tirto.id - Jakarta punya banyak kawasan elite: dari Menteng, Pondok Indah, Pulomas, Tebet, juga Kemang. Lingkungannya nyaman, lokasinya strategis. Daerah-daerah macam ini adalah hunian idaman, tidak hanya bagi WNI tapi juga warga negara asing. Kawasan ini berkembang menjadi hunian yang ramai, lengkap dengan pusat bisnis. Padahal tak semua daerah ini bisa dijadikan permukiman karena berfungsi sebagai kawasan resapan air, dan Kemang adalah contohnya.
“Di sini Anda akan biasa melihat tulisan "For Rent" (disewakan) di antara rumah-rumah mewah dengan pekarangan luas dan berpagar tinggi. Dan transaksi sewa-menyewa rumah di kawasan ini, jangan heran, biasa dipatok dengan harga dolar,” tulis Alwi Shahab dalam salah satu kumpulan esai sejarahnya tentang Jakarta, Robinhood Betawi: kisah Betawi tempo doeloe (2001).
“Kawasan ini merupakan tempat tinggal orang-orang asing dan berduit,” tulis Shahab tentang Kemang. Rumah-rumah besar dengan mudah ditemukan di Kemang, yang harga tanahnya sudah selangit.
'Tempat jin buang anak'
Dalam sejarah kawasan di Jakarta, wilayah Kemang tak setua Menteng. Yang disebut terakhir memang sejak zaman kolonial sudah menjadi real estate, perumahan orang-orang Eropa. Di masa kolonial, wilayah yang kini disebut Kemang masihlah udik. Nama Kemang bahkan tidak dikenal pada zaman itu.
Pada 1950-an, Kemang adalah daerah perkebunan. Pohon yang paling banyak dijumpai adalah pohon kemang (Mangifera kemanga caecea). Buahnya tergolong buah mangga, bau wanginya menusuk. Karena pohon inilah daerahnya disebut Kemang.
“Kemang, pada masa Betawi tempo doeloe, dan ini menurut cerita orang-orang tua, merupakan daerah udik, yang ketika itu disebut Betawi pinggiran. Daerah ini, di samping penghasil buah-buahan, juga pusat usaha peternakan sapi,” tulis Shahab.
Dulu, setiap pagi atau sore, ratusan orang bersepeda mengantarkan susu hasil peternakan. Kemang, serta Mampang Prapatan, adalah pemasok susu terbesar untuk daerah Jakarta. Peternakan sapi plus kebun-kebun sekarang sudah berubah menjadi rumah-rumah. Nyaris tak berbekas.
Alwi Shahab menulis bahwa pada 1960-an tak ada nama daerah bernama Kemang dalam peta Pemda DKI Jakarta. Menurut H. Rachim, seperti dikutip Shahab, Kemang hanya sebuah desa dalam Kelurahan Bangka, Jakarta Selatan. Seorang kawan Shahab bernama Mohammad Nahar, pemimpin redaksi Pers Biro Indonesia (PIA), pernah diolok-olok karena pindah ke Jalan Bangka pada pertengahan 1960-an. Daerah di sekitar itu dianggap “tempat jin buang anak”.
Nahar pernah berkata kepada Shahab bahwa tempat tinggalnya masih sepi pada 1970-an. Hanya sedikit pendatang di daerah itu. Salah satu pendatang ini adalah Bob Sadino, yang baru pulang dari Eropa. Sadinp menjual salah satu dari dua sedan Mercedes-Benz miliknya untuk membeli tanah di daerah itu pada 1960-an.
“Ketika itu kawasan Kemang sepi, masih terhampar sawah dan kebun,” tulis Sigit Parikesit dalam Untold Story: Oom Bob Sadino: Totalitas Motivator Bisnis (2016). Dari tangan Sadino inilah lahir Kem Chicks.
Gentrifikasi di Kemang
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta tahun 1965 hingga 1985, harusnya Kemang menjadi daerah resapan air. Jumlah bangunan mestinya dibatasi. Pola-pola pembangunan ruang Jakarta kala itu lebih diarahkan 15 kilometer ke barat atau ke timur, bukan ke selatan. Namun, Kemang dan sekitarnya telah berubah menjadi daerah ramai permukiman. Bangunan-bangunan besar bertebaran, dari kafe, hotel, toko, serta rumah-rumah besar.
Soal perubahan ini, pemerintah agaknya sudah angkat tangan. Pada 1999, Pemprov Jakarta memutuskan mengalihfungsikan daerah Kemang menjadi kawasan komersial, khususnya untuk kafe, restoran, dan hiburan malam.
Arsitek Marco Kusumawijaya pada salah satu esainya dalam Jakarta: Metropolis Tunggang Langgang (2004) menulis sejarah Kemang sebagai "komunitas internasional" tumbuh dari penyewaan rumah kepada orang asing yang meledak sejak awal 1980-an.
Ia menilai orang kaya baru Jakarta membangun rumah-rumah besar di kawasan ini selain dekat dengan Kebayoran Baru (yang lebih dulu berkembang sejak 1950-an), juga karena bisa membeli lahan yang luas, kualitas airnya baik, dan masih banyak pepohonan. Ini mendorong kawasan yang semula sepi tersebut menjadi tempat tinggal penduduk berkocek tebal. Perubahan ini lazim disebut gentrifikasi.
Willard Anderson Hanna dalam Hikayat Jakarta (1988) menulis, “Akhir-akhir ini Kebayoran dikalahkan oleh pembangunan kota-kota satelit baru, yang lebih mewah seperti Kemang dan Pertamina Village di Kuningan.”
Hanna membandingkan Kemang dengan Forbes Park, kota satelit di Manila. Seperti Jakarta, Manila sebagai ibu kota Filipina adalah kota teramai di negara itu. Pembangunannya pun khas negara berkembang; tidak terkendali.
Alhasil, dari karut-marutnya pola-pola pembangunan di Jakarta, Kemang makin hari makin ramai dan melentingkan daerah yang dulu dikenal sebagai "tempat jin buang anak" ini menjadi salah satu konsentrasi orang superkaya di Jakarta.
=======
*Artikel pernah dirilis pada 1 September 2016, diperbarui secara minor dan dirilis ulang.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam