Menuju konten utama

"Lebih dari 80 Persen Tata Ruang di Kota Jakarta Salah"

Kawasan Kemang direndam banjir setinggi pinggang dewasa, pada Sabtu pekan lalu. Terendamnya kawasan yang dikenal sebagai daerah elit itu membawa pesan penyalahgunaan peruntukan lahan. Kemang menurut Rancangan Induk Djakarta 1965 merupakan daerah resapan air.

Pengamat tata kota Nirwono Joga [Foto/rmol.com/Dok. Pribadi]

tirto.id - Seberapa parahkah penyalahgunaan lahan di DKI Jakarta? Menurut pengamat Perkotaan dari Universitas Trisaki, Nirwono Joga, lebih dari 80 persen tata ruang di Jakarta menyalahi peruntukan. Maka tak mengagetkan jika Kemang, kemudian Kelapa Gading dan Kapuk Angke kerap dilanda banjir.

“Nah yang besar seperti itu tadi, lahan yang diperuntukan untuk Ruang Terbuka Hijau kemudian peruntukannya diubah menjadi kawasan perumahan dan kawasan komersial,” ujar Nirwono kepada tirto.id, pada Selasa (30/8/2016).

Berikut petikan wawancara Nirwono Joga tentang carut marutnya tata ruang di Jakarta;

Bisa dijelaskan wilayah mana saja di Jakarta yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan?

Kalau kita bicara secara umum, sebenarnya lebih dari 80 persen tata ruang di Kota Jakarta salah. Dampak perubahan lahan menyebabkan Kemang kebanjiran seperti Sabtu (27/8/2016). Kita juga bisa lihat, banjir mudah terjadi di kawasan Kelapa Gading, kemudian Pantai Indah Kapuk. Itu contoh ekstrimnya.

Tetapi secara umum, memang ada dampak yang skala kecil, ada yang skala besar. Dampak skala kecil, memang lebih pada bangunan yang berubah fungsi komersial dan seterusnya. Nah dampak besar seperti itu tadi, lahan yang diperuntukan untuk Ruang Terbuka Hijau diubah menjadi kawasan perumahan dan kawasan komersial. Tentu perubahan-perubahan ini tidak terjadi dalam waktu singkat. Semuanya berubah secara bertahap.

Terus terang saja, mulai dari Rencana Tata Ruang yang dulu, Pemda DKI ini inkosistensi terhadap tata ruangnya sendiri. Kalau kita buka petanya dari Rencana Induk Djakarta 1965-1985, kemudian Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 1985-2005, kemudian yang ketiga Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2000-2010, dan keempat Rencana Tata Ruang Jakarta (RTRJ) 2010-2030. Kita sudah punya empat master plan. Kalau itu ditumpuk, maka saya bisa ceritakan perubahan-perubahan secara masif, mulai dari tahun 1985 ke atas sampai tahun 2000. Itu cepat sekali perubahannya.

Perubahan seperti apa?

Sebetulnya bisa terlihat dari makin sempitnya ruang terbuka hijau. Kalau kita lihat dari master plan pertama, Ruang Terbuka Hijau (RTH) kita masih 37,2 persen. Kemudian pada tahun 1985, RTH menurun 25,85 persen. Di tahun 2000, titik paling rendah yaitu 13,9 persen. Jadi terlihat penurunan RTH secara masif yang pasti berubah menjadi ruang terbangun. Kondisi RTH kita kan naik, tapi sediki ke 9,98 persen, sehingga perubahan-perubahan peruntukan lahan belum dikembalikan fungsinya seperti semula.

Apakah saat ini masih memungkinkan mengembalikan fungsi lahan tersebut?

Kalau dikembalikan 100 persen jelas tidak mungkin. Kita harus realistislah. Mana-mana yang boleh dikembalikan dan mana yang tidak boleh. Oleh karena itu sekarang kesempatanny. Dinas Tata Kota sedang melakukan revisi RTRW dan RDTR sampai dengan tahun 2017.

Namun, karena sosialisasinya kurang bagus, banyak masyarakat yang kemudian tidak mengetahui revisi tata ruang tersebut. Revisi yang dilakukan oleh Pemprov DKI lebih karena ingin mengakomodasi program-program nasional supaya masuk dalam RTRW dan RDTR. Kenapa? Karena kalau tidak dimasukan sekarang atau tidak direvisi, maka proyek-proyek nasional yang sedang dilakukan bisa jadi melanggar tata ruang. Contohnya Light Rapid Transit (LRT), Mass Rapid Transit (MRT), kemudian kereta Api cepat atau reklamasi. Nah, proyek-proyek ini termasuk proyek nasional. Jika tidak dimasukkan, maka proyek tersebut bisa disebut melanggar tata ruang. Makanya direvisi sekarang.

Pertanyaannya, kenapa kalau demi proyek nasional pihak DKI mau melakukan revisi? Sementara untuk perubahan-perubahan demi kepentingan sendiri, Pemda DKI kok malah tidak mau? Padahal perubahan seperti di Kemang, Kelapa Gading, kemudian Pantai Indah Kapuk, semuanya terjadi karena mendapat izin dari Pemprov DKI. Tidak semuanya ilegal.

Nah, oleh karena itu, tanpa mau mencari kesalahan masa lalu, saya lebih sepakat kepada warga Jakarta untuk sama-sama melakukan revisi rencana tata ruang kita bersama. Kasus di Kemang misalnya, data yang kita dapat, sudah 70 persen berubah fungsi menjadi daerah komersial. Padahal seharusnya dulu, 70 persen ini diperuntukan untuk hunian serta daerah resapan air. Jadi hanya 30 persen yang bisa digunakan untuk kepentingan komersial.

Bagaimana Anda melihat Kemang yang termasuk wilayah yang harus diawasi, namun pada kenyataannya menjadi kawasan komersial?

Sebetulnya perubahan itu tidak terjadi di gubernurnya. Tapi Pemda DKI secara keseluruhan, terutama di tata kota yang memegang langsung penyesuaian RTRW dan RDTR. Kemudian juga Bappeda terkait perubahan-perubahan tadi. Memang sering kali terjadi adanya kepentingan-kepetingan dari gubernur. Di sinilah yang sering terjadi, masukan dari masyarakat yang tidak dikawal. Dalam penyusunan RTRW kan ada masukan-masukan dari masyarakat, tetapi karena tidak ada yang mengawal sampai diketok palu. Nah itulah yang mengakibatkan apa yang diusulkan masyarakat sering kali tidak masuk di RTRW dan RTDR.

Sepanjang perubahan yang sudah empat kali dan dilihat dari kasus-kasus yang ada, apakah Anda melihat Pemprov DKI melibatkan masyarakat?

Kalau yang saya ikuti dalam perbaikan atau perubahan RTRW, mereka melakukan sosialisasi paling tidak di Balai Kota atau paling kecil di setiap kelurahan-kelurahan. Nah bisa dibayangkan, jadwal sosialiasi dilakukan hari kerja? Sudah pasti tidak banyak yang datang. Sering kali orang pemda-nya kita ajak melakukan sosialisi pada hari libur. Namun mereka tidak ada yang mau karena hari libur. Ini juga seringkali kesulitan mempertemukan antara kepentingan Pemda DKI dengan masyarakat.

Saat ini Pemrov DKI Jakarta sedang melakukan revisi RTRW 2030. Apakah Anda melihat masterplan berpihak kepada pembangunan kota yang ideal?

Kalau RTRW sekarang memang ada perbaikan yang mengarah ke sana. Karena dalam RTRW ada pencantuman RTH sebesar 30 persen, yang rencananya akan dicapai pada 2030. Kemudian ada juga pembuatan jalur sepeda dan jalur pejalan kaki. Secara keseluruhan, produk yang terakhir ini lebih bagus dibanding sebelumnya, termasuk juga dalam Rencana Dasar Tata Ruang dan Penentuan Zonasi. (RDTR PZ). Namun produk ini ada kelemahannya. Pertama, seharusnya ada bahasa yang dipopulerkan supaya masyarakat memahami pengertian dari RTRW dan RDTR tersebut.

Bagaimana Anda melihat RTRW 2030 menentukan kawasan Kelapa Gading menjadi wilayah perkantoran dan perniagaan?

Jadi begini, perubahan-perubahan yang sekarang terjadi itu diputihkan. Diputihkan karena Pemprov DKI melihat parahnya peruntukan di wilayah tadi. Kalau kita bersikukuh kepada RTRW sebelumnya, maka seharusnya kawasan Kelapa Gading dikembalikan menjadi daerah hijau. Disinilah Pemprov dengan kewenangnya, daripada pusing-pusing, mending diubah saja peruntukannya.

Apakah itu menyalahi aturan?

Sebenarnya pada saat perubahan harus melibatkan masyarakat. Jadi proses yang saya katakan tadi itu, mereka lakukan tetapi tidak dengan cara yang benar.

Perubahan peruntukan apakah demi kepentingan pengusaha?

Iya karena sebetulnya pengusaha tahu urusannya langsung ke Dinas Tata Ruang. Mereka kemudian mempengaruhi perubahan-perubahan peruntukan kawasan tadi.

Apakah memungkinkan mengembalikan fungsi lahan yang kini tidak sesuai dengan peruntukan?

Ya disinilah, menurut saya, harus ada kesepakatan. Kita juga harus berpikir realistis. Misalnya daerah Pantai Indah Kapuk ingin dikembalikan peruntukannya? Itu sangat tidak mungkin. Menurut saya, harus ada titik temu antara warga dengan Pemprov DKI untuk menentukan batasan-batasan yang disepakati. Kemudian kedua, sosialisasi mengenai perubahan RTRW. Beri penjelasan kepada mereka seperti apa. Mau tidak misalkan nanti peruntukannya seperti ini? Termasuk juga dengan pengembang.

Kalau mau cari-cari kesalahan, kita bisa lihat salahnya ada di pengembang atau pemerintah? Warga juga sebetulnya harus bisa mencari solusinya. Jadi tidak harus dikembalikan 100 persen peruntukan itu. Kesepakatan-kesepakatan itulah yang seharusnya masuk dalam revisi RTRW dan RDTR yang sekarang. Okelah itu 30 tahun yang lalu. Tetapi sekarang kita mau bagaimana? Kesepakatan-kesepakatan itu juga yang harus disosialisasikan kepada masyarakat. Jadi tidak ada yang tertutup karena masyarakat menjadi pengawas.

Dengan perubahan peruntukan tata ruang, apakah artinya kesalahan ada di Pempov DKI Jakarta?

Ada di kedua belah pihak. Pengembang dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pengembang tidak akan berani membangun kalau tidak mendapatkan izin resmi dari pemerintah. Itu sudah pasti karena dia menginvestasikan dana yang tidak sedikit. Artinya, si pengusaha sebagai investorperlu kepastian hukum. Kemudian soal pemutihan yang tahu hanya pemerintah. Masyarakat tidak ada yang tahu. Paling-paling hanya tahu dalam peta berubah warnan. Korban dari penyalahgunaan peruntukan adalah masyarakat. Bisa banjir, kemacetan, ketersediaan air bersih, termasuk polusi udara.

Perlu berapa tahun untuk mengembalikan lahan terbuka hijau?

Kalau konsisten seperti target RTH pada RTRW 2030, kita masih punya waktu 15 tahun untuk mengambalikan RTH. Nah, 15 tahun ini kita mau serius membenahi tidak? Seperti yang saya katakan soal RTH, taruhlah sekarang RTH sudah mencapai 10 persen, berarti kita saat ini punya hutang 20 persen. Sekarang kita punya waktu 15 tahun untuk mencapai itu. Tidak usah muluk-muluk. Dari sisa 20 persen tadi, bisa enggak kita mencapai 15 persen dalam 15 tahun? Artinya, minimal satu tahun ada penambahan RTH seluas 1 persenatau setara 2.500 hektar. Itu tinggal diseriusi saja. Bisa di breakdown bagaimana cara mendapatkan RTH 2.500 hektar. Apa yang bisa dilakukan pemerintah? Apa yang bisa disumbangkan oleh pengembang? Dn apa yang bisa diberikan oleh warga?

Sebagai contoh, kajian saya tahun 2012 menunjukan, potensi RTH dari lahan-lahan yang ada di Jakarta itu 14 persen. Potensi RTH private yang dimiliki masyarakat 16 persen. Cukup berarti kan? Misal dari yang 14 persen kita ambil 10 persen dan kemudian RTH private kita ambil 10 persen, artinya bisa 20 persen. Nah, sekarang bagaimana menjalankan di lapangan? Kalau bisa dilakukan, banjir berkurang dan ruang terbuka hijau juga bertambah.

Baca juga artikel terkait BANJIR atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho