Menuju konten utama

Mengubah Resapan Air Menuai Banjir Kemang

Kawasan Kemang, Jakarta Selatan, kembali direndam banjir. Itu bukan sesuatu yang baru. Kawasan yang kini dipenuhi bangunan komersial dan perumahan elit itu, sejatinya diperuntukkan bagi resapan air. Peralihan fungsi lahan akhirnya membuat wilayah tersebut sebagai salah satu langganan banjir di ibukota.

Mengubah Resapan Air Menuai Banjir Kemang
Satu unit mobil terendam banjir di jalan Kemang Selatan 8, Jakarta, Minggu (28/8) dini hari. Curah hujan yang tinggi serta meluapnya Kali Krukut menyebabkan kawasan tersebut dilanda banjir setingginya 70 cm hingga satu meter. ANTARA FOTO/Ali Qital/kye/16.

tirto.id - Jarum jam baru saja menunjukan pukul delapan malam ketika Robin sampai di Kawasan Darmawangsa, Jakarta Selatan, Sabtu (27/8/2016 pekan lalu. Niat berkumpul liburan akhir pekan bersama teman-temannya batal. Hujan yang mengguyur kawasan Jakarta dan sekitarnya, membuat Robin mengurungkan niatnya dalam-dalam. Apalagi kebetulan, dia hendak menuju sebuah kafe di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Kabar kurang baik justru datang dari Twitter TMC Polda Metro Jaya.

“Di Twitter TMC, Kemang Raya banjir,” kata Robin saat berbincang dengan tirto.id, pada Senin (29/8/2016). Dia pun langsung banting setir untuk kembali ke indekosnya di Jalan Radio Dalam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan “Jalanan sudah macet total,” kata Robin.

Pada Sabtu pekan lalu, lini masa Twitter memang ramai memperbincangkan banjir di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Banjir setinggi kurang lebih pinggang orang dewasa membuat jalan di kawasan yang dikenal pusatnya anak gaul di selatan Jakarta, tak bisa dilintasi. Mobil-mobil terendah banjir, sementara sejumlah sepeda motor dievakuasi. Untuk sejenak, kawasan Kemang menyerupai danau, akibat banjir luapan aliran Kali Krukut yang melintas di daerah itu.

Diki, salah seorang warga yang tinggal di perumahan tak jauh dari Jalan Kemang Raya mengatakan, setiap kali hujan mengguyur selama satu jam lebih, otomatis daerahnya terendam banjir. Puncaknya Sabtu malam pekan lalu. Banjir telah membuat lumpuh kawasan Kemang. “Hujan sejam lebih saja sudah banjir,” ujar Diki.

Apa yang dikatakan Diki benar adanya. Sejak kawasan itu dipenuhi bangunan komersial dan juga perumahan elit, banjir memang selalu menjadi hantu bagi warga setempat. Itu sudah terjadi selama bertahun-tahun. Beritanya muncul tenggelam, dan tidak pernah mendapatkan penanganan yang serius. Untuk mengurai permasalahan itu juga sudah sulit karena sudah terlanjur muncul bangunan-bangunan yang jika ditelusuri, mereka memiliki keabsahan perizinan. Keputusan sesat di masa lalu yang menyusahkan masa depan.

Alih Fungsi Lahan

Kemang seharusnya merupakan daerah resapan. Sayangnya, sebagian besar lahan resapan itu telah beralih fungsi. Kemang bukan satu-satunya wilayah yang mengalami alih fungsi. Ada lagi Kelapa Gading, Pondok Indah, termasuk juga kawasan Angke di Jakarta Utara, yang merupakan daerah resapan tetapi sudah dijejali oleh hutan-hutan beton. Wilayah tersebut sesungguhnya merupakan daerah resapan air seperti tertuang dalam Rencana Induk Djakarta 1965-1985.

Namun, di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030, wilayah Kemang berubah menjadi kawasan pariwisata. Rencana itu dituangkan dalam pengembangan dan perbaikan kawasan wisata perkotaan berfungsi hijau. Selain Kemang, ada tiga wilayah lain di Jakarta Selatan yang termasuk kawasan pengembangan pariwisata yaitu Pondok Indah, Fatmawati dan Blok M. Padahal merujuk pada RTRW 2030, seharusnya wilayah Selatan Jakarta masuk dalam pengembangan wilayah terbatas. Kenyataannya hingga kini, banyak bangunan-bangunan baru yang terus dibangun di wilayah itu.

Perubahan peruntukan wilayah Kemang bukan terjadi dalam RTRW 2030 saja. Dalam Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR) 2005, kawasan yang dilintasi aliran Kali Krukut ini juga berubah menjadi kawasan permukiman dengan pengembangan terbatas karena masuk dalam wilayah daerah resapan air.

Selain wilayah Kemang, di dalam Rencana Induk DJakarta 1965 (1965-1985), wilayah Kelapa Gading juga diperuntukkan sebagai daerah resapan air. Restu Gunawan dalam “Gagalnya Sistem Banjir Kanal: Pengendalian Banjir dari Masa ke Masa” menyebutkan jika daerah itu merupakan kawasan wetland atau persawahan. Kelapa Gading sama seperti daerah Mampang dan Kuningan, daerah persawahan yang sejajar dengan aliran Kali Krukut. Namun pada kenyataannya, wilayah Kelapa Gading terus mengalami perubahan. Puncaknya dimulai tahun 1990 ketika kawasan itu mulai dibangun pusat perbelanjaan. Lambat laun, areal persawahan pun berubah menjadi deretan rumah mewah berharga miliaran.

Tanggul Jebol di Perumahan Ahok

Kini, dalam RTRW DKI Jakarta 2030, peruntukan Kelapa Gading pun berubah. Wilayah yang memiliki tiga kelurahan itu dijadikan sebagai kawasan perkantoran, perdagangan, jasa dan campuran. Peruntukan itu tertuang dalam pasal 126. Pengembangan perkantoran akan dilakukan di kawasan Yos Sudarso, Kelapa Gading, Sunter dan Enggano. Selain itu, Kelapa Gading juga masuk dalam wilayah pengembangan kawasan tujuan wisata pesisir, di mana pusat perbelanjaan Kelapa Gading masuk dalam rencana pengembangan tersebut.

Perubahan alih fungsi lahan itu pun sudah mulai dirasakan. Saban masuk musim penghujan, wilayah Kelapa Gading menjadi kolam air. Aktivitas perekonomian di wilayah itupun menjadi lumpuh karena dikelilingi banjir yang tingginya bisa mencapai 50 sampai 80 sentimeter.

Jika kawasan Kelapa Gading dan Kemang ikut mengalami perubahan, wilayah yang sama juga terjadi pada wilayah Kapuk Angke di Jakarta Utara. Kawasan yang sejak tahun 1977 itu diperuntukan sebagai hutan lindung, kini sebagian beralih fungsi. Gara-gara ini juga, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama sempat beradu argumentasi di media mengenai sejarah dengan sejarawan JJ Rizal.

Kawasan Kapuk Angke mulai mengalami alih fungsi lahan pada tahun 1982, ketika daerah ini diserahkan kepada pengembang. Permukiman mewah pun dibangun di kawasan yang dikenal sebagai hutan lindung ini. Akibatnya, hutan penangkal gerusan air laut pun berbuah pada banjir yang kini sering melanda kawasan ini. Pada Februari lalu, kawasan ini mengalami kebanjiran akibat luapan Kali Angke. Pada Juni, tanggul di Perumahan Pantai Mutiara yang merupakan kompleks kediaman Gubernur Ahok pun jebol.

Memutihkan Kawasan Hijau

Perubahan alih fungsi lahan daerah hijau, kini mulai dirasakan akibatnya oleh warga yang tinggal di kawasan itu. Sebut saja Kemang, Kelapa Gading dan Kapuk Angke yang menjadi langganan banjir saban musim penghujan tiba. Apalagi hujan yang menyebabkan Kemang terendam pada Sabtu pekan lalu, dampak dari fenomena La Nina. Hal itu dirilis Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi DKI Jakarta. Hujan dengan intensitas sedang-lebat telah menyebabkan naiknya permukaan air Kali Krukut. Otomatis, wilayah Kemang yang daerahnya seperti lembah harus terendam air setinggi pinggang orang dewasa.

Masih menurut BPBD, penyebab lain banjir tak lain penyempitan Kali Krukut dan banyak okupasi di sekitar bantaran sungai. Debit air yang terus meningkat, ditambah sempitnya aliran sungai, membuat air meluap dan menyebabkan tanggul jebol. Imbasnya, kawasan Kemang yang memiliki kontur tanah seperti lembah digenangi luapan air Kali Krukut. Untuk mencegah banjir, BPBD menyarankan segera dilakukan normalisasi Kali Krukut untuk mengembalikan fungsi sungai.

Buntut dari banjir kawasan Kemang telah membuat Pemerintah Provinsi DKI berniat mengkaji perizinan bangunan di kawasan tersebut. Sebab berdasarkan Peraturan Daerah No 1 tahun 2014 tentang “Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi” (RDTR-PZ) yang diteken oleh Gubernur Joko Widodo, telah mengatur bahwa kawasan Kemang dan Duren Tiga merupakan wilayah yang harus dikendalikan pertumbuhannya.

Pada pasal 371 ayat 1 disebutkan, wilayah Kemang bisa dibangun asal memperhatikan ketersediaan ruang terbuka hijau. Tapi kenyataannya justru berbanding terbalik. Berdasar pantauan tirto.id, Jalan Kemang Raya justru dipergunakan untuk kawasan perkantoran, perdagangan dan juga jasa. Tidak ada celah untuk ruang terbuka hijau di kawasan ini.

Di sepanjang jalan berjejer kafe-kafe, juga pertokoan dan hotel. Pusat hiburan anak muda tumpah ruah. Tak jauh dari Jalan Kemang Raya, ada pusat perbelanjaan Kemang Village. Keberadaan pusat perbelanjaan itu tak jauh dari aliran Kali Krukut. Gedung-gedung beton ini juga yang kemarin menjadi sorotan media setelah terendam banjir.

Terkait carut marutnya tata ruang ini, pengamat perkotaan dari Univesitas Trisakti, Nirwono Joga mengatakan, memang sudah saatnya Pemprov DKI Jakarta memperbaiki tata ruang kota terhadap daerah-daerah yang tidak sesuai peruntukannya.

Sebab menurut dia, sebanyak 80 persen tata ruang Jakarta saat ini tidak sesuai dengan peruntukan lahan. Salah satunya adalah daerah Kemang. Menurut Nirwono, sesuai Rencana Induk Djakarta, daerah ini merupakan daerah resapan air. Jadi bukan hal mengagetkan jika kini Kemang yang telah berubah menjadi wilayah komersial kemudian dilanda banjir saban musim hujan. “Sebetulnya 80 persen tata ruang di Jakarta peruntukannya memang sudah salah,” ujar Nirwono melalui sambungan telepon, pada Selasa (30/8/2016).

Menurut Nirwono, perubahan tata ruang Jakarta mulai masif terjadi pada 1985 hingga 2000. Beberapa daerah di Jakarta berubah peruntukannya. Misal daerah Kemang, Kelapa Gading dan Pantai Indah Kapuk. Ketiga daerah itu, sesuai master plan Jakarta 1965 merupakan daerah hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Perubahan makin diperparah dengan adanya pemutihan wilayah dan bukan melakukan pembenahan.

Jadi menurut Nirwono, bukan hal mengagetkan jika dampaknya harus berimbas kepada masyarakat. “Atas perubahan tata ruang ini, Pemerintah Provinsi Jakarta punya andil,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait KEMANG atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Indepth
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho