tirto.id - "Bagi yang pernah merasakan kehidupan Kemang zaman dulu, Kemang sekarang itu terasa sekali artifisial."
Tono Rahardjo mengucapkan kalimat itu dengan kombinasi perasaan masygul, kesal, serta sepercik usaha keikhlasan. Pria 48 tahun ini selalu merasa begitu setiap membicarakan Kemang. Baginya, Kemang adalah rumah. Dan menyaksikan perubahan besar pada Kemang, mau tak mau membuatnya nelangsa.
Pada 1969, keluarganya pindah dari Jakarta Pusat ke Kemang, Jakarta Selatan. Sang ayah, warga negara Singapura, merasa Kemang cocok untuk ditinggali. Suasana asri, dan tak seberapa ramai, pula sudah ada beberapa ekspatriat. Pada momen yang sama, Tono lahir. Bagi keluarga yang pernah lama tinggal di Jakarta Pusat, kawasan Kemang kala itu dianggap sebagai tanah setan.
"Saat itu keluarga besar mengasihani kami yang memilih tinggal di Kemang," kata Tono.
Pengalaman serupa pernah ditulis oleh Alwi Shahab dalam "Forbes Park, Jin Buang Anak dan Pusat Susu". Saat itu, Shahab menceritakan, ada kawannya bernama Mohammad Nahar yang pindah ke Jalan Bangka, yang sekarang menjadi salah satu jalan ramai di sekitar Kemang. Kawan-kawan Nahar mengejeknya: "tinggal di tempat jin buang anak."
Menurut Shahab, Kemang era 1970-an masih sepi. Nyaris seluruh penduduk adalah orang Betawi yang hidup dari bertani dan berkebun. Akses menuju ke sana pun susah. Ia mengutip salah satu penduduk lama Kemang, Hajjah Nuhayah, yang mengatakan akses transportasi Kemang amat terbatas.
"Kalau mau ke Pasar Minggu, saya harus jalan kaki dulu, lalu naik delman ke Pasar Minggu."
Namun bagi Tono, Kemang sangat menyenangkan. Saat itu, kenangnya, jalannya masih tanah. Kemang adalah kampung, penuh dengan pohon-pohon buah, sungai yang lebar, dan tanah lapang. Banyak pula orang yang memelihara sapi. Beberapa peternak itu menjual susu sapi dari pintu ke pintu. Di Kemang Timur, tempatnya tinggal, ia masih bisa mendengar deru Sungai Krukut yang selebar lebih dari 20 meter.
Kemang juga mulai menyenangkan bagi ekspatriat karena pada 1969 ada Kem Chiks yang baru saja didirikan oleh pengusaha muda, Bambang Mustari Sadino. Bob, panggilan akrabnya, baru saja pulang dari Eropa. Setelah menjual salah satu mobil Mercedes miliknya, pria kelahiran Lampung ini membeli tanah di Kemang. Tentu saja saat itu harga tanah di Kemang masih murah.
Di tanah yang dibelinya itu, Bob Sadino membangun kerajaan bernama Kem Chicks. Sejak awal, sasaran konsumen Bob jelas: para ekspatriat yang mulai berdatangan di Kemang. Telur ayam broiler menjadi salah satu produk andalannya.
"Saat itu kayaknya belum ada yang menjual telur ayam broiler dan dikemas dengan apik seperti Kem Chicks. Jadinya berkesan sekali," kenang Tono.
Di Kem Chicks juga ada banyak makanan ala Barat, sesuatu yang jarang ditemui di Kemang saat itu. Salah satu yang diingat oleh Tono adalah Billy Hot Dog. Ia pertama kali menyantap makanan seharga Rp450 itu pada 1981. Pengalaman itu begitu membekas. Begitu pula pengalaman datang ke Kem Chicks. Pergi ke sana, di sela-sela kegiatan Tono bermain di sekitar sungai dan pohon besar, menjadi ritual menyenangkan. Ia menganggap itu adalah bentuk wisata.
Kemang kemudian tumbuh perlahan. Suasana yang asri menjadi salah satu pendorong para ekspatriat berdatangan dan tinggal di sana. Pada 1979, Amigos Bar & Cantina berdiri di Kemang. Ia menjadi restoran pertama di Indonesia yang menyajikan makanan hibrida Texas-Meksiko.
Tiga tahun sebelum Amigos berdiri, Presiden Soeharto menandatangani Inpres Nomor 13 tahun 1976. Isinya antara lain untuk "mengarahkan perkembangan Daerah Khusus Ibukota Jakarta menjadi Ibukota Negara yang lebih mencerminkan peri kehidupan bangsa", dan perlunya langkah-langkah untuk meringankan tekanan penduduk dengan cara "membina pola permukiman dan penyebaran kesempatan kerja secara lebih merata."
Dari Inpres ini, pembangunan makin kencang. Penduduk yang terusir di Jakarta Pusat tergusur ke selatan Jakarta, termasuk ke Kemang. Transportasi juga makin banyak.
Christoper Silven dalam Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century (2007) menyebut pada 1979 ada 2.400 lebih bus yang beroperasi di DKI Jakarta. Armada itu melayani sekitar 1,5 juta penumpang setiap hari. Sedangkan opelet, bemo, taksi, juga bajaj melayani sekitar 700.000 perjalanan tiap hari.
Dengan kemudahan transportasi ini, Kemang tak begitu jauh lagi. Bermunculan pula galeri seni kecil-kecilan. Sejumlah toko mebel mulai menjamur.
Pada 1990-an, Kemang sudah berbeda dari apa yang disebut oleh Abdul Chaer dalam Folklor Betawi: Kebudayaan & Kehidupan orang Betawi (Cet 2, 2017). Menurut Chaer, Kemang berasal dari salah satu pola pemberian nama di Jakarta, yakni dari nama pohon, buah, atau tumbuhan. Tapi di era 1990-an, tak banyak lagi kebun, apalagi pohon kemang.
Christoper Silven menyebut Kemang pada 1990 adalah bagian dari Jakarta yang berambisi jadi "kota dunia". Dari kaca mata ambisi itu, keberadaan kampung dianggap penghalang. Maka pemerintah membangun beton dan gedung-gedung tinggi serta meratakan kampung dan mengusir penduduknya.
Silven menulis dari 1980 hingga 1994, sekitar 66.000 hektare lahan pertanian dan perkebunan di Jakarta berubah menjadi lahan untuk hunian, industri, dan perdagangan. Ia juga mencatat 246 dari 412 taman umum telah dikonversi untuk alih guna lahan. Pembangunan gigi lima ini membuka banyak lapangan kerja, sekaligus menggoda banyak tenaga kerja dari luar kota. Ia mengakibatkan jumlah penduduk Jakarta melonjak.
"Untuk mengakomodasi membengkaknya populasi dan kebutuhan perkembangan komersial, setiap jengkal lahan dimaksimalkan. Hilangnya ruang terbuka seiring Jakarta yang berubah, dari kampung besar menjadi kota besar," tulis Silven.
Dari Kawasan Hunian Menjadi Komersial
Instruksi Gubernur DKI Jakarta No.140 tahun 1999 mengizinkan lahan hunian Kemang menjadi komersial. Ia mendorong pergeseran dramatis. Makalah "Urban Regime di Alih Fungsi Lahan Kemang Jakarta" (2009) menyebut bahwa hingga 2008, 73 persen lahan dan permukiman di Kemang berubah fungsi menjadi lahan komersial.
Tak heran kalau ada banyak usaha di Kemang termasuk rumah makan dan restoran. Mulai dari makanan Indonesia hingga makanan luar. Jika dulu pada 1969, makanan luar negeri hanya bisa ditemui di Kem Chicks, lalu pada 1970-an hanya Amigos yang menyajikan makanan Meksiko, sekarang nyaris semua makanan barat populer bisa dicari di Kemang.
Mau makanan Italia? Ada Toscana, ristorante Italia yang sudah berdiri sejak 1996. Ingin makan masakan Jepang, ada Ootoya hingga Hakata Ikkousha. Aneka pastry pun bisa dengan mudah ditemui, dari Sophie's Authentique hingga Chef's Kitchen. Bahkan ada gerai penjual keju artisanal, yakni Rosalie Cheese—agak lucu, karena sudah lama tak ada peternakan sapi di Kemang.
Di sisi lain, persaingan restoran dan rumah makan di Kemang menjadi amat ketat. Banyak dari mereka yang datang dan pergi. Mulai dari California Pizza Kitchen hingga Ellexito Eatery and Pastry. Di luar nama itu, ada ratusan atau bahkan ribuan tempat makan yang gugur di Kemang.
"Di Kemang, pertumbuhan restoran dan makanan bisa dibilang gitu-gitu aja, sih. Banyak, tapi tak ada yang benar-benar baru," ujar Ririn Datoek.
Ririn pindah ke Kemang pada 2003 setelah kuliah di Yogyakarta. Pekerjaannya di perusahaan periklanan membuatnya banyak menjelajahi tempat makan di seputaran Kemang. Dari pengalaman selama lebih dari 13 tahun terakhir, Ririn tahu apa yang terjadi pada kancah makanan di Kemang.
Siang itu Ririn menemui saya di Akasya Express di Jalan Taman Kemang. Pada awalnya, Akasya adalah penyedia katering yang punya nama harum, lalu melebarkan sayap ke rumah makan prasmanan, dan tetap menyajikan menu a la carte (menu satuan).
"Masakan seperti ini," kata Ririn menunjuk etalase di Akaysa yang berisi belasan menu, "yang akan selalu dicari di Kemang."
Dalam benak Ririn, kebanyakan warga di Kemang sekarang adalah kelas pekerja dan perantau. Yang mereka rindukan adalah masakan rumahan dan harga yang terjangkau. Jika Akasya boleh dibilang sebagai makanan prasmanan berharga agak mahal, Ririn punya tandingannya: warteg Dima. Warteg ini terletak di Kemang Utara, dekat dengan salon Prestige Hair & Beauty dan sepelemparan tombak dari McDonald's.
Sedangkan bagi Tono, tempat favoritnya adalah yang bisa membawanya bernostalgia ke "Kemang zaman old." Ia memberi satu nama: Sophie's Authentique. Tempatnya kecil dan dekor alami—termasuk rumbai-rumbai di pintu depan—adalah bangunan Kemang yang ideal dalam kenangannya.
Sekarang Tono sendirian di Kemang, orangtuanya pindah ke Singapura. Para tetangga di kanan kirinya adalah orang baru. Mencari restoran atau rumah makan dengan suasana Kemang tempo dulu adalah upaya untuk membawanya menziarahi Kemang yang masih penuh pepohonan, peternak susu, dan suara air dari Kali Krukut.
Tapi Kemang sekarang, bagi Tono, sudah kehilangan navigasi sejak lama. Sungai Krukut tak lagi lebar, tak bisa lagi menampung aliran air ketika hujan deras tiba. Lorong-lorong kecil, yang harusnya bisa menjadi lawan tanding Bilgu (Malta), Mykonos (Yunani), Rabat (Maroko), dan Dubrovnik (Kroasia), selalu dipenuhi kendaraan yang bikin macet panjang. Bangunan lawas dirobohkan untuk dibangun ruko yang kaku, dingin, dan miskin estetika.
"Para pembangun itu mungkin berpikir kalau bangunan baru bisa mewarisi spirit bangunan lawas. Padahal tidak bisa. Kalau gedung diruntuhkan, akarnya pun akan hilang. Seperti itulah Kemang sekarang," ujarnya, kali ini dengan rasa masygul yang bulat.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam