kemang ini. Kalau memiliki harus menjaganya dengan maksimal, baik dari sisi tampilan luar maupun melestarikan tradisi yang diwariskan. Kami ingin berdakwah lewat seni,” kata Edy.
Di teras rumah Edy terpajang tanda penghargaan dari Museum Rekor Indonesia. Penghargaan ini diberikan kepada padepokan yang setiap tahun mengadakan Festival Palang Pintu, sebuah acara bazar dan pertunjukan budaya. Festival ini diadakan di Jalan Raya Kemang sepanjang hampir 2 kilometer, membuat toko-toko di sepanjang jalan mengubah jam operasional. “Tujuannya agar berbagai budaya yang ada di Kemang bisa ditampilkan.”
Sampai hari ini, sekitar 200 anak dan dewasa muda menjadi anggota padepokan. Edy tak pernah memasang target jumlah anggota perkumpulan. Ia juga tidak berniat memperbesar wilayah “kampung di dalam kampung” yang didirikannya.
“Urus isteri satu saja sulit, bagaimana kalau banyak?” ujarnya. Edy suka berbicara dengan perumpamaan.
Ia hanya ingin anak-anak muda asli Jakarta tetap mengenal budaya. Soal pembangunan yang terus terjadi di Kemang dan klub-klub yang membuat lokasinya seolah kian terimpit, Edy berkata, “Itu bagian dari perubahan. Saya rasa di situ tantangannya.”
“Bagaimana kami bisa tetap mencintai apa yang kami miliki di tengah zaman yang terus berubah? Orang tidak akan bisa dikatakan taat atau kuat bila tidak mengalami ujian,” kata pria yang kerap disapa Pak Haji ini sembari mengulum senyum.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Fahri Salam