tirto.id - Ada kemiripan desain produk mebel yang mengisi Hotel Mulia, Fairmont Jakarta, dan Raffles Jakarta—hotel bintang lima di kawasan Senayan dan Kuningan. Mereka punya furnitur dengan desain modern dan elegan. Terbuat dari material kayu berwarna cokelat tua dan diberi efek mengilap, benda-benda ini terlihat kokoh, rapi, dan halus. Sekitar dua tahun lalu saya hadir di pembukaan salah satu hotel tersebut. Salah satu pekerja hotel yang memandu saya berkeliling ruangan berkata bahwa mebel-mebel ini dibuat oleh produsen dalam negeri. Mereka tidak tahu siapa pembuatnya.
Pertengahan Desember lalu, saya mengunjungi salah satu gerai furnitur di kawasan Kemang Selatan. Toko tersebut tampak seperti rumah tinggal satu lantai tanpa pagar. Di depan hanya ada tanda bertuliskan Saniharto bersepuh hitam. Ukurannya pun mungil. Di sana saya melihat produk yang serupa dengan perkakas mebel di hotel-hotel tersebut. “Memang barang-barang itu dari sini,” kata Agus, karyawan Saniharto.
Saniharto ialah produsen mebel asal Semarang yang membuka toko di Kemang, kawasan selatan Jakarta, pada awal 1990-an. Hotel Mulia adalah proyek pertama mereka.
Kurang lebih 10 tahun ke belakang saya kerap melewati toko tersebut, baik di hari kerja maupun akhir pekan. Selama itu pula saya tidak pernah melihat gerai itu ramai pengunjung. Hanya ada truk pengangkut barang yang sering berada di sana. “Di sini sepi. Paling tamu datang sekitar dua orang dalam satu hari. Tetapi kami tidak pernah kesulitan untuk berjualan,” kata Agus, yang telah bekerja di perusahaan tersebut selama 22 tahun. Wajahnya penuh senyum, pembawaannya tenang.
Ia bercerita bahwa kini pabrik di Semarang tengah bersiap memproduksi mebel untuk gedung baru dari sebuah perusahaan otomotif ternama Indonesia. Selain perusahaan, ada pula klien perorangan, salah satunya adalah konglomerat Chairul Tanjung.
“Klien-klien itu rekanan bapak. Ada juga pembeli dari kalangan luar. Rata-rata mereka melihat produk kami di website dan memesan barang via telepon,” tambah Agus. Di website tertera cabang Saniharto di Amerika Serikat dan Eropa. Perusahaan ini juga melayani ekspor produk.
Saat ini klien Saniharto bisa menunggu pesanan produk jadi dalam waktu tiga sampai enam bulan karena order sedang ramai selama beberapa tahun terakhir.
Tak lama setelah saya datang, lima karyawan memasuki ruangan untuk mengangkat sebuah meja. “Baru dipajang kemarin, hari ini mau diantar,” kata Agus.
Situasi berbeda mengenai bisnis mebel bisa Anda jumpai di area Kemang Timur. Tempat ini terkenal sebagai pusat furnitur di kawasan Kemang. Di sepanjang jalan setidaknya ada 32 gerai mebel. Tak semuanya buka ketika saya datang menjelang Natal. Salah satu toko furnitur pertama bahkan telah menutup usahanya.
“Dulu Ojolali itu jadi tujuan utama untuk membuat furnitur. Situasi berubah, pekerjanya memilih untuk menjadi pengendara ojek online,” kata Engel Tanzil, warga Kemang.
Saya mendatangi Nila Gallery, sebuah toko kecil di samping toko mebel yang tutup itu. Ani, pemiliknya, telah membuka usaha pembuatan mebel dan aksesori interior sejak 2003. Saya duduk di salah satu kursi makan buatannya. Berbincang sembari sesekali memperhatikan ragam produk yang terbuat dari enceng gondok.
Ani bercerita bahwa sudah dua hari tidak ada pembeli. Kalaupun ada, mereka membeli pajangan, tas, atau selimut. “Tahun ini usaha furnitur mandek. Padahal itu usaha utama saya,” katanya.
Ani menilai omzet merosot, bahkan rugi, lantaran para ekspatriat sudah cabut dari Kemang.
Sebagian besar pelanggan Ani adalah warga negara asing dari Amerika Serikat dan Australia. Masa jaya Nila Gallery mandek pada 2010. “Dulu satu kali belanja bisa sekitar Rp50 juta sampai Rp60 juta. Pada 2016, pembelian terbesar sekitar Rp35 juta. Setelah itu Rp18 juta.”
“Order terakhir datang dari bule yang mau pulang ke negaranya. Pesanan itu untuk mengisi rumahnya di sana,” lanjut Ani.
Kini ia rutin mengikuti pelbagai pameran furnitur dan desain. Selain memikirkan penjualan, Ani punya tanggung jawab untuk membayar sewa toko Rp50 juta per tahun.
Saya beranjak menuju Konsep Living, gerai mebel yang dikelola Mella Yusuf bersama suami sejak 2004. Toko itu terkesan ramping dan mungil dengan benda-benda seperti tempat tidur, meja makan, lemari perhiasan, konsol, serta pajangan yang memadati ruang. Usahanya masih dalam tahap pemulihan dari keterpurukan.
“Di sepanjang jalan ini ada sekitar 20 toko yang tutup. Kami juga melalui masa krisis tiga tahun lalu. Ekspatriat pergi dan biaya ekspor meningkat tajam. Cukai naik tiga kali lipat. Ini berpengaruh karena ada tamu saya yang pemilik resort. Barang-barang dipesan untuk mengisi resort itu,” kata Mella.
Setiap hari ia menjaga toko. Tadinya tamu-tamu Mella datang dari Shanghai, Australia, dan Selandia Baru. Kini, ketika mereka telah pergi, pelanggan Mella bukan lagi penduduk Kemang.
“Pelanggan yang kini aktif berasal India. Mereka tinggal di Pakubuwono atau Pondok Indah,” cerita Mella mengenai para pelanggan dari sejumlah kawasan elite di Jakarta.
Dengan tamu-tamu tersebut, Mella merasakan tantangan, “Mereka kerap order desain produk yang unik. Jalani saja, justru bisa jadi semakin terampil.” Keterampilan ini jadi salah satu cara untuk bertahan di tengah arus bisnis yang masih seret.
Memanglah, bila merujuk angka perdagangan mebel dan kerajinan rotan yang mengandalkan pasar luar negeri, ada penurunan ekspor sejak 2014.
Jepara, terletak di kawasan barat dan utara Laut Jawa, adalah salah satu pusat industri mebel di Indonesia yang mengalami situasi stagnan.
"Vietnam dan Malaysia terus melesat sebagai negara pengekspor mebel di Asia Tenggara. Daya saing Indonesia justru anjlok dalam dua tahun terakhir. Pemerintah belum belajar dari kesuksesan negara lain," ujar Abdul Sobur dari Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia seperti yang dikutip harian Kompas dalam artikel "Industri Mebel Terpuruk."
Data dari asosiasi ini menyebutkan Indonesia ada pada peringkat 17 dalam ekspor produk mebel dunia. Tahun ini nilai ekspor mebel ditaksir 1,3 miliar dolar AS, sementara Vietnam 6,9 miliar dolar AS.
Presiden Joko Widodo menyadari permasalahan ini. Dari sisi desain, menurut Jokowi, produk Indonesia semestinya sanggup bersaing dengan Vietnam dan Malaysia.
“Industri ini menggunakan bahan baku 100 persen dari Indonesia. Kedua, serap tenaga kerja banyak sekali. Ketiga, ekspor yang menghasilkan devisa. Ini tiga hal penting di industri ini, mebel dan kerajinan. Gede sekali,” kata Jokowi setelah membuka International Furniture Expo (IFEX) 2017 di Kemayoran pada 11 Maret 2017.
Sampai purna tahun ini, bisnis mebel dalam negeri masih belum pulih. Setidaknya gambaran kecilnya terwakili dari sebilah jalan di Kemang Timur.
Usai mendatangi toko mebel milik Mella Yusuf, saya bergeser menuju Confetti, gerai furnitur yang letaknya berbatasan dengan Jalan Kemang Utara. Dilihat sekilas toko ini tampak seperti bangunan tanpa tuan. Barang-barang kayu seperti pot, lemari, dan tempat menumbuk padi diletakkan begitu saja di area parkir.
Di dalamnya masih banyak barang mebel dan aksesori interior. Menjelang Natal, barang-barang ini didiskon. Nur, penjaga toko, cukup terkejut melihat saya. “Hampir tidak ada orang Indonesia datang ke sini selama saya kerja belasan tahun,” katanya.
Nur berjaga seorang diri di rumah besar ini. Seperti dua pemilik galeri sebelumnya, ia juga berkata kini toko sepi pesanan setelah para ekspatriat pergi dari Kemang, menyisakan rumah-rumah besar nan mewah di kawasan dalam Kemang yang memuat papan "disewakan" di depan pintu pagar tertutup...
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Fahri Salam